Sembilan Belas

50 9 4
                                    

Sayla menghapus ingusnya dengan tisu setelah bersin berkali-kali. Sejak kemarin, kepalanya sudah pusing dan tadi pagi ketika bangun tiba-tiba hidungnya gatal dan tidak berhenti bersin. Sepertinya ia terserang flu parah.
“Nih!” Nana menyodorkan segelas jahe hangat pada Sayla yang meringkuk di kasurnya.
“Makasih,” Sayla segera meminumnya perlahan. Hidungnya yang tadinya sempat tidak bisa dibuat bernapas, sedikit lega.
“Makanya, kalau lembur tuh liat-liat dong! Elu kalo lembur sampai pagi mesti flu kayak gini!” Nana mulai mengomel sementara Sayla hanya menyengir seraya menghidu aroma jahe hangat yang sepertinya ditambah jeruk nipis.
“Emangnya lemburin apaan sih?”
Sayla menunjuk layar laptopnya yang masih menyala. “Ketiban rejeki bikin lima artikel yang mau diterbitin bulan depan. Biasanya kan gue Cuma dapet dua. Mumpung ada rejeki ya gue ambil semua lah!”
“Gila lo! Kerja keras ya liat-liat kesehatan dong!” Nana melotot sementara Sayla sudah meringkuk di balik selimutnya. Nana akhirnya hanya menghela napas dan mematikan kipas angin Sayla yang masih menyala agar ia tidak kedinginan.
Baru saja Sayla hendak tidur, terdengar suara ketukan pintu. Nana sudah berdiri ketika Sayla menyembul dari balik selimutnya. Nana segera bergegas keluar kamar Sayla dan membukakan pintu. Ia sedikit kaget ketika melihat Alreza di pintu dengan setelan jas sangat rapi.
“Eh!” Nana tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya.
Alreza tersenyum kaku. “Bu Saylanya ada?”
Nana menghela napas. “Ada. Tapi dia lagi sakit. Lagi flu parah.”
Alreza terkejut mengetahui Sayla sakit. Tiba-tiba perasaan khawatir menyelimuti sekujur tubuhnya.
“Emm, ya sudah. 15 menit lagi saya balik lagi ke sini. Tolong jangan bilang dulu kalau saya ke sini. Terima kasih, Mbak.”
Alreza langsung berlari ke motornya dan segera memacunya entah kemana. Nana masih terpaku sembari memegang gagang pintu. Ia baru hendak bertanya namanya, karena Nana lupa. Sayangnya Alreza lebih cepat menguasai diri. Akhirnya Nana hanya mengedikkan bahu kemudian kembali masuk rumah.
Sayla yang penasaran melongok dari pintu kamarnya.
“Siapa, Na?”
Nana mengedikkan bahu kemudian mendorong Sayla agar masuk ke dalam kamarnya. Nana memang sangat protektif ketika teman-temannya sakit. Apalagi Sayla. Diantara ketiganya yang paling maniak bekerja adalah Sayla, sehingga ketika sakit pun dia masih memaksakan bekerja. Nana menjadi sangat tegas bahkan mengarah pada kejam kepada Sayla ketika ia sedang sakit.
“Udah. Lu istirahat aja. Ingus lu kemane-mane tuh!” perintah Nana membuat Sayla cemberut. Tapi tak urung ia menurut dan kembali masuk ke dalam selimut. Tak lama ia tertidur karena pusing di kepalanya sudah tak tertahankan dan matanya terlalu berat untuk terbuka.
15 menit kemudian, Nana mendengar suara ketukan pintu. Ia bergegas membuka pintu. Kali ini mempersilakan Alreza masuk. Alreza sedikit sungkan masuk ke dalam kontrakan perempuan.
“Nggak apa-apa. Laras lagi kerja. Kalo aku emang kerja di rumah sekalian jagain Sayla. Masuk aja ke kamarnya. Kalo butuh apa-apa, bilang aja ya. Aku mau kerja dulu di kamar.” Pesan Nana seraya berjalan ke depan pintu kamar Sayla. Nana membuka pintu kamar dan mempersilakan Alreza masuk. Alreza nampak sungkan tetapi Nana memberikan tatapan percaya. Akhirnya Alreza masuk dan Nana pergi ke kamarnya.
Alreza berjalan perlahan mendekati tempat tidur Sayla. Ia perhatikan Sayla yang sedang terlelap. Alreza mendekatkan tangannya ke dahi Sayla. Panas. Akhirnya Alreza mengeluarkan plester penurun demam dan memasangnya di dahi Sayla. Alreza segera mencari mangkuk untuk menuangkan soto ayam yang masih mengepul. Ia juga mencari gelas agak besar untuk menuangkan teh panas.
Karena merasakan sensasi dingin di keningnya, Sayla membuka mata perlahan. Matanya berair. Agak lama ia mengerjapkan kedua matanya sebelum akhirnya melihat sosok laki-laki mengenakan kemeja putih lengan panjang dengan celana kain hitam berjongkok di sebelahnya sedang menuang teh.
“Alreza....” suara serak Sayla membuat Alreza menoleh. Alreza sedikit terkejut ketika melihat mata Sayla berair.
“Bu Sayla nangis?” tanyanya seraya mengelap sudut mata Sayla dengan tisu.
Sayla meringis. “Aku kalo lagi flu, matanya ikutan pilek. Jadi berair terus!” ia melirik mangkuk dan gelas di samping Alreza. “Kamu beli dimana?”
“Di warung ujung sana. Untung masih buka. Pasti Bu Sayla belum makan kan?”
Sayla hanya menggeleng kemudian berusaha bangun dan duduk di ujung tempat tidur. Ia merapikan sedikit rambutnya yang kusut karena terlalu banyak bergerak selama tidur. Alreza mendekat seraya menyodorkan sesendok soto ayam.
“Eh!” Sayla terkejut ketika Alreza menarik sendok yang hendak dipegang Sayla.
“Aku suapin, ya.”
Tanpa mengeluarkan jawaban, Sayla membuka mulutnya dan menerima suapan dari Alreza. Rasa hangat dari soto langsung memenuhi mulutnya. Manis bercampur asin dan asam dari jeruk nipis membuat tenggorokan Sayla lebih plong. Sayla menikmati makanannya dengan lahap. Padahal sedari kemarin, makanan apapun terasa hambar di lidahnya. Tapi soto yang dibawakan Alreza begitu mudah memicu indera perasanya untuk bekerja dengan baik.
Ketika makanannya tinggal separuh, Sayla seperti teringat sesuatu. “Bukannya hari ini kamu wisuda, ya?”
Alreza yang hendak menyendokkan soto ke mulut Sayla berhenti. Ia mengangguk.
“Terus kenapa sekarang ada di sini?” tanya Sayla lagi.
Alreza tersenyum. “Acaranya udah selesai, kok. Makanya aku bisa ke sini. Nggak tau, ya. Feeling aja kalau Bu Sayla kangen aku!”
Sayla tertawa dan mencubit lengan Alreza gemas. Alreza ikut tertawa dan kembali menyendokkan soto ke mulut Sayla.
“Kok tumben sampai sakit? Badannya panas banget lagi!” ganti Alreza yang bertanya.
“Iya. Soalnya habis lembur tulisan. Maklum, belum punya kerjaan. Jadi yang ada di sikat semua,” Sayla meringis. “Sayangnya, fisiknya nggak kuat buat kerja non stop gitu. Ya jadi ambruknya sekarang.”
“Udah periksa ke dokter?”
Sayla menggeleng. “Kalau flu udah punya obatnya sendiri. Jadi nggak harus ke dokter.”
Alreza menghela napas. Ternyata perempuan ini masih sama. Masih keras kepala.
“Kalau ternyata ada sakit lain selain flu, gimana?”
Sayla hanya meringis seraya mengedikkan bahu. Suapan terakhir dari Alreza dilahapnya dengan semangat.
“Tapi lihat kamu ada di sini, kayaknya rasa sakitnya langsung enggak kerasa.”
Tiba-tiba waktu terasa membeku ketika kata-kata Sayla meluncur begitu saja. Selanjutnya, situasi terasa begitu canggung. Akhirnya Sayla memilih untuk meneguk tehnya untuk menghilangkan kegugupannya. Ia merutuki kebodohannya yang tidak bisa menahan perasaan untuk berbicara seperti itu pada Alreza.
“Oh iya, aku kemarin lusa habis tes masuk perguruan tinggi. Aku ambil jurusan Teknik Elektro. Yah, meskipun nggak sarjana, seenggaknya nambah ilmu.” ujar Alreza berusaha mencairkan suasana.
Sayla mendongak menatap Alreza. “Cuma ambil D3? Kenapa?”
“Ya nggak apa-apa. Gelar bukan tujuan utama sih. Tapi pingin punya keahlian lebih aja. Setidaknya nanti waktu kerja nggak cuma jadi jongos kalau lulusan SMK. Biar ada pangkatnya dikit, hehehe.” Alreza terkekeh menatap wajah Sayla yang terlihat bingung. Akhirnya Sayla hanya mengangguk.
“Nih obatnya diminum. Habis itu istirahat,” Alreza menyodorkan obat dan segelas air putih yang langsung diterima Sayla. Setelah meminum obatnya, Sayla segera meringkuk di bawah selimutnya. Alreza bergegas mengangkat mangkuk dan gelas kotor keluar dari kamar Sayla. Baru saja sampai di pintu kamar, Sayla memanggilnya membuat Alreza menoleh.
“Makasih!” ujar Sayla lirih dengan wajah memerah. Entah karena flu atau karena malu. Alreza menatapnya cukup lama sebelum akhirnya tersenyum dan segera ke dapur. Hatinya benar-benar menghangat hari ini.

***

Haaaii pembaca setiaaakuuuu!!
Terima kasih karena terus menunggu kisah Alreza dan Sayla
Maaf sekali karena telah membuat menunggu terlalu lama.
Aku mau cerita sedikit tentang alasannya boleh? Bolehlah, wkwk
Jadi, Alreza sudah bahagia bersama dengan hidupnya. Aku bingung harus melanjutkan cerita ini seperti apa. Harus dilanjutkan seperti apa? Benar-benar buntu karena tiba-tiba cerita nyatanya harus berubah tanpa bisa kucegah.
Inspirasiku, sudah tak ada lagi bersamaku. Aku jadi bingung mengembangkan ceritanya seperti apa?
Bisa beri aku sedikit penguatan dan saran untuk melanjutkan cerita ini?
Bisa kirim pesan pribadi padaku yaa teman :)
Terima kasih sudah membaca sedikit curhatanku ini. Peluk jauh dari author, hehe

-Rasa yang Tepat-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang