Graduation and Sick
Tian menatap undangan wisuda yang sekarang di tangannya. Pikirannya berkecamuk hebat. Ada pertentangan di sana. Satu sisi hatinya ingin memberikan undangan wisuda itu kepada kedua orang tuanya, namun di sisi hatinya yang lain berusaha untuk menahan keinginannya. Satu sisi, Tian ingin wisudanya kali ini dihadiri oleh orang tuanya, namun di sisi lainnya Tian merasa tidak ada yang cukup dibanggakan dari wisudanya kali ini. Saat kelulusan SMA, dia adalah salah satu dari sepuluh lulusan terbaik, dan saat wisuda sarjana dia lulus dengan predikat lulusan terbaik dan tercepat. Sekarang, tidak ada predikat apapun atas kelulusannya. Di dua kelulusan sebelumnya, dimana dia meraih prestasi, kedua orang tuanya tidak datang, sekarang, di kelulusan master degree-nya Tian merasa tidak ada yang bisa dibanggakan.
Mengambil tas ranselnya, Tian memilih memasukkan kembali undangan wisuda itu. Dibukanya kembali kemeja putih yang sekarang membalut tubuhnya, lalu dia berganti dengan t-shirt. Tian melipat kemeja dan toga lalu memasukkan ke tas ransel yang biasa dia pakai. Tampilannya berubah. Hari ini memang hari wisuda untuknya, namun dia memilih untuk datang seorang diri di acara wisudanya. Rencananya, dia baru akan memberitahu jika dia sudah lulus dan diwisuda nanti malam saat makan malam.
Hari ini hari sabtu. Biasanya jika hari sabtu seperti ini justru Tian akan sedikit sibuk di resto dan cafe miliknya, maka saat Tian pagi ini berpamitan, Markus tidak curiga sama sekali jika Tian sudah beraktivitas sejak pagi. Apalagi tampilan Tian sangat casual, tampilan yang biasa digunakan Tian ketika dia ke resto dan cafe miliknya.
Hari beranjak sore saat Feinya datang ke rumah Markus. Siska yang membuka pintu terkejut saat mendapati Feinya datang dengan satu buket bunga di tanganya. Dia datang bersama dengan Mario.
"Lho Fei, tumben sekali pake bawa bunga segala" Siska mempersilakan Feinya dan Mario untuk masuk
"Lho bukannya hari ini Tian wisuda kan tante? Tadi Feinya gak sempat datang ke kampus soalnya harus jaga di rumah sakit. Jadinya ya sekarang ke sini." Feinya sedikit bingung dengan wajah Siska yang menunjukkan wajah ketidaktahuannya. Siska lalu menoleh pada Markus, sama halnya dengannya, Markus juga menampakkan wajah kekagetannya.
"Ya udah, masuk dulu. Tante lihat dulu Tian. Habis pulang tadi dia belum keluar kamar" Siska lalu beranjak dan menuju kamar Tian. Sementara, Feinya dan Mario sekarang menunggu di ruang tamu dan ditemani oleh Markus. Kesempatan itu digunakan Markus untuk bertanya soal kelulusan dan wisuda dari Tian.
Setelah mengetuk pintu beberapa kali dan tidak mendapat respon, Siska memutuskan untuk membuka pintu kamar Tian. Pintu kamar tidak terkunci, sehingga memudahkan Siska untuk masuk ke kamar Tian. Saat masuk, Siska mendapati Tian yang tertidur namun dengan selimut yang hampir menutupi tubuhnya. Siska mendekati Tian bermaksud membangunkannya, namun yang didapatinya Tian yang tengah menggigil dengan keringat dingin di keningnya. Melihat itu, Siska langsung keluar, lalu menuju ke ruang tamu dengan langkah sedikit tergesa.
"Fei, mending ikut sama tante deh. Tian, dia sepertinya demam. Tadi tante lihatnya dia sampai menggigil" Perkataan dari Siska membuat semua orang yang ada di situ langsung berdiri dan mengikuti Siska menuju ke kamar Tian. Mereka kini mendapati Tian yang sedang menggigil dengan tubuh demam. Markus dan Siska memberi ruang kepada Feinya untuk memeriksa Tian.
"Diiiinnngggiiiiiiiinnnn....." Ujar Tian lirih dengan sedikit menggigil saat Feinya mencoba menyibakkan selimutnya dan meletakkan tangannya di kening Tian. Mario, menghampiri Feinya dan memberikan tas yang berisi peralatan dokter Feinya yang ditinggal Feinya di mobil. Segera diambilnya stetosokop dan thermometer gun lalu memeriksa Tian.
"Kak, kak Tian pusing apa gak?" Tian hanya mengangguk lemah menjawab pertanyaan Feinya.
"Mual?" Lagi, Tian kembali mengangguk dengan pertanyaan singkat Feinya.
Feinya lalu bangkit dan berjalan menuju Markus dan Siska yang berdiri melihat interaksi Tian dan Feinya.
"Om, Feinya ke apotek dulu ya. Mau beli beberapa obat buat kak Tian" Ujar Feinya.
"Tulis aja di resep Fei, biar abang yang beli. Kamu di sini aja, kayaknya Tian lagi butuh kamu di sini" Feinya menurut, setelah menulis resep dan memberikannya ke Mario, Feinya lalu beranjak ke arah Markus.
"Om, Feinya curiga kalau kak Tian kena Tifus. Untuk pastiinya, Feinya perlu tes darahnya kak Tian. Nanti akan Feinya ambil darahnya, biar besok udah bisa ketahuan tifus apa gak-nya" Ujar Feinya ke Markus.
"Gak apa-apa. Lakuin aja Fei. Akhir-akhir ini memang Tian terlihat memforsir tenaganya. Dia ngejar kerjain thesisnya karena dosennya mau ke luar negeri. Om sering nemenin dia kerjain laporan penelitian bahkan sampai larut malam" Markus menjelaskan kepada Feinya tentang perilaku Tian yang tidak sehat akhir-akhir ini yang mungkin menjadi penyebab tumbangnya kesehatan Tian.
Sore itu, Feinya memberikan obat untuk menurunkan demam. Dia juga telah mengambil sample darah Tian yang rencananya akan dia bawa ke laboratorium rumah sakit untuk diperiksa.
Malam harinya, Markus mendatangi Tian di kamarnya. Kondisinya sudah lebih baik, walaupun masih demam. Dilihatnya Tian, sedang tidur. Markus mengambil kursi lalu duduk di samping Tian. Sejujurnya, Markus sangat kecewa saat mengetahui bahwa hari ini adalah hari kelulusannya dan Tian memilih untuk tidak memberitahukannya. Padahal, Markus dan Siska ingin sekali menghadiri wisuda kelulusan dari Tian.
"Sedalam apa sebenarnya luka yang sudah papa kasih ke kamu, sampai kamu lakuin ini nak? Seburuk apa sebenarnya papa sama mama di mata kamu, sampai kamu berlaku seperti ini nak? Belum cukup ya nak dengan semua yang udah papa coba lakuin ke kamu? Hm...." Markus mengucap pelan sambil tangannya mengelus rambut Tian halus. Sesekali Markus juga mengecup kepala Tian tersebut. Walaupun hatinya kecewa dengan sikap Tian, tapi Markus masih berusaha memahami keputusan anaknya tersebut. Tian sendiri sebenarnya belum tertidur. Dia hanya memejamkan mata untuk menghindari pusing yang ada di kepalanya. Saat Markus hendak beranjak pergi, Tian menahan tangan Markus. Memeluk tangan papanya itu dan kemudian membenamkan wajahnya di lengan Markus.
"Maaf pa.. Maafin Tian. Tian gak maksud gitu.. Maafin Tian pa. Tian cuman gak mau papa kecewa. Tian gak dapat predikat apa-apa kali ini. Tian takut papa dan mama kecewa kalau datang di wisudanya Tian. Maafin Tian pa.. Maaf.." Ujar Tian sambil tetap menutup matanya. Markus merasakan jika tubuh Tian bergetar. Isakan tangis kecil keluar dari Tian. Lengan Markus menjadi basah oleh airmata Tian. Markus lalu merespon dengan memeluk erat Tian dari samping. Tian memang tidak bermaksud sama sekali untuk dengan sengaja mengacuhkan Markus dan Siska. Dia hanya tidak ingin Markus dan Siska kecewa dengan kelulusannya kali ini yang tidak memperoleh penghargaan apapun.
"Papa gak marah, nak. Papa gak bisa marah sama kamu. Papa hanya kecewa. Mau kamu peringkat terakhir sekalipun atau kamu wisudawan terburuk, papa tetap bangga sama kamu. Di mata papa, kamu tetap yang paling hebat" Setelah tahu alasan Tian tidak memberitahu kelulusannya, Markus bisa sedikit lega. Rupanya, Tian masih terjebak dalam fase pembuktian diri bahwa dia bisa lebih dari kakaknya, Reynald, yang selama ini mendapatkan perhatian penuh dari Markus dan Siska. Ketika Tian tidak bisa mencapai target yang sesungguhnya dia sendiri yang menetapkan, maka yang terjadi adalah kondisi shock seperti saat ini dan ini akan berdampak pada kondisi fisik dari Tian. Siska yang sedari tadi melihat dan mendengar interaksi Markus dan Tian, hanya bisa menghela nafas panjang.
"Nak, kamu tidak perlu seperti itu. Kamu tidak perlu membuktikan apapun ke papa dan mama. Semua yang telah kamu capai sekarang ini, itu sudah menunjukkan kalau kamu adalah yang terbaik. Kamu adalah yang terkuat. Papa mohon, jangan siksa diri kamu sendiri dengan anggapan bodoh itu. Karena itu juga akan menyiksa kami juga nak" Tian masih terisak pelan di lengan Markus. Dia kemudian membuka matanya, lalu mendongakkan kepalanya dan kemudian berkata
"Pa, Maafin Tian ya.." Markus hanya tersenyum. Mengecup lagi kepala Tian. Melihat Tian yang menyesal dan sakit seperti itu membuatnya sakit juga.
"Ya udah.. Udah makan dan minum obat kan? Tidur lagi aja. Kamu masih demam kan?" Markus meletakkan kembali kepala Tian yang tadi menempel di lengannya ke bantal. Menarik selimut hingga sebatas dada Tian. Sesudah itu semua, Markus meninggalkan Tian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melukis Cinta Semesta (Tamat)
RandomTentang cinta Tentang saudara Tentang keluarga Tentang bagaimana seseorang berjuang mendapatkan cinta dan kebahagiaan. Tentang bagaimana seseorang menerima dengan ikhlas Tentang bagaimana seseorang memperbaiki masa lalu cover by: Canva