Still Loving You
Pagi ini, Brian, Mentari, Mario dan Feinya berencana untuk mengunjungi Tian. Brian dan Mentari bahkan rela sampai mengosongkan jadwalnya pagi hari hingga tengah hari hanya untuk mengunjungi Tian. Brian dan Mentari bertugas di rumah sakit yang berbeda dengan Feinya. Rumah sakit dimana Feinya bertugas sekarang adalah rumah sakit uang didirikan oleh keluarga Surya dan juga keluarga Anton. Setelah peristiwa rekonsiliasi antara Mentari dan Bara, hubungan kedua keluarga tersebut pelan-pelan mulai mencair kembali. Surya awalnya ingin mendirikan rumah sakit itu untuk cucu pertamanya, Feinya. Namun, karena Feinya hanya tertarik pada bidang medis dan tidak mengetahui bagaiamana seluk beluk manajerial sebuah rumah sakit, maka Mario diminta untuk menjadi mengurus masalah manajerial di rumah sakit itu. Jadilah sekarang rumah sakit Surya Nusa Medika adalah simbol penyatuan dua keluarga berlatar belakang bisnis itu.
Feinya membuka pintu ruang rawat inap dimana Tian dirawat. Didapatinya Markus dan Siska sedang menunggu Tian. Seperti biasa, Markus akan selalu memilih duduk di samping brankar Tian sambil dia terus memandang dan sesekali mengelus lembut kepala Tian. Tampak sekali jika Markus sudah tidak lagi memperdulikan apapun selain fokus perhatiannya pada Tian. Tian sendiri tampak menutupkan mata dan tertidur di pagi hari jam delapan ini.
"Selamat pagi tante, om.. " Sapa Feinya ramah. Sapaan itu lantas membuat mengalihkan perhatian Siska ke arah sumber suara. Meliha Feinya datang, Siska dan Markus berdiri, menghampirinya.
"Om, tante, perkenalkan, ini keluarga Feinya. Ini ayah Brian, Bunda Mentari dan itu abangnya Feinya, bang Mario" Feinya kemudian memperkenalkan satu per satu keluarganya. Perkenalan itu lalu diikuti oleh jabat tangan hangat dari semua orang yang ada di situ.
"Terima kasih kedatangannya. Maaf, kita bertemu dalam kondisi yang seperti ini" Markus berkata dan menyampaikan permintaan maafnya. Harusnya pertemuan dua keluarga untuk tujuan menyatukan dua anak mereka haruslah dengan situasi yang hangat dan ceria. Bukan dengan situasi yang sedih seperti sekarang.
"Tian sudah bukan orang lain bagi kami. Kami sangat impresi saat dia dengan gentle datang dan meminta ijin untuk mengenal lebih dekat anak kami, Feinya. Dari situ saya bisa melihat bagaimana pribadi dari Tian" Ucap Brian. Mereka kini duduk di sofa, namun pandangan dan atensi dari semua orang yang ada di situ tetap tertuju ke Tian.
"Sebenarnya, yang jatuh cinta kepada Tian itu bukan hanya anak kami, tapi juga saya dan suami saya. Tian itu anak yang humble, ceria, selalu menyenangkan jika berada di sekitarnya. Oh ya, satu lagi, saya sangat jarang menemui anak muda di jaman sekarang, hidup di kota metropolitan, tapi masih punya sopan santun dan tata krama yang baik" Giliran Mentari yang memuji pribadi Tian. Mendengar pujian itu, Markus dan Siska hanya tersenyum getir. Justru orang lain, yang bukan keluarganya, memberikan respek yang sangat tinggi bagi Tian. Sedangkan mereka, bahkan seolah mereka baru sadar akan keberadaan Tian tidak lebih dari beberapa bulan yang lalu.
"Setelah melihat Tian seperti ini, bagaimana denganmu sendiri nak? Apa kamu masih tetap mau mendampingi Tian?" Pertanyaan dari Markus jelas menyiratkan kekhawatiran bahwa Feinya akan meninggalkan Tian setelah mengetahui kondisi Tian yang sekarang cacat. Lontaran pertanyaan Markus itu, membuat semua mata memandang pada Feinya.
"Hati Feinya sudah terlanjur jatuh pada kak Tian. Apapun kondisi kak Tian sekarang, tidak akan mengubah bagaimana perasaan dari Feinya. Feinya akan tetap berada di samping kak Tian sampai nanti. Sampai Tuhan memanggil kami kembali" Ujar Feinya. Dia sudah tidak lagi memperhatikan bagaimana fisik Tian setelah ini. Hatinya sudah jatuh terlalu dalam pada pribadi seorang Tian. Ketika keluarganya menyiratkan bahwa mereka juga tidak mempermasalahkan kondisi fisik Tian, hal itu justru semakin membulatkan hatinya untuk tetap bersama dengan Tian.
"Terima kasih nak.. Terima kasih.. Kamu masih mau mendampingi anak tante. Tante mohon, dampingi terus anak tante ya. Bantu dia lewati masa-masa beratnya ini" Siska langsung menghambur memeluk Feinya begitu mendengar jawaban dari Feinya. Markus juga merasakan kelegaan yang luar biasa. Dirinya sungguh takut jika Feinya akan memutuskan hubungannya dengan Tian, dan itu akan membuat kondisi psikis dari Tian menjadi semakin buruk. Markus tidak mau melihat Tian makin terpuruk kembali.
"Feeeiii....." Suara Tian terdengar lirih memanggil. Mendengar itu, semua orang yang sana langsung menuju ke brankar Tian. Biasanya, Markus akan langsung menuju ke samping Tian, namun kali ini dia memberi kesempatan pada Feinya.
"Benar yang tadi kamu bilang Fei? Kamu masih mau sama aku?" Feinya tidak mampu berkata-kata lagi. Dia hanya menganggukkan kepala sebagai jawabannya. Feinya menggenggam hangat tangan Tian.
"Aku cacat Fei. Apa kamu gak malu suami kamu cacat nantinya? Kamu bisa dapat yang jauh lebih baik dari aku. Gak apa-apa kalau kamu mau cari bahagiamu dengan lelaki lain." Kembali Feinya hanya menggeleng mendengar pertanyaan dari Tian. Dia sama sekali tidak merasa malu atau terbebani dengan kondisi Tian sekarang.
"Fei gak lihat itu semuanya kak. Fei cuman lihat kakak sebagai kak Tian yang Fei kenal. Mau apapun kakak, Feinya udah terlanjut nempatin kakak di hati Fei dan Fei gak bisa semudah itu buat ngebuang kakak dari hati Fei" Jawaban dari Feinya membuat bibir Tian melengkungkan senyum walaupun hanya sebentar.
"Ayah, bunda..." Tian memanggil Brian dan Mentari dengan suara lemah. Sejak mendapat persetujuan dari Brian dan Mentari tentang hubungannya, Brian dan Mentari memang meminta Tian memanggilnya dengan ayah dan bunda. Brian dan Mentari berjalan mendekati brankar Tian.
"Kamu fokus saja sama pemulihan kamu ya. Gak usah mikir yang lain-lain dulu. Sembuh dulu ya nak" Mentari mencoba menenangkan Tian.
"Bunda benar, nak. Fokus dulu ke penyembuhan kamu. Kalau kamu mengkhawatirkan kondisi kamu dan hubunganmu dengan Feinya, percayalah, kamu sudah mencuri satu tempat bukan hanya di hati Feinya, tapi di hati kami semua. We really love you. No matter what." Brian menambahkan perkataan Mentari. Airmata menetes pelan di wajah pucat Tian. Entah rasa apa yang ada di hatinya saat ini. Satu sisi dia merasa tenang karena baik Feinya maupun seluruh keluarganya masih mau menerimanya dengan kondisinya sekarang. Tapi di sisi lain, Tian merasa tidak pantas untuk bersanding dengan Feinya. Apakah Feinya tetap menerimanya hanya karena kasihan semata? Dia memejamkan matanya, mencoba menyingkirkan pikiran-pikiran buruk yang kini lebih sering menghiasi hari-harinya. Feinya yang melihat air mata Tian terjatuh, dengan lembut menghapusnya
"Kak, kak Tian masih ada Feinya. Dulu kakak yang berjuang untuk mendapatkan Fei, sekarang tolong kasih Fei kesempatan buat buktiin kalau perjuangan kakak dulu gak sia-sia" Hati Feinya merasa sedih melihat Tian masih belum yakin akan pernyataan dari Feinya, namun Feinya menyadari bahwa Tian juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Kondisi psikis Tian sangat terhantam saat ini.
Brian lalu menggiring Mentari menjauh dari brankar Tian. Keduanya lalu menuju Markus, Siska dan Mario yang masih duduk di sofa.
"Kita keluar dulu aja sebentar. Kasih mereka ruang dan waktu. Biarkan Feinya menguatkan dan meyakinkan Tian. Keadaan sekarang sangat tidak mudah bagi Tian" Ujar Brian dengan suara pelan. Markus, Siska dan Mario pun mengikuti Brian. Merekapun kini memilih kafetaria rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melukis Cinta Semesta (Tamat)
RandomTentang cinta Tentang saudara Tentang keluarga Tentang bagaimana seseorang berjuang mendapatkan cinta dan kebahagiaan. Tentang bagaimana seseorang menerima dengan ikhlas Tentang bagaimana seseorang memperbaiki masa lalu cover by: Canva