Sayla segera memakan makanannya saat Dana baru kembali dari toilet.
"Eh, Sa, lo tau nggak?" tanya Dana sembari meneguk minumannya.
Sayla menatap Dana kesal. "Lo kan belum ngomong, ya nggak tau lah gue!"
Dana cekikikan. "Oh iya! Maap daah. Jangan manyun gitu dong!" Dana melanjutkan ceritanya. "Gue dapet panggilan kerja di SMK Kebangsaan!"
Sayla menghentikan kegiatan makannya dan menatap Dana takjub. "Serius?"
"Serius!"
"Lo nggak becanda kan?"
"Ya ngapain juga gue becanda soal kerjaan kampret!"
Mata Sayla berkaca-kaca. Tiba-tiba kenangan saat mereka magang berputar di otaknya.
"Eh, jangan nangis! Lo kenapa dah jadi nangis?" Dana mengambilkan tisu untuk Sayla.
"Mendadak gue nostalgia jaman kita magang dulu. Ah, jadi kangen!"
"Kangen magangnya apa kangen Alreza?"
Deg. Jantung Sayla berhenti berdetak untuk beberapa saat. Kemudian ia melirik ponselnya. Tadi pagi sebelum ujian, ia sudah mengirimi Alreza pesan, meminta doa. Tetapi tidak ada balasan.
"Yee, malah bengong!" Dana menoyor kepala Sayla. "Kangen Alreza beneran ya lo?"
"Paan sih? Makan tuh makanan lo. Keburu basi!" Sayla pura-pura sibuk dengan makanannya.
Dana menatap Sayla dalam-dalam. "Lo mau sampai kapan sih bohongin perasaan lo sendiri?"
Sayla masih menghindari pandangan Dana. Ia menghentikan aktivitas makannya. Mendadak makanan di depannya terasa tidak lagi enak.
"Lo tau apa?" tanya Sayla lirih.
Dana tersenyum sinis. "Lo pikir selama ini gue tolol apa? Keliatan banget kalo kalian berdua lagi papasan di koridor, atau pas lagi di kelas, pandangan kalian itu bukan pandangan guru sama murid. Pandangan kalian itu pandangan orang yang lagi j.a.t.u.h c.i.n.t.a!!"
Sayla tersenyum getir. Ia memang merasakan nyaman saat bersama Alreza. Tapi apa itu bisa disebut ia sedang jatuh cinta?
"Kalo sampek hampir setahun lo masih kepikiran, ya bisa dipastikan kalo itu cinta!" seru Dana seakan menjawab pertanyaan batin Sayla.
"Lo kok kayak cenayang sih? Sok tau isi hati orang!"
"Tapi bener kan?"
Sayla hanya memberengut dan menatap Dana marah. Sedangkan Dana bersikap bodo amat kepada Sayla. Selama apa yang ia katakan benar, ia tidak perlu merasa bersalah pada Sayla.
"Ada yang mau lo titipin nggak?" tanya Dana setelah makanannya tandas.
Sayla melongo. "Nitip? Nitip buat apa?"
Dana menoyor kepala Sayla. "Nitip buat Alreza lah. Kan bentar lagi gue ngajar di sana. Gimana sih lo!"
Sayla menggeleng pelan. Ia bahkan tidak tahu, jika nanti mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan Alreza apa yang harus ia bicarakan.
"Ya udah. Gue tiap hari kok di sana. Jadi kalo tiba-tiba minggu depan ada yang mau dititipin, tinggal ngomong. Tapi traktir gue makan dulu!"
"Nyebelin!!"
***
Sayla menghela napas lega setelah dua minggu belakangan ia disibukkan dengan revisi dan penjajakan. Kartu mahasiswanya baru saja dilubangi. Ia merasa lega. Dua bulan lagi, ia akan segera di wisuda dan selesai dengan semua urusan perkuliahan yang membuatnya pusing.
Sayla berjalan sendirian di koridor kampus. Nana dan Laras sudah selesai 8 bulan yang lalu, sehingga ia hanya seorang diri di sini. Tiba-tiba ia melihat sekelebat bayangan orang yang mengikutinya. Sayla merinding sendiri.
"Ya kali siang-siang gini ada hantu!" gumamnya pelan sembari mempercepat langkahnya.
"Hai—"
"HUUUAAAA!!" pekik Sayla sembari menutup wajahnya dengan kedua tangan.
"Eh, eh. Saya bukan setan. Ini manusia. Nih liat, kaki saya napak tanah kok!" ujar suara itu berusaha menenangkan.
Sayla mengintip dari sela-sela jarinya. Sepatu converse putih membalut kaki di depannya. Perlahan, ia turunkan tangannya kemudian melihat siapa yang ada di depannya. Seorang laki-laki yang sepertinya baru saja menjadi mahasiswa.
"Nah, sudah tenang?" tanya laki-laki itu. Sayla mengangguk. Ia berusaha mengingat-ingat, siapa lelaki di depannya ini. Ia pernah melihatnya, tapi dimana?
"Kamu...." kalimat Sayla terhenti saat ia tak juga menemukan memori di mana ia pernah bertemu dengan laki-laki ini.
"Yah, sudah lupa dia!" seru laki-laki itu seraya tertawa. "Iky. Murid XII TKR 2 yang waktu itu minta nomor WA."
Sayla terkejut. Ternyata mantan muridnya. "Oh, kamu! Iya iya, saya baru ingat. Kamu ngapain di sini?"
Pundak Iky mendadak melorot. "Ya kuliah mbak, masa nguli!"
Sayla tertawa. Konyol juga pertanyaannya. Tidak mungkin juga anak ini hanya main-main ke kampus. Kurang kerjaan saja!
"Emm, ketimbang ngobrol di pinggir jalan kayak gini, mending kita duduk di kantin, sambil makan. Biar enak ngobrolnya," ajaknya. Sayla mengangguk kemudian keduanya berjalan berdampingan menuju kantin di sebelah perpustakaan.
Setelah memesan makanan, keduanya mencari tempat duduk. Sayla memerhatikan Iky. Anak ini kenapa bisa sebegitu ingat pada Sayla? Padahal sudah setahun berlalu dan mereka tidak pernah lagi bertemu.
"Kamu kok masih ingat saya?" tanya Sayla setelah keduanya duduk.
Iky yang tadinya sibuk memainkan ponselnya segera mendongak dan meletakkan gawainya.
"Ya kenapa harus nggak inget. Orang dulu bu Sayla jadi primadona di SMK Kebangsaan. Meskipun Bu Sayla nggak ngajar di kelas saya, satu kelas hapal sama ibuk," Iky menjelaskan. "Emm, kok formal sekali ya kita ngobrolnya."
Sayla tertawa. "Iya ih... mending jangan pakai saya. Aku-kamu gitu ya? Terus juga jangan panggil 'bu'. Panggil Sayla aja."
"Tapi kan lebih tua situ."
"Jangan bawa-bawa umur ya!" Sayla menampakkan wajah sok garang. Kemudian keduanya tertawa.
Asik juga nih orang! batinIky.
KAMU SEDANG MEMBACA
-Rasa yang Tepat-
Teen FictionLanjutan "WAKTU YANG SALAH" Sayla sudah selesai magang. Kisahnya yang singkat pun harus ikut usai. Namun, ternyata setelah segala kerumitan yang terjadi, masih banyak lagi hal rumit yang menghampirinya. Alreza sedang menata banyak hal: nilai-nilai y...