Empat Belas

48 7 3
                                    

Alreza keluar dari ruang ujian. Hari ini adalah hari terakhirnya melaksanakan Ujian Nasional. Namun, kelegaan belum mampu menyelimuti karena masih ada Uji Kompetensi Keahlian. Tetapi setidaknya bebannya sudah sedikit berkurang.

Alreza dan teman-temannya berkumpul di warung yang agak jauh dari sekolah. Mereka melepas penat setelah berbulan-bulan dicekoki materi dari kelas sepuluh sampai kelas 12. Mereka sedang meregangkan otak dengan berkumpul dan bercengkrama bersama teman-temannya.

"Gue dateng ke wisudanya Bu Sayla!" celetuk Alreza tiba-tiba membuat teman-temannya termasuk Ivana yang ada di sana terlonjak kaget bukan main.

"HAH!? SERIUS!?" Ivana berteriak heboh. Namun, suaranya masih kalah dengan gerombolan anak-anak TKR yang berjumlah lebih banyak.

Alreza mengangguk seraya menghembuskan asap rokoknya. "Gue datengin dia ke rumahnya. Ngasih selamat. Habis itu pulang. Selesai! Cerita tamat!" kata-kata terakhirnya diucapkan dengan nada bahagia yang dibuat-buat.

Wawan, Galang, dan Bayu melongo mendengar cerita teramat singkat itu. Padahal mereka menantikan kisah yang membuat mereka tersedu-sedu.

"Ck, apaan sih lo! Yang bener dong kalo cerita!" seru Bayu jengkel.

Alreza tergelak. "Lah, emang kayak gitu doang. Lo berharap gue sama Bu Sayla main India-Indiaan?"

Ivana menatap Alreza. "Nggak mungkin cuma ngucapin selamat doang kan?"

"Lo apaan sih, Na? Ya cuma gitu doang! Emang mau ngomongin apa lagi?"

Ivana mendecak. "Ya apa gitu. Tungguin gue kek, atau apa kek. Inget ya, lo nggak pernah ngasih penjelasan yang jelas waktu tiba-tiba menjauh dari Bu Sayla. Please deh, ini bukan cuma soal umur kan?"

Alreza menelan ludah. Kalau sudah berdebat dengan Ivana, ia selalu jadi pihak yang terpojok. Bayu, Galang dan Wawan juga tampak berada di pihak Ivana.

"Ya siapa yang nggak minder kalo masalah umur, Na. Gue pikir, jarak usia empat tahun itu lumayan bikin salah satu diantara kita minder. Gue nggak mau dia bareng sama gue tapi dia nggak nyaman. Kebahagiaannya dia tetep prioritas, Na."

"Kalo ternyata kebahagiaannya elo gimana?" celetuk Bayu yang membuat Alreza bungkam.

Alreza kehabisan kata-kata. Ia juga ingin menjadi kebahagiaan Sayla. Bahkan, ia sudah yakin bahwa dirinya adalah seseorang yang Sayla tunggu. Tapi masih ada keraguan di hatinya. Masih ada kata tidak yang menunggu diubah. Dan masih banyak hal lain yang harus ia temukan sendiri jawabannya sebelum ia mampu menjawab semua tanya Sayla.

"Kalau emang gue kebahagiaannya Bu Sayla, ya gue akan berusaha bikin dia bahagia. Tapi gue mau nunjukin dulu kalau gue emang cocok bareng sama dia. Kalian tau kan, ini nggak gampang. Trauma gue akan perpisahan masih keliatan di depan mata. Gue harus selesai sama diri gue sendiri sebelum memulai cerita baru sama Bu Sayla." Akhirnya Alreza menjelaskan. "Banyak hal yang bikin gue mundur dari Bu Sayla. Tapi sorry, gue nggak bisa ngasih tau sekarang. Buat sekarang gue mau fokus UKK dulu dan lanjut kuliah!"

"Lo mau kuliah!?" seru Wawan dan Galang bersamaan.

Alreza mengangguk. "Yah, walaupun nggak sarjana, minimal D3 lah. Gue pingin punya keahlian di bidang jaringan. Entah apapun nanti kerjaannya, yang penting gue usaha dulu."

"Gilaaaakk!! Salut gue bro sama elo! Manusia yang paling selo diantara kita tapi paling punya pandangan soal masa depan. Hebat! Hebat! Hebat! Gue bakalan dukung lo terus!" Galang bertepuk tangan heboh.

Alreza tersenyum mendengar dukungan dari teman-temannya. Ia tahu, bersanding dengan Sayla bukanlah perkara mudah. Ia harus menemukan jati dirinya agar pantas bersama Sayla.

***

Alreza sudah naik ke atas motornya ketika sebuah tangan mencolek pundaknya. Ia menoleh. Senyum Gadis menyambutnya.

"Apa?"

Gadis cengengesan. "Mau bareng boleh nggak?"

"Lah, bukannya kelas sepuluh sama sebelas libur, ya? Elo ngapain masuk sekolah?" tanya Alreza penasaran.

"Ya, soalnya bosen di rumah. Jadi tadi ke perpus. Sekalian bantu rapihin buku-buku yang berantakan," Gadis memandang Alreza. "Boleh ya, bareng sampai depan aja?"

"Gak!" seru Alreza kemudian langsung men-starter motornya dan pergi. Bayu yang ada di belakangnya geleng-geleng.

"Mau bareng gue nggak?" tawar Bayu. Kasian juga melihat anak orang berjalan sendirian.

Gadis mengangguk kemudian segera naik ke boncengan Bayu. Bayu melajukan motornya pelan.

"Kenapa sih Kak Alreza jutek banget? Padahal kan aku Cuma pengen kenal lebih deket. Eh, tiap mendekat dicuekin mulu!" keluh Gadis sembari melipat kedua tangannya di depan dada.

Bayu tergelak. "Dia sih emang gitu orangnya. Susah dideketin. Tapi sekalinya bisa deket, dia asyik kok orangnya. Jadi yang sabar aja kalau emang pengen kenal sama dia."

Gadis terdiam. Ia kira akan mudah mengenal sosok Alreza, orang yang membuatnya penasaran sejak pertama kali bertemu.

"Emangnya nggak ada gitu yang bisa bikin luluh juteknya Kak Alreza?" tanya Gadis penuh rasa penasaran.

Bayu tergelak. "Dia dulu nggak jutek. Coba deh elo tanya temen-temen lo. Mereka pasti bilang kalo Alreza itu raja gombal! Kerjaannya ngegombalin cewek mulu!" Bayu geleng-geleng mengingat tingkah Alreza sejak kelas sepuluh dulu yang kemudian berubah drastis saat naik kelas 12.

Gadis nampak berpikir. Seperti ada yang janggal. Tidak mungkin seseorang bisa berubah secepat itu sifatnya jika tidak dipicu oleh sebuah peristiwa.

"Terus, kalau dulu seramah itu kenapa sekarang jadi jutek? Nggak mungkin kan, orang tiba-tiba jutek tanpa alasan?"

"Iya. Ada seseorang yang udah masuk ke hatinya dan bikin Alreza nggak mau ngeluarin nama itu. Setahu gue sih, setelah orang itu pergi dari hidupnya Alreza jadi berubah."

"Siapa?"

Bayu menggeleng. "Gue nggak berhak ngasih tau lo. Cukup sampai sini aja elo tau soal Alreza. Kalau mau lebih detail, mending lo tanya sendiri sama dia."

***

Alreza sedang suntuk. Padahal Ujian Nasional baru saja selesai. Akhirnya malam ini ia memilih berkeliling naik motor. Entah kemana motor akan membawanya, ia tinggal mengikuti insting. Hingga akhirnya ia tiba di taman kota. Ia memarkirkan motornya kemudian berjalan mengelilingi kota. Tidak terlalu banyak orang di sana. Sepertinya semua lebih memilih beristirahat, atau bahkan masih ada yang sibuk bekerja.

Alreza memandangi sekeliling. Ia melihat beberapa keluarga dengan dua anak yang masih kecil menatap air mancur dengan memakan beberapa camilan. Melihat keluarga yang harmonis seperti itu membuat dadanya sesak. Terakhir kali ia bisa mengingat adalah ketika ia masih duduk di kelas lima SD. Keluarganya begitu harmonis sebelum akhirnya setahun kemudian harus berantakan.

Ia tak pernah menyalahkan Tuhan. Ia tahu, itu yang terbaik. Ia hanya tidak suka dengan kedua orang tuanya yang sama sekali tidak memikirkan bagaimana keadaan mental anak-anaknya setelah mereka berpisah. Bahkan beberapa tahun setelahnya masing-masing dari mereka akhirnya menikah dengan orang pilihannya. Alreza yang tak mau memilih harus ikut siapa, akhirnya ikut Aldian merantau ke kota lain. Meskipun demikian, kedua orang tuanya masih memberikannya dan Aldian uang.

Alreza menggeleng. Masa lalu memang kerap kali datang ketika ia sedang sendirian seperti ini. Tiba-tiba sosok di seberangnya membuatnya memicingkan mata. Di bawah cahaya yang sedikit remang-remang, terlihat seorang perempuan sedang duduk dengan menatap layar laptop.

Alreza berjalan mendekatinya dan berhenti di depannya.

"Bu Sayla?"

***

hallooo readerskuuuuu!!

maaf yaa updatenya lama, karena laptopnya bermasalah :(

untuk menebusnya, ku update 2 bab yaa. semoga kalian berkenan {}

selamat tahun baru, semoga selalu sehat dan bahagia <3

-Rasa yang Tepat-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang