Lima Belas

25 5 0
                                    

Sayla suntuk berada di kontrakan. Ia butuh suasana baru untuk menulis. Meskipun sudah lulus, Sayla tetap memilih untuk menekuni pekerjaannya sebagai penulis lepas. Setidaknya untuk menambah pemasukan sampai ia benar-benar diterima menjadi guru. Tak lupa, ia juga melamar pekerjaan sebagai guru les privat. Namun, sampai hari ini masih belum mendapatkan panggilan.
Akhirnya Sayla keluar kontrakan. Ia naik ojek online menuju ke taman kota. Ia beberapa kali pernah diajak Dana mengerjakan skripsi di sana karena ada sambungan wifi gratis. Jadi tempat itu yang Sayla pilih. Sekalian melihat suasana taman kota di malam hari yang sudah lama tidak ia rasakan.
Sebenarnya Sayla sudah mengajak Dana tadi. Tetapi, Dana sedang sibuk mempersiapkan ujian semester sehingga ia tidak bisa menemani Sayla malam ini. Terpaksan Sayla berangkat ke taman kota sendirian.
Iky? Sayla sedikit menghindar akhir-akhir ini. Ia tidak mau apa yang dikatakan Nana tempo hari benar adanya. Ia tidak mampu membuat Iky berharap lebih padanya. Maka dari itu, untuk sementara waktu Sayla perlu mengambil jarak.
Sesampainya di taman kota, Sayla segera mencari tempat yang agak sepi agar ia bisa dengan tenang menulis. Di sudut taman kota ia menemukan bangku yang kosong. Dengan suasana yang sedikit remang Sayla akhirnya membuka laptopnya. Ia segera memakai kacamata anti radiasinya. Akhir-akhir ini matanya mudah sekali lelah ketika menatap laptop terlalu lama ataupun bermain gawai. Nana menyarankan Sayla untuk mengenakan kacamata anti radiasi ketika menggunakan semua benda elektronik agar tidak sampai matanya minus seperti Nana.
Sayla segera tenggelam dengan tulisannya. Suasana taman kota yang tidak terlalu ramai membuatnya mampu memikirkan konten apa yang harus ia tulis. Saking seriusnya, ia sampai tidak sadar ketika ada seseorang di depannya.
“Bu Sayla?”
Suara itu membuat Sayla mendongak. Ia terkejut. Mendadak tubuh Sayla tegang. Bertemu dengan Alreza di tempat seperti ini tentu saja tidak pernah ia duga sebelumnya.
“Eh, Alreza. Ng...ngapain?” tanya Sayla terbata. Ia masih belum bisa menguasai dirinya.
Alreza mengusap tengkuknya. Sama-sama canggung. “Emm, lagi jalan-jalan aja.”
“O..oh. Sama siapa?”
“Sendirian.”
Kemudian hening sesaat.”Eh, duduk sini aja!” Sayla menarik kursi di sebelahnya agar Alreza duduk. Alreza segera beranjak mendekati Sayla.
“Bu Sayla ngapain di sini sendirian?”
Sayla menunjuk laptopnya. “Ini, lagi bikin tulisan. Sebenernya bisa sih di kontrakan. Cuma lagi butuh suasana baru aja. Bosen liatin tembok kamar mulu!”
Alreza mengangguk. Kemudian keduanya terdiam. Lagi-lagi suasana canggung menguasai keduanya. Bingung harus membahas apalagi. Akhirnya Sayla melanjutkan tulisannya yang tinggal sedikit lagi rampung. Alreza pun memilih untuk memainkan gawainya. Ia memilih bermain game sembari menemani Sayla melanjutkan menulis.
“Gimana ujiannya? Lancar?” akhirnya Sayla buka suara. Ia tidak bisa terus diam karena itu malah membuatnya semakin gugup.
Alreza mengangguk. “Lancar sih. UN mah nggak ada apa-apanya dibanding UKK nanti.”
“Berarti masih ada ujian lagi?”
“Masih. Tapi setidaknya satu beban udah berkurang,” tiba-tiba Alreza ingat sesuatu. “Oh iya, di kampusnya Bu Sayla itu ada jenjang D3 jurusan teknik elektro nggak?”
Sayla nampak mengingat-ingat. Wajah seriusnya membuat Alreza benar-benar rindu. Sekarang yang bisa Alreza lakukan hanya memandanginya.
“Seingetku sih ada. Kalau fakultas teknik itu pasti ada D1 sama D3nya. Malah lebih jarang yang sarjana,” Sayla menjelaskan. “Kamu mau ambil D3?”
“Iya. Saya pingin kuliah, tapi yang enggak sarjana. Jadi milih diploma aja. Lumayan kan kalau nanti ilmunya nambah terus.”
Sayla menatap Alreza kagum. Sementara yang ditatap tersenyum tipis. Malu juga ditatap seperti itu oleh orang yang ia sayangi.
“Kirain kamu bakalan berhenti setelah lulus SMK.”
“Kan saya mau buktiin kalau saya bisa jadi lebih baik buat Bu Sayla!”
Sayla menatapnya kaget. “Kamu beneran?”
“Apa saya keliatan main-main?” tatapan Alreza begitu dalam pada Sayla. “Saya beneran pingin jadi yang terbaik. Biar cocok. Biar nggak dikira kayak anak kecil. Bu Sayla pasti masih nganggep saya anak kecil kan?”
“Bukan—“
“Saya bakalan jadi yang terbaik kok buat Bu Sayla. Biar Bu Sayla nggak malu kalau nanti pacaran sama saya. Jadi tungguin saya ya!” Alreza menggenggam tangan Sayla yang sudah dingin sejak tadi Alreza muncul di depannya.
Sayla tersenyum seraya mengangguk. “Zaa, kamu harus jadi lebih baik untuk dirimu sendiri dulu baru untuk orang lain. Kalau ujungnya Cuma untuk nyenengin orang lain, nggak akan ada habisnya. Saya seneng kamu punya keinginan untuk lanjut kuliah. Tapi tolong, itu untuk kamu sendiri. Nanti yang lain akan mengikuti.”
Sayla balas menggenggam tangan Alreza. Lembut dan halus, itu yang Alreza rasakan. Ia sama sekali tidak menyangka jika pemikiran Sayla bisa sedalam itu. Kali ini ia bertekad, akan melakukan apapun demi dirinya dan Sayla.
***

Akhirnyaaaa, bisa updaaateeee!!!
Maafkan karena menunggu terlalu lamaaaa
Selamat menikmati ♡

-Rasa yang Tepat-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang