Dua Puluh

37 3 4
                                    

Empat bulan kemudian....

Alreza berjalan sembari mengacak rambutnya. Baru saja keluar dari kelas, ia sudah mendapatkan pesan bahwa kerja kelompok akan segera dimulai. Ia segera berjalan menuju gazebo di dekat kantin fakultasnya.

"Lama banget, bro!!" Seru Aldi, teman sekelompoknya.

Alreza meletakkan tasnya setelah duduk dengan nyaman. "Dosennya terlalu asyik cerita soal betapa rumit hidupnya kayak kabel di lab. Makanya lama."

Teman-temannya yang ada di sana tergelak. Kemudian mereka segera fokus mengerjakan. Alreza sudah meminjam buku di perpustakaan yang segera ia baca dan menyumbangkan idenya pada makalah yang sedang diketikkan Netty, salah satu anggota kelompoknya.

"Eh, presentasi kita kapan dah?" tanya Lisa sembari mencoret-coret buku tulisnya.

Alreza nampak berpikir kemudian membuka catatan di ponselnya. "Minggu ke-14. Dua minggu sebelum UAS. Lumayan lah waktunya. Kurang sebulan lagi. Jadi kalau nemu referensi bisa kita tambahin makalahnya."

"Bener juga. Tapi niat gue sih, minggu depan makalahnya selesai. Biar kita nggak melulu berkutat sama makalah ini. Tugas individu masih banyak nih!"

"Gue sih terserah. Bisa selesai sekarang juga hayuuk aja!" sahut Alreza kemudian tertawa. Teman-temannya malah mendelik dan melemparinya dengan kertas.

Kehidupan Alreza benar-benar lebih tertata dari sebelumnya. Ketika ia dinyatakan diterima sebagai mahasiswa D3 Teknik Elektro, Aldian sudah mewanti-wantinya agar selalu rajin kuliah. Ia tidak akan menolerir sekali saja absennya Alreza tanpa keterangan. Lebih baik langsung bekerja daripada buang duit untuk kuliah tetapi malah sering bolos, begitu peringatan Aldian ketika itu.

Mungkin itu hanya kalimat ancaman sederhana tapi benar-benar memberikan efek yang cukup kuat bagi Alreza. Alreza tidak pernah terlambat datang kuliah. Selelah apapun ia, akan selalu masuk kuliah meskipun terkadang tertidur di kelas. Ia tidak pernah terlewat mencatat semua penjelasan dosennya. Bahkan di ujian tengah semester kemarin, ia mendapatkan nilai sempurna untuk mata kuliah bahasa inggris kejuruan. Dosennya bahkan menyanjungnya setiap kali masuk ke kelas. Hal ini membuat Alreza semakin bersemangat dalam berkuliah.

Tunggu saya sampai bisa membuktikan, bahwa hidup saya tidak seburuk masa lalu saya, Bu Sayla.

***

Satu tahun kemudian...

Sayla sedang serius membuat soal untuk kuis minggu depan ketika Dana duduk di depannya. Sayla sempat terlonjak saat Dana menggerakkan monitor laptopnya.

"Sejak kapan lo di situ?" tanya Sayla dengan wajah kaget.

Dana mendengus. "Udah hampir sepuluh menit gue di sini, elo nggak nyadar juga. Lagi bikin apaan sih?"

Sayla meringis. "Ini lagi bikin kuis buat minggu depan. Anak-anak paling semangat kalo dikasih kuis soalnya. Katanya bosen kalo bikin esai gitu. Ya udah lah, sesekali gue berbaik hati. Ye kan?"

Dana hanya tersenyum. Ia senang, semenjak Alreza menemuinya selepas wisuda, Sayla menjadi lebih ceria dan terlihat lebih hidup. Senyumannya yang sempat meredup, kini kembali terlihat.

Sayla yang sadar sedang dipandangi mendongak. "Ngapain lo senyam-senyum gitu?"

"Nggak apa-apa. Senyum kan ibadah!"

Sayla memicingkan matanya kemudian kembali berkutat dengan kuisnya. Delapan bulan yang lalu ia akhirnya diterima di SMK Kebangsaan. Mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk kelas sepuluh animasi dan multimedia. Sekolah sengaja memberi Sayla kelas yang lebih dominan perempuan agar ia lebih nyaman. Jadi sempat terjadi pertukaran guru, yang awalnya diajar oleh Rendra menjadi dipegang Sayla untuk kelas sepuluh.

"Oh iya, nanti temenin beli ATK ya. Sticky notes, kertas origami sama bulpoin warna gue habis nih!" celetuk Dana membuyarkan lamunan Sayla.

Sayla mengangguk. "Iya, gue juga beli kertas isian binder sama notes kecil. Elo sampai jam berapa?"

Dana nampak berpikir. Ia mendekati papan jadwal untuk melihat jadwal hari ini. "Gue sampai jam kesepuluh nih nanti. Elo sampai jam ke..." Dana melihat kode mengajar Sayla. "Jam terakhir?"

Sayla melenguh. "Pasti anak-anak udah pada ngantuk tuh! Ah elah, kenapa juga harus ada jam terakhir!"

"Ya nggak apa-apa sih, Sa. Mereka juga bakalan seger lagi kalau ngeliat elo!"

Sayla memutar bola matanya. Tidak semua siswa menyukainya, ia tahu itu. Meskipun sikapnya sudah diatur sedemikian baik, pasti akan ada yang tidak senang dengan caranya mengajar bahkan ketika ia baru saja masuk ke dalam kelas.

"Nggak semuanya bakalan seger gitu kali, Dan! Ada juga yang makin ngantuk pas ngeliat gue apalagi dengerin penjelasan gue!" Sayla memberengut.

Dana mengangkat bahu. "Biarin aja. Toh hidup kita bukan untuk bikin semua orang terkesan. Santai aja!"

Sayla tersenyum kemudian melanjutkan aktivitasnya. Ia tidak ingin kehilangan fokusnya untuk mengajar sepenuh hati apapun kondisinya. Hal ini juga yang membuat Sayla berhenti menjadi penulis freelance. Ia ingin lebih fokus pada kegiatan mengajar. Ia takut jika disambi menulis, pekerjaan mengajarnya akan keteteran. Pihak kantor tempatnya bekerja sempat memohonnya agar tetap bertahan karena tulisan Sayla selalu mendapatkan pembaca paling banyak. Akhirnya, ia mau menulis hanya dua tulisan dalam satu bulan. Meskipun berat, pihak kantornya menerima sembari mencoba mencari penulis yang bisa menggantikan posisi Sayla.

"Bu Sayla, mau mengumpulkan tugas," seruan seorang murid laki-laki yang sedari tadi ditunggunya. Senyum Sayla melebar. Tidak ada yang tidak menyenangkan dari menjadi seorang pengajar!

***

-Rasa yang Tepat-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang