Part 11

301 31 0
                                    

Getting Closer

Sabtu malam minggu. Tian sudah berada di Jakarta. Sebenarnya dia masih capek sehabis pulang dari Malang namun dia juga tidak betah di rumah. Hanya ada Markus dan Siska, orang tuanya saja di rumah sebesar itu. Reynald masih belum menyelesaikan pekerjaannya Thailand. Jadilah, daripada gabut di rumah tidak jelas, maka Tian berencana menghabiskan waktunya ke mall. Jadilah sore itu, Tian sudah berada di mall untuk menghabiskan waktunya dan lokasi pertama yang dituju oleh Tian ketika di mall adalah food court dan bioskop. Food and movies, dua hal yang bisa menaikkan mood dengan mudah bagi Tian.

Sedang enak-enaknya menyusuri beberapa counter makanan di food courts, matanya langsung terfokus pada satu meja. Di sana ada dua orang yang akrab berbincang sambil menunggu pesanan makanan. Salah satunya Tian sangat mengenal, dia Feli. Tanpa berpikir lama lagi, dia segera menghampiri meja itu.

"Kak Fel, di sini juga? Tahu gitu tadi Tian jemput ke rumah. Gak bilang sih?" Ujar Tian langsung duduk di samping Feli. Feli langsung kaget dengan kedatangan Tian. Lima hari menginap di Malang, menjadikan Feli lebih merasa Tian adalah adiknya. Jika di luar kantor, Feli sudah lebih bebas. Tidak ada lagi sungkan pada Tian.

"Gak tahu juga kalo adeknya kakak ini mau ke sini juga. Kamunya juga diam aja gitu" Tian yang mendengar Feli menyebutnya dengan "adek" langsung tersenyum lebar. Entah, dia senang jika Feli memanggilnya dengan "adek".

"Naah.. Tian seneng tuh. Mulai sekarang kakak harus panggil Tian dengan adek. Jangan pake panggilan yang lain ya kak" Tian sudah seperti seorang adik ke kakaknya. Mungkin karena Tian sendiri gak pernah mendapat panggilan "adek" oleh kakak-kakaknya, maka dia sangat senang saat Feli memanggilnya dengan sebutan adek.

"Kak Cia, ini adiknya kakak? Namanya Tian? Bukannya kak Cia cerita kalau nama adiknya kakak itu Dimas?" Tanya gadis manis di depan Tian itu. Tatapan mata Tian seolah terkunci pada gadis manis itu. Tian langsung berinisiatif berkenalan dengan gadis manis di depannya itu.

"Hai.. Aku Tian, kakaknya Dimas dan adiknya Kak Felicia. Boleh kenalan?" Ujar Tian sambil menjulurkan tangan ke gadis itu. Uluran tangan itu disambut gadis itu, keduanya saling berjabat tangan.

"Aku, Feinya. Panggil aja Fei. Temennya kak Cia. Jadi adeknya kak Cia ada dua? Kak Tian dan kak Dimas? Gitu kak?" Gadis bernama Feinya itu memperkenalkan dirinya sambil tersenyum manis. Gadis yang polos.

"Kalo Dimas itu emang adikku. Kalo yang satu ini, adik dapat nemu di pengkolan depan" Jawab Feli dengan bercanda. Tian langsung masam mendengar itu. Feli langsung tertawa dan mengacak asal rambut Tian. Mereka langsung tertawa bersama menunjukkan keakraban di mereka.

Ketiganya terlibat obrolan ringan. Tian yang awalnya berniat makan dan nonton di mall akhirnya bergabung bersama kedua gadis itu. Feli dan Feinya di mall tersebut ternyata untuk membeli beberapa keperluan untuk sekolah minggu di gereja esok harinya. Di sela kesibukannya sebagai dokter yang masih junior, Feinya memang aktif sebagai pengajar di sekolah minggu. Fakta bahwa gadis yang baru saja dikenalnya adalah seorang dokter, membuat Tian semakin tertarik untuk mendekatinya.

"Ini belanjaan segini banyak, ntar kak Feli mau naik apaan?" Akhirnya Tian tidak jadi nonton, tapi malah menemani dua gadis itu keliling mall untuk belanja. Dia tidak menyesal sama sekali. Malahan Tian bersyukur karena dia tanpa sengaja bisa berkenalan dengan Feinya.

"Palingan nanti pake taksi online. Feinya habis ini di mau ke rumah sakit buat jaga malam" Terang Feli singkat.

"Barengan sama Tian aja ntar pulangnya. Fei, sekalian diantar ke rumah sakitnya?" Ujar Tian

"Gak usah, nanti dijemput sama abang kok" Tolak Feinya halus. Dia memang harus menghadapi kakaknya yang sangat protektif padanya. Kadang Feinya juga kesal dengan kakaknya itu, namun dia juga tahu alasan mengapa kakaknya sampai bersikap seperti itu. Tidak berapa lama, ada seorang laki-laki dengan perawakan tinggi menghampiri mereka. Begitu sampai, lelaki itu langsung memegang pundak Feinya.

"Bang, Iyok.. Bang ini kenalin dulu. Ini kak Tian, adeknya kak Cia." Lelaki yang dipanggil bang iyok itupun memandang sekilas ke Tian. Pandangan yang penuh selidik. Tian bisa merasakan itu, namun dengan santai dan cueknya dia mengulurkan tangannya namun lelaki itu diam saja.

"Issh.. Bang Iyok.. itu kasihan kak Tian udah mau salaman gak ditanggepin" Feinya memasang muka cemberut melihat kelakuan kakak lelakinya itu. Lelaki itu akan bersikap dingin pada semua lelaki yang berada di sekitar Feinya. Mendengar itu lelaki itu membalas jabat tangan Tian.

"Mario, kakaknya Feinya. Kenapa saya seperti familiar dengan wajahmu ya? Kita pernah ketemu sebelumnya?" Curiga Mario pada Tian.

"Tian kak. Hehehe.. Masak sih kak wajah ganteng gini pasaran?" Tian masih menanggapi Mario dengan santai. Dia sendiri juga merasa tidak asing dengan wajah lelaki yang diketahui sebagai Mario itu. Entah apakah mereka pernah bertemu sebelumnya.

Akhirnya mereka berempat berpisah. Tian bersama dengan Feli sedangkan Feinya bersama dengan kakaknya, Mario. Pertemuan singkat Tian dengan Feinya itu menimbulkan kesan sendiri bagi Tian. Hatinya berdebar saat tadi berada di dekat Feinya.

***

Hari masih sangat pagi. Jam baru menunjukkan pukul lima lebih seperempat. Markus dan Siska yang memang terbiasa bangun pagi, sedang berada di teras. Selesai mereka berolahraga ringan, mereka menikmati teh hangat beberapa kudapan kecil. Perhatian mereka seketika tertuju pada Tian. Hari minggu sepagi ini Tian sudah rapi dan sepertinya hendak pergi ke suatu tempat.

"Mau kemana kamu? Mau ke CFD?" Tanya Markus singkat.

"Mau ke gereja pah. Misa pagi" Ujar Tian sambil mengulurkan tangannya ke Markus. Mendengar jawaban Tian, Markus dan Siska kaget. Baru kali ini mereka mendengar anaknya kembali ke gereja. Mereka sendiripun seolah sudah melupakan ibadahnya itu. Tidak ada lagi kegiatan beribadah bagi Markus dan Siska. Mereka seakan tersindir saat Tian mengatakan akan pergi misa pagi.

"Pah.." Tian memanggil lagi Markus setelah Markus tidak merespon jabat tangan Tian.

"Isshhh... Kelamaan nih papa.. " Lanjut Tian sambil menarik tangan Markus lalu mencium punggung tangannya. Tian juga melakukan hal yang sama pada Siska. Lagi, hal itu kembali mengejutkan bagi Markus dan juga Siska. Mereka cuma bisa melongo dan bertanya-tanya. Mereka saling berpandangan dalam tanya. Markus dan Siska memang membesarkan anak-anaknya dengan style lebih santai. Bukan tidak mengajari untuk tidak menghormati orang tua dan sopan santun, namun lebih pada western style dalam mengajari anak-anaknya.

Jadilah hari ini Tian kembali masuk ke gereja setelah sekian tahun dia tinggalkan. Niat awalnya memang hanya membantu Feli mengangkut barang-barang yang kemarin dibeli untuk keperluan sekolah minggu, namun akhirnya Tian malah ikut misa pagi. Selesai misa pagi, Tian memutuskan untuk membantu Feli di sekolah minggu. Ini adalah pengalaman pertama Tian menangani anak-anak. Repot, tapi menyenangkan juga buat Tian menghadapi anak-anak yang berceloteh ria tanpa henti. Biasanya yang mengisi adalah Feinya, namun berhubung Feinya terkena shift jaga malam di rumah sakit, maka kali ini hanya Feli yang mendampingi anak-anak didiknya.

Jam telah menunjukkan tengah hari. Tian dan Feli sekarang sedang makan siang di warung makan samping gereja. Feli kaget, karena Tian ternyata tidak gengsi dan masih mau untuk makan di tempat yang sederhana seperti itu.

"Gak nyangka lho, kalau adek kakak ini bisa makan di tempat yang kayak gini. Mana pake nambah lagi" Feli berujar sambil melihat Tian yang masih makan.

"Sekalian kak. Porsi pertama itu kan jatah sarapan pagi Tian, tadi belum sarapan pagi, langsung aja ke gereja. Trus porsi yang kedua jatah makan siang Tian" Ucap Tian sambil masih mengunyah makanan

"hahahaha.. Buka aja resto gitu. Bisa makan sesuka hati dek. Resto sendiri kan, kalo makanan gak habis kejual, pasti langsung habis dimakan sendiri" Tian terdiam sejenak seperti berpikir. Beberapa detik kemudian matanya berbinar.

"Ide bagus kak!! Harus direalisasikan. Kakak kan pinter masak tuh, kita kerjasama aja. Kita pake resep punya kakak, trus ntar Tian modifikasi dikit biar tampilannya. Bener-bener.. Tian mau bikin resto sama cafe sekalian" Tian berbicara panjang. Feli hanya geleng-geleng melihat respon Tian atas becandaannya itu.

"Serius kamu dek?" Feli masih tidak percaya jika becandaannya ditanggapi serius sama Tian.

"Serius pake banget kak! Makasih idenya. Ntar bantuin Tian buat bikin konsep, menu makanan dan segalanya ya. Kakak kan pinter masak tuh. Tian kan udah beberapa kali makan masakan kakak. Layak jual kok menurut Tian" ujar Tian sambil minum es jeruk keduanya. Ekspresi wajahnya menunjukkan jika dia puas dan kenyang pada saat itu.

Melukis Cinta Semesta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang