Alreza duduk terdiam di depan rumahnya. Sesekali, ia akan menatap ponselnya yang berlatar fotonya dengan Sayla hampir setahun yang lalu. Ia benar-benar merindukan Sayla dan melihatnya masih baik-baik saja tadi, membuat rindunya terobati. Sedikit.
Aldian yang baru pulang kerja ikut duduk di teras sembari melepas sepatunya. Ia merasa sedih melihat adik semata wayangnya sering murung akhir-akhir ini. Padahal sepertinya baru kemarin ia melihat adiknya itu berbunga-bunga karena jatuh cinta. Tapi, secepat ini ia menjadi dirinya yang lama ketika patah hati.
"Rez," panggil Aldian lembut.
Alreza meletakkan ponselnya dan tersenyum ke arah abangnya.
"Abang perhatiin, akhir-akhir ini kamu sering banget diem, ngelamun terus akhirnya murung. Bukannya abang mau ikut campur, abang cuma mau bilang kalau kamu butuh tempat cerita abang selalu siap. Kalaupun sekarang kamu masih belum berniat cerita, abang nggak akan maksa."
Alreza menghela napas panjang. Dadanya terus saja sesak meskipun sudah melihat Sayla tadi. Rasanya, ia ingin sekali menemui Sayla dan memeluknya. Rindunya mengharapkan temu.
"Abang kalau kangen sama Kak Ratna, ngapain?" tanya Alreza tiba-tiba membuat Aldian sedikit terkejut mendengarnya.
Aldian menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. "Ya kalau kangen sih, abang bilang. Terus nanti ketemu. Kan obatnya kangen cuma ketemu." Aldian mendekat. "Emangnya kamu lagi kangen siapa?"
"Kangen ibu guru cantik, Bang." Alreza menyodorkan ponselnya yang menyala dengan fotonya bersama Sayla sebagai latar belakang. Aldian yang melihat foto keduanya tersenyum. Sepertinya, perempuan itu juga menyayangi Alreza.
"Terus, kenapa kamu tanya kayak gitu?"
"Aku bingung, Bang. Aku kangen sama dia, tapi aku nggak berani ketemu sama dia. Tadi aja, aku cuma dateng ke kampusnya, liatin dia beberapa detik habis itu udah. Pulang. Aku nggak berani muncul di depannya setelah waktu itu tiba-tiba menjauhi dia, Bang. Aku takut, kami sama-sama sakit hati lagi. Apalagi, dia kayak kelihatan lelah banget. Rasa bersalahku kayak makin besar kalau sampai nyamperin dia."
Alreza kembali menerawang jauh. Aldian di depannya menatap adiknya dengan tatapan yang tak bisa didefinisikan. Antara ikut sedih merasakan adiknya patah hati dan juga terenyuh. Adiknya sudah harus merasakan hal yang membuatnya bimbang sedemikian rupa.
"Kalau menurut abang nih, ya. Kalau kamu memang kangen sama dia, ya udah temuin aja. Kadang gengsi memang perlu, jaga hati juga perlu. Tapi yang terpenting adalah rindumu terobati. Kalau kamu tahan terus-terusan, ya nggak bagus juga. Kamu jadi nggak fokus sekolah, mikirin dia terus. Setidaknya ketemu, liat dia aja kalau memang nggak berani muncul di depannya."
Alreza mengangguk. "Iya, tadi udah liat dia. Tapi nggak mau jadi pecundang kayak gini terus, bang. Pengen dateng ke depan dia, ngebuktiin kalau aku bukan anak kecil dan aku pantes buat dapetin dia."
Aldian menepuk pundak Alreza. "Kalau mau membuktikan, fokus dulu aja sama sekolahmu. Perbaiki kelakuan kamu di sekolah, fokus ujian nasional, dapet ijazah, terus kuliah deh, cari kerjaan sampingan misal. Abang yakin, dia akan lebih menganggap kamu ketika kamu tumbuh menjadi sosok yang bisa diandalkan."
Alreza tersenyum. Ia tahu, abangnya ini memang sangat bisa diandalkan. "Makasih ya, Bang!"
***
Ternyata omongan Aldian tempo hari tidak hanya menjadi angin lalu bagi Alreza. Kini, kehidupan Alreza berubah sedikit demi sedikit. Ia mulai mengurangi kegiatan membolosnya. Meskipun keberadaannya di kelas terkadang masih membuat guru-guru geram. Tetapi, semangatnya untuk lulus ujian nasional dan melanjutkan kuliah diapresiasi oleh guru-guru, terutama Rendra yang menjadi wali kelasnya.
"Na, ntar pulang sekolah gue ke rumah lo ya!" ujar Alreza sembari menyalin catatan dari papan tulis.
"Mau ngapain?"
"Mau belajar lah. Gue kan banyak ketinggalan materi selama bolos. Apalagi bulan depan udah mulai simulasi."
Ivana yang sibuk mengunyah martabak langsung berhenti dan mendelik ke arah Alreza. Ia menyentuh kening Alreza.
"Ih, apaan sih? Tangan lo berminyak tauk!" sergah Alreza.
"Elo kesambet setan apaan pengen belajar hah? Kemarin-kemarin elo bodo amat sama pelajaran!" sungut Ivana. Sudah berkali-kali ia dibuat terkejut oleh perubahan Alreza. Tapi kali ini yang paling mengejutkan; dimana seorang Alreza memilih untuk belajar demi mengulang materi yang ia lewatkan.
"Gue nggak mau bikin malu diri sendiri kalau nanti nggak lulus. Apa kata musuh-musuh gue? Dikira gue cuma punya otot doang buat berantem tapi otaknya nggak ada buat mikir!"
Ivana tertawa. "Akhirnya, hidayah Tuhan dateng juga!" ia mengamini perkataannya sendiri.
***
Alreza sedang mengamati buku yang ada di rak perpustakaan saat tak sengaja ia menyenggol pundak seorang siswi.
"Eh, maaf. Nggak sengaja!" ujar Alreza.
Siswi itupun menoleh ke arahnya. "Eh, maaf juga. Lagi keasyikan baca sampai nggak liat kalau ada orang."
Alreza tersenyum kaku kemudian berlalu. Semenjak Sayla pergi, ia memang menjadi cuek kepada perempuan manapun. Ivana pengecualian. Bertemu dengan perempuan seperti apapun, ia sudah tidak ada minat lagi untuk menjalankan modus apapun.
Alreza akhirnya membawa dua buku yang ia temukan. Satu kumpulan soal, satunya lagi kumpulan materi. Ia segera menyerahkannya pada petugas perpustakaan.
"Loh, tumben kamu pinjem buku?" tanya petugas perpustakaan sembari membuka buku peminjaman Alreza yang memang masih kosong kemudian mencatat transaksi peminjaman. Kemudian menyerahkan bukunya pada Alreza.
"Biar di buku peminjaman saya ada isinya. Mubadzir kalau nggak dipakai!" jawabnya asal seraya pergi meninggalkan petugas perpustakaan yang sedikit dongkol.
Bayu yang sedari tadi menunggunya di depan perpustakaan segera menghampiri Alreza.
"Udah dapet bukunya?"
Alreza mengacungkan dua buku tebal di depan Bayu. "Lumayan nih buat nimpuk petugas perpustakaan yang kepo nanya-nanya tumben gue pinjem buku."
Bayu tergelak. "Kagak tau apa ya dia, kalau preman kita satu ini udah insaf!"
"Gue timpuk juga lo!" Alreza tersenyum kemudian berjalan mendahului Bayu.
"Eh iya, elo tau nggak, di sekolah ini ada murid baru. Cewek cuuuyy!!" seru Bayu riang.
Alreza hanya mengedikkan bahu. "Terus kenapa?"
"Dia bening banget. Tadi kayaknya dia ke perpustakaan deh. Emangnya elo nggak ketemu?"
Alreza nampak berpikir. Perempuan yang tadi ia senggol sepertinya memang nampak asing.
"Kayaknya ketemu. Tapi gue nggak tau juga sih!" Alreza mengangkat bahunya lagi. "Bukan urusan gue juga!"
"Yeeeee, siapa tahu bisa mengobati sakit hati lo!"
Alreza tersenyum. "Biar diobatin sama yang udah bikin sakit aja!"
***
sebagai permohonan maaf, ku publish 2 bab sekaligus. semoga berkenan :)
KAMU SEDANG MEMBACA
-Rasa yang Tepat-
Teen FictionLanjutan "WAKTU YANG SALAH" Sayla sudah selesai magang. Kisahnya yang singkat pun harus ikut usai. Namun, ternyata setelah segala kerumitan yang terjadi, masih banyak lagi hal rumit yang menghampirinya. Alreza sedang menata banyak hal: nilai-nilai y...