·
·
·Sore hari tiba.
Devan yang sedari siang berada di ruang rawat Keenan, masih setia menemani sahabatnya hingga sore hari.
Menunggu si Aksa kembali membuka iris legamnya."Nan... Lu pasti capek, 'kan? Tapi kenapa gak pernah bilang sama gue..." Gumam Devan. Yang tiba-tiba disahuti lenguhan halus dari bibir Keenan.
"Nan?!"
"Keenan?! Aksa?!" Yang dipanggil membuka matanya perlahan. Agak sakit sebenarnya saat lampu ruangan yang tiba-tiba menusuk penglihatannya.
Devan tak mau meninggalkan Keenan, ia hanya menekan tombol darurat setelah itu memanggil nama sahabatnya sambil menepuk pelan pipi tirus si Aksa.
Netra kembar Keenan terbuka sempurna. Ia bisa melihat jelas wajah senang dicampur dengan raut khawatir di wajah Devan. "Mi-num" lirih Keenan. Walaupun suara Keenan sangat lirih, tapi Devan masih bisa mendengarnya.
Dengan cepat Devan mengambil gelas berisi air putih di nakas. Lalu memberikannya pada Keenan sambil membantu memosisikan tubuh sahabatnya setengah duduk.
Raihan masuk ke ruangan Keenan. Hatinya menghangat saat melihat interaksi dua anak yang hanya terpaut 2 bulan tersebut. "Dev, keluar dulu ya..?" Perintah Raihan.
"O-oh? Iya yah..." Devan memberikan senyuman hangat, lengkap dengan wink nya pada Keenan, membuat yang diberi wink tadi tertawa kecil.
"Devan ditinggal bentar jadi genit gitu, om.." ucap Keenan. Raihan tertawa renyah, kemudian mulai memeriksa si pasien.
"Jangan capek lagi deh, Nan... Tubuh kamu itu gak kuat, apalagi jantung kamu..." Keenan mengangguk ragu. Ia tak bisa berjanji, ia juga tak yakin.
"Dah ya, om keluar dulu... Kamu jangan berantem sama Devan..!" Peringat Raihan sambil mencolek hidung mancung Keenan. Sementara Keenan hanya cengengesan.
·
·Bagas sedang menunggu Farel ditaman. Sebenarnya ia sedikit kaget saat tau Farel sudah pulang ke Indonesia. Padahal setahunya, kakak si Devan itu masih berada di Australia sana.
"Woy!" Panggil Farel sambil menepuk pundak Bagas.
Bagas terkejut, "Ah! Jangan ngagetin bisa gak sih?!" Marah Bagas.
Farel merotasi matanya malas, "gue udah manggil lo berkali-kali, Daffin!" Kakak adik sama saja. Selalu memanggil orang lain dengan nama tengahnya.
"Panggil gue Bagas, Rel. Kebiasaan deh ya!" Sahut Bagas.
"Udah cepetan, ngapain kita ketemuan disini sih? Udah sore pula." Ucap Bagas sambil mendengus kesal.
"Gue cuman mau ngomong, soal—"
"—Keenan. Adek lo." Bagas langsung merubah air wajahnya menjadi kesal. Malas jika membahas soal adiknya itu.
"Rel, jangan bahas dia bisa ga—"
"Gak. Gue gak bisa gak bahas soal ini." Farel dengan nada tegasnya memotong kalimat Bagas. Membuat Bagas mau tak mau mendengarkan. Nanti bisa-bisa ia dimakan Farel. Kan bahaya.
"Gas..—"
"Jujur sama gue. Lo sering mukulin Keenan?" Tanya Farel. Membuat yang ditanya membelalakkan mata tak percaya.
Bagaimana Farel bisa tau?
"Gas, please..." Dengan ragu-ragu, Bagas menganggukkan kepalanya. Yang langsung disahuti dengan helaan nafas panjang dari sang lawan bicara, "Tapi Keenan adek lo, Gas..." Sahut Farel.
"G-gue gak tau... Gue selalu pengen mukulin dia sejak kejadian 7 tahun lalu..." Jawab Bagas.
"Gas, dengerin gue dulu..—"
"—Keenan itu adek lo. Keenan Aksa Ravindra, itu adek lo."
"Dia cuman punya lo. Dan lo juga, cuman punya dia." Ucapan Farel sontak membuat Bagas bungkam.
"Bukan lo doang yang sakit karna ditinggal Om Rendy sama Tante Dita. Keenan juga, Gas. Dan mungkin lo gak tau, kalau sakitnya Keenan lebih-lebih dari apa yang lo rasain." Sambungnya. Bagas masih diam memperhatikan.
"Dia gak mungkin ngerasain sakit Rel! Gak mungkin! Dia yang bunuh ayah sama bunda gue! Dia bunuh mereka! Mana mungkin Keenan bisa ngerasain sakit?!!!" Emosi Bagas meluap. Ia juga kesal karna Farel yang tiba-tiba membahas soal ini.
Air matanya pun sudah turun dengan deras. Bercampur dengan amarah yang terlihat dikedua iris coklatnya."Tapi lo gak tau, Gas! Lo gak akan tau rasa sakitnya Keenan! Dia—"
"—Dia juga sakit. Dia juga lelah. Lo gak pernah tau, 'kan? Tentang hidup adek lo. Dan gue yakin, lo gak mau tau tentang itu."
"Gue cuman mau bilang. Sayangi Keenan, jaga Keenan, bahagia-in Keenan. Selagi lo bisa. Kalau nggak, mungkin lu bakal nyesel seumur hidup." Ucapan terkahir Farel, sebelum akhirnya meninggalkan Bagas sendiri di bangku taman.
Bagas masih terdiam. Tapi air matanya tak berhenti untuk turun. Ia jadi ingat lagi, kejadian naas yang menimpa kedua orangtuanya.
·
·"Dev, besok gue udah bisa pulang, 'kan? Seriusan, gue kangen rumah..." Ujar Keenan.
"Gue gak tau. Tapi, kayaknya udah boleh. Asal lu nya aja gak bandel, dan jangan kecapek-an."
"Gue gak bandel, Rafardhan." Sahut Keenan tak terima.
"Lo itu bandel. Disuruh jangan kecapek-an malah kerja. Gak beres lu nan, asli." Jawab Devan.
"Ah! Bodo lah! Gue males berdebat."
"Idih, siapa juga yang ngajak berdebat? Gue kan ngomong sesuai kenyataan." Jawab Devan lagi.
"Devan Azura!"
"Keenan Aksa!" Keduanya saling bersahutan, memanggil nama lawan bicaranya masing-masing. Lalu sedetik kemudian tertawa bersama. Entah apa yang lucu, tapi mereka tertawa hingga terbahak-bahak.
—————————————————————
Makin gaje gak sih story nya..?😓
Mungkin bakal ku selesain 15 chapter doang... Adh adh😌
Saia bingung😔Nanti kalau dilanjut malah makin gaje gimana? Yakali tiap hari Keenan harus 'buagh! dugh!' dulu, kan kasian😢
Yaudah deh ya, tunggu aja sampe ni otak dapet ide baruㅋㅋㅋ😌
Bye bye byeeee-!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Life ; AKSA
Random[ TAMAT ] Ketika takdir hidup membawamu naik ke atas awan, lalu menjatuhkannya dengan keras ke tanah. Cerita tentang sang Aksa. Dengan seribu rasa sakit, juga sejuta penderitaan. ⚠Some chapters may contain violence scenes or harsh words. ©marchsky 2...