Tujuh Belas

23 5 0
                                    

Sayla baru saja menghabiskan sarapannya ketika ia mendengar suara pintu diketuk. Ia bergegas mendekati pintu dan membukanya. Ternyata Iky.
“Hai!” sapa Iky ramah. Setelannya seperti akan berangkat kuliah. Atau sudah selesai?
“Hai!” balas Sayla tak kalah ramah. “Kosong lagi kelasnya?”
Iky cengengesan. “Iya. Salah jadwal sih dosennya. Kemarin udah ngumumin kalau kuliah pagi, eh ternyata salah kelas. Padahal semuanya udah nyampe di kampus tuh. Ya udah balik aja.”
Sayla mengajak Iky duduk di depan rumah. “Emang dosen tuh hobi banget nge-prank mahasiswanya. Mungkin ada hikmahnya, biar kamu bangun pagi,” Sayla tergelak.
“Lagi sibuk?” tanya Iky setelah tawa Sayla mereda.
Sayla menggeleng. “Enggak sih, baru aja kelar sarapan. Nggak ada kegiatan. Maklum, sarjana baru pengangguran!”
“Yee, belum waktunya kerja aja kali! Ditekunin dulu lah jadi freelancer-nya. Buat mengisi kegabutan. Daripada nggak ada kerjaan sama sekali?”
Sayla mengangguk, ia kemudian bangkit untuk mengambil cemilan tetapi ditahan oleh Iky.
“Aku udah beli kok,” Iky mengambil seplastik besar cemilan yang ia beli di minimarket dari jok motornya kemudian segera meletakkannya di depan Sayla.
Kening Sayla berkerut halus. “Niat banget ke sini?”
Iky tergelak. Sikap dingin Sayla yang paling membuatnya betah bersama gadis itu.
“Yah, kan aku nggak mau ngerepotin tuan rumah. Jadinya aku bawa bekal sendiri dong. Kan harus mandiri ya?”
Sayla hanya mengangguk singkat kemudian membuka satu bungkus besar keripik kentang.
“Kalau aku suka sama kamu salah nggak?” pertanyaan Iky membuat Sayla menghentikan kunyahannya dan menatap Iky.
“Apaan sih? Masih pagi jangan becanda mulu! Nggak cocok jadi komedian tauk!”
Iky menggamit tangan Sayla dan menggenggamnya. “Aku serius kali! Mana ada tampang kayak gini keliatan becanda.”
Sayla meneliti wajah Iky. Memang ada keseriusan di wajahnya. Tapi Sayla tidak pernah yakin dengan wajah itu. Wajah-wajah lelaki yang sudah terbiasa meluluhkan hati perempuan.
Sayla menarik tangannya paksa. “Nggak boleh!”
“Cepet amat jawabnya? Dipikir-pikir dulu kek!”
Sayla menatap Iky sinis.
“Sayla punya gue!” sebuah suara menginterupsi keduanya. Sayla dan Iky menoleh bersamaan. Tetapi ekspresi keduanya berbeda. Sayla menahan tawa sementara Iky terlihat kesal.
Dana mendekati Sayla kemudian mengelus puncak kepalanya. “Sebelum menyatakan perasaan itu harusnya tanya dulu, dia ada yang punya atau tidak. Kan jadinya malu kalau sudah begini.”
Iky segera bangkit kemudian pamit pada Sayla tanpa menatap Dana sedikitpun. Ia bahkan meninggalkan cemilannya begitu saja. Setelah kepergian Iky, Dana dan Sayla tertawa terbahak-bahak.
“Gilaaaa! You’re my hero today! Hebat juga lo!” Sayla menoyor lengan Dana sembari masih terus tergelak.
“Lo lupa kalo temen lo yang cakep ini jago akting? Gitu doang mah, keciiiill!” Dana menjentikkan jarinya dengan ekspresi sombong. Keduanya kembali tergelak.
“Dia udah lama deketin lo?” tanya Dana sembari mencomot cemilan yang ditinggalkan oleh Iky.
Sayla mengingat. “Seinget gue sih, pertama ketemu dia lagi pas ngurus penjajakan buat yudisium. Terus ya sering jalan bareng gitu. Tapi ya gue biasa aja. Nggak tau kenapa ya, kayak ngerasa dia tuh emang nggak serius gitu loh deketin cewek.”
“Kalo misal ternyata dia serius gimana?”
“Dia nggak bakalan langsung nyelonong pergi kayak tadi. Minimal minta maaf atau basa-basi ngomong ‘aku bakal berjuang’ gitu lah,” Sayla cekikikan.
“Ngarep banget diperjuangin, Buk?” lagi-lagi Dana menggodanya, Sayla mengerlingkan mata manja membuat keduanya terbahak. Puas sekali mereka menertawakan hal yang begitu lucu sepagi ini.
“Elo nggak sekolah?” tanya Sayla setelah mengambilkan minuman soda untuknya dan Dana.
Dana menggeleng. “Kalau hari Kamis gue off. Gue bukan PNS kali, yang harus tiap hari masuk.”
Sayla mengedikkan bahu. “Ya kali aja, elo tiap hari masuk. Bantuin guru piket. Carmuk dikit lah biar nanti dikasih jabatan lain selain guru ngajar doang.”
“Nggak ah! Gue seneng ngajar, tapi nggak membabi buta kayak gitu. Masih pengen menikmati hidup. Salah satunya dengan gangguin elo!” Dana mengacak rambut Sayla gemas.
“Ya kan lebih baik cari duit yang banyak dari sekarang. Biar ntar tinggal ongkang-ongkang doang!” Sayla menjulurkan lidah. Ia bukannya meremehkan Dana secara materi. Tapi seingatnya, Dana pernah bercerita jika ia lebih senang mendapatkan uang dari hasil jerih payahnya. Bukan dari pemberian orang tuanya. Makanya Sayla sering sekali mengompori Dana agar lebih tekun bekerja. Bahkan jika perlu mencari kerja sampingan.
“Ya tapi nggak harus sekarang juga, Sa! Masih pengen menikmati idealisme gue sebelum luntur kena permasalahan ekonomi!” Dana menjitak Sayla. “Udah ah, buruan ganti baju! Gue mau nraktir lo soalnya gue habis dapet gaji tambahan ngawas ujian!”
Sayla langsung bangkit dan bersorak. Sudah lama sekali ia tidak jalan-jalan dan makan ditraktir Dana. Selain itu, ia sendiri juga harus menghemat sebelum mendapatkan pekerjaan tetap. Akhirnya Sayla berlari sembari bersiul ke dalam kamarnya. Dana hanya tertawa melihat tingkah Sayla. “Bahagia lo tetep prioritas gue, Sa.”
***
Dana menaiki eskalator diikuti Sayla. Keduanya menatap ke arah berlawanan. Dana menatap kemeja lengan panjang sementara Sayla menatap sepatu kets berwarna abu-abu. Sepatu abu-abunya sudah sangat tidak layak pakai dan lebih layak untuk masuk ke tempat sampah. Ini saja Sayla mengenakan flat shoes karena ia tidak memiliki sepatu lagi.
“Dan, gue mau lihat-lihat sepatu dulu ya!” seru Sayla saat sudah sampai di lantai tiga.
Dana mengangguk kemudian mengikuti langkah Sayla. Keduanya masuk ke dalam store sneakers. Sayla segera mendekati sepatu berwarna abu-abu, warna kesukaannya.
“Lo mau?” tanya Dana yang langsung dijawab anggukan oleh Sayla. “Ambil aja, mumpung diskon tuh!”
Wajah Sayla nampak ragu. Ia menghitung uangnya. Ternyata kurang. Sayla menggigit bibir bawahnya. Ia mendongak kemudian meletakkan kembali sepatu itu. “Nggak jadi deh, kapan-kapan aja!” Sayla memaksakan senyumnya pada Dana.
Dana langsung mengambil sepatu itu kemudian membawanya ke kasir. Sayla terkejut dan langsung menyusul Dana.
“Mbak, ukuran 39 ada kan ya?” tanya Dana pada sang kasir.
“Ada, Kak. Sebentar ya saya ambilkan.”
“Lo apa-apaan sih, Dan? Gue kan bilang kapan-kapan aja. Gue nggak terlalu butuh sama tuh sepatu!” sungut Sayla.
Dana hanya diam seraya menunggu kasir kembali.
“Ini kak, ukuran 39. Langsung bungkus?” tanyanya ramah.
“Iya, Mbak. Ini,” Dana meletakkan kartu kredit di depan kasir yang sedang membungkus sepatu tersebut. Dengan telaten kasir cantik itu menginput data dan menggesek kartu kredit Dana.
“Silakan, Kak! Terima kasih atas kunjungannya.”
Dana langsung keluar setelah menyerahkan sepatu itu pada Sayla.
“Dan! Issh, lo apa-apaan siih? Lo buang-buang duit lo Cuma buat beliin gue sepatu? Gue nggak mau dapet sepatu dengan Cuma-Cuma gini!”
Dana berhenti dan menatap Sayla tajam. Sayla langsung bungkam.
“Sa, lo tuh temen gue! Lo lupa tadi gue bilang apa waktu kita mau ke sini? Gue mau traktir elo kan? Dan itu bentuk traktiran gue buat elo, Sa!”
“Tapi, Dan, ini tuh terlalu mahal untuk sebuah traktiran. Gue nggak mau dibeliin barang semahal ini. dikira gue berteman ama lo Cuma buat dapet gratisan kayak gini,” suara Sayla semakin lirih.
Dana mulai melunak ketika menatap Sayla. Ia tahu, Sayla adalah orang baik. Dia bukan peminta. Dia juga bukan seseorang yang memanfaatkan temannya untuk kebutuhannya sendiri. Tapi ini Dana yang ingin memberikan sepatu untuk Sayla. Sebagai rasa terima kasihnya, karena Sayla selalu ada untuknya. Bahkan Sayla rela menemani Dana berkeliling kota dini hari saat ia baru saja putus dengan kekasihnya dulu.
“Ini nggak gratis kali!” seru Dana yang akhirnya membuat Sayla yang tadinya menunduk mengangkat kepalanya.
Sayla nampak bingung mendengar kalimat Dana barusan. Ia mencoba mencernanya namun tetap tidak paham.
“Maksud lo?”
“Ya ini nggak gratis. Bentar lagi kan ajaran baru, lo harus bantuin gue bikin RPP selama setahun! Dan ini bayarannya,” Dana menampilkan wajah penuh penawaran. “Gimana? Kurang mahal?”
Sayla terhenyak. Ia tahu, Dana paling benci ditolak. Ia akan membuat orang lain menerima apapun darinya tanpa penolakan.
“Oke, boleh! Tapi kalau RPP lo dipuji sama satu sekolahan, lo harus beliin gue tas baru. Deal?”
Sayla mengulurkan tangannya yang disambut oleh Dana dengan genggaman erat. “Oke, deal!”
***

-Rasa yang Tepat-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang