Sayla keluar dari perpustakaan setelah berhasil menemukan empat referensi untuk skripsinya. Ia keluar dengan buru-buru karena Dana sudah keluar terlebih dahulu.
"Dan, tungguin napa. Ahelah!" Sayla menggendong keempat bukunya sembari merapikan rambutnya yang acak-acakan. Saat menyeberangi persimpangan jalan, ia seperti melihat Alreza sekelebat lewat tak jauh darinya. Tetapi ketika ia menyapu pandang ke sekitarnya, ia sama sekali tidak melihat ada seseorang mengenakan seragam SMA. Sayla menghela napas. Lagi-lagi, ia berhalusinasi.
"Ngapain lo berhenti?" tanya Dana menghampirinya.
Sayla menimpuk Dana dengan buku-bukunya. "Capek tau ngejar lo! Jalan cepet amat sih!"
Dana terbahak. "Gue keburu laper, Sa. Bakso dipojokan keburu abis. Yuk ah!" Dana merebut buku-buku Sayla dan menarik tangan Sayla agar dapat menyejajari langkahnya.
Pikiran Sayla masih tertuju pada anak SMA yang barusan lewat sekelebat di depannya. Sayla masih berharap itu Alreza, seseorang yang sangat dirindukannya. Tapi, sepertinya mustahil Alreza ada di kampusnya. Lagipula ada hal sepenting apa sampai Alreza mau ke kampusnya?
"Woi, ngelamun mulu dah! Makan tuh baksonya!" seru Dana yang sedari tadi melihat Sayla melamun.
Sayla memandangi bakso yang sudah ada di pangkuannya. Ia tersenyum. Ternyata Dana hafal betul apa bagian dari bakso yang tidak ia sukai: saus tomat.
"Masih inget aja kalo gue alergi saus tomat." Sayla segera melahap baksonya.
Dana yang sedang menyeruput es degannya berhenti. "Yaelah, hampir tiap hari makan sama lo juga. Masa gitu doang gue lupa? Enggak lah!"
"Eh, si Arin nggak marah elo sama gue terus? Gue takut dibilang pelakor sama dia."
"Gue udah nggak sama Arin."
Perkataan Dana membuat Sayla tersedak kuah bakso pedasnya. Dana buru-buru menyodorkan es degan Sayla.
"Pelan-pelan kalo makan. Sampai nangis gitu keselek kuah bakso."
"Elo sih, ngomong nggak kira-kira! Apalagi ini kuahnya pedes banget!" Sayla mengelap air mata yang meleleh di pipinya. "Kok bisa udahan sama Arin? Karena gue ya?"
Dana diam tak menjawab. Ia kembali sibuk dengan es degannya. Karena kesal tak mendapatkan jawaban, Sayla merebut es degan Dana. Dana menatapnya kaget, sementara Sayla menatap Dana dengan tatapan menuntut penjelasan.
Dana menghela napas panjang. "Gue sayang sama Arin, tapi gue nggak mau dia ngatur-ngatur gue boleh berteman sama siapa. Dia sempet ngelarang gue terlalu deket sama elo, karena dia takut dia bakalan kehilangan gue. Harusnya dia tau, gue cuma sayang sama dia. Sementara sama lo, gue itu udah nganggep lo sahabat terbaik gue. Gue cuma nggak bisa liat lo terpuruk kayak gini makanya gue pengen selalu ada buat lo. Eh, dia salah paham. Dia ngira gue selalu ada buat lo karena gue ada rasa sama lo. Ya udah, gue mengakhiri semuanya."
Sayla terdiam. Ia mencerna baik-baik penjelasan dari Dana.
"Gue sayang sama Arin, tapi gue nggak mau dia terlalu ngatur hidup gue. Dan tolong, jangan mikir ini salah lo. Ini sama sekali bukan salah lo kok." Dana tersenyum seraya mengacak rambut Sayla. Dana beranjak membayar makanan keduanya. Sayla masih terdiam. Sampai kapan ia harus merepotkan Dana yang sudah terlalu baik padanya?
***
Dana menghentikan motornya di depan kontrakan Sayla. Sayla segera turun dan menyerahkan helm pada Dana.
"Mampir dulu?" tanya Sayla.
Dana menggeleng. "Udah malem. Besok aja. Lo juga kudu istirahat kan, besok ngampus lagi? Dah sana buruan masuk."
"Dan!" cegah Sayla ketika Dana akan men-starter motornya.
"Kalau menurut lo pertemanan kita ini toxic, mending kita nggak usah berteman. Gue nggak mau, elo merubah hidup lo cuma buat gue. Gue nggak mau merusak kebahagiaan lo, Dan! Gue sih seneng-seneng aja berteman sama lo, tapi kalo akhirnya gue merusak hidup lo buat apa? Gue nggak mau jadi orang egois yang bikin orang lain mengorbankan hidupnya buat bahagianya gue!"
Dana tersenyum. Ia menggamit tangan Sayla.
"Sa, gue sama sekali nggak merubah hidup gue. Gue ngelakuin ini karena gue nggak mau diatur-atur. Elo tau sendiri kan, kalo gue lebih seneng menjalani apa yang bikin gue seneng, bukan apa yang bener. Jadi meskipun ini salah, kalo gue seneng bakalan gue jalanin. Dan berhenti menyalahkan diri lo! Lo nggak salah! Gue sayang sama lo sebagai temen gue, nggak lebih! Gue bakalan seneng kalo liat temen gue juga seneng. Percaya sama gue, hidup gue masih baik-baik aja tanpa Arin." Dana tersenyum dan mengelus punggung tangan Sayla lembut.
"Lagian, gebetan gue dimana-mana kali! Ngapain pusing cuma karena putus?" Dana tergelak, tanpa sadar Sayla pun ikut tertawa.
"Dasar playboy cap ikan teri!" Sayla memukul lengan Dana.
"So, berhenti nyebut pertemanan kita ini toxic. Ini sama sekali nggak toxic kok! Kalo sampai lo ngomong gitu lagi, gue bakar kontrakan lo!" Dana segera menyalakan motornya dan melajukannya kencang.
"Dasar nyebelin!" Sayla tertawa menatap kepergian Dana. Ternyata, selain cinta, hal berharga di hidupnya adalah sahabat. Dan Dana adalah sahabat yang berharga baginya.
***
maafkaaan telat banget updatenyaaa :"
mood lagi berantakan, ide buat nulis pun juga berantakan.
terima kasih yang masih setia nungguin cerita ini up. selamat membaca yaaaaa (peluk cium dari jauh)
KAMU SEDANG MEMBACA
-Rasa yang Tepat-
Teen FictionLanjutan "WAKTU YANG SALAH" Sayla sudah selesai magang. Kisahnya yang singkat pun harus ikut usai. Namun, ternyata setelah segala kerumitan yang terjadi, masih banyak lagi hal rumit yang menghampirinya. Alreza sedang menata banyak hal: nilai-nilai y...