Seperti biasa. Pagi hari. Tak ada yang spesial.
Kemarin setelah sadar Keenan langsung diperbolehkan untuk pulang.
Kalau boleh jujur, Keenan lelah.
Ia lelah setiap hari harus keluar-masuk rumah sakit.
Bertemu suster Bella dan om Raihan dua kali berturut-turut.
Ia lelah, sungguh. Sangat lelah.Ingin rasanya ia bertanya pada Tuhan, mengadukan semuanya pada sang pencipta. "Kenapa Keenan masih hidup? Kenapa waktu itu gak Keenan aja yang mati? Keenan masih hidup sekarang, t-tapi Keenan disini menderita... Rasanya sakit. Sakit banget. Boleh minta tolong jemput Keenan aja gak Bun? Yah..? Keenan capek..." Rangkaian kata-kata itu yang selalu terucap setiap hari di batin maupun lisan pucatnya.
Terkadang ia menyerah.
Tapi ia sendiri, tak tau bagaimana cara mengakhiri penderitaan ini.
Self-harm? Tak mungkin. Tuhan tak suka. Keenan juga tak suka.
Bunuh diri? Tak mungkin juga. Tuhan tak suka, bahkan membenci perlakuan tersebut.Yang harus Keenan lakukan hanya menunggu.
Menunggu Tuhan lelah memberinya seribu penderitaan.
Menunggu Tuhan lelah memberinya sejuta rasa sakit.Kalau boleh bertukar nyawa, Keenan ingin menukar nyawanya dengan sang bunda, yang sedang bahagia diatas sana. Karna Bagas sangat dekat dengan Hanindita, jadi Keenan akan dengan senang hati bertukar nyawa dengan bunda kesayangannya. Agar Bagas tak sendirian di dunia yang keras ini.
Kakaknya butuh sandaran, 'kan? Kakaknya perlu menangis, 'kan? Keenan mengerti.Sebelum tidur, Keenan terkadang berdoa semoga ia benar-benar tak bisa bangun keesokan harinya.
Ia terlalu sakit untuk menerima rasa sakitnya lagi.
Ia sudah tak pernah menangis karna air matanya sudah kering.Lantas, kemana perginya anak kecil yang dulu menangis sesegukan dan merengek keras hanya untuk satu buah ice cream?
Kemana senyuman anak kecil yang tulus dan cerah itu pergi?
Kemana...? Semua hal bahagia Keenan pergi?
Keenan sendiri tak tau.·
Helaan nafas panjang lolos dari bibirnya. Entah berapa kali pemuda yang sedang berkaca ini menghela nafasnya, sudah terhitung banyak. "Keenan. Lo—" si Aksa menunjuk pantulan dirinya di cermin.
"—Lo lelah gak sih..?" Lanjutnya sambil menurunkan telunjuk tadi perlahan.
Ia menatap dirinya lagi dari kaca, "Sebentar lagi, gue yakin sebentar lagi... Jadi jangan nyerah okay..? Bentar lagi, Nan.. Lu tinggal tunggu saat itu tiba." Monolognya.
Keenan tersenyum, lantas berucap, "Iya, bentar lagi. Gue juga yakin bentar lagi..." Tiap detik berganti, senyum cerah tadi berubah menjadi senyum sendu.
Keenan tertawa, "Menyedihkan banget lo, Sa," Ujarnya meledek diri sendiri.
Keenan memang sering bermonolog sendiri di cermin. Gila? Entahlah, ia tak tau.
Si Aksa hanya ingin meluapkan semuanya ke diri sendiri dengan perantara satu cermin besar. Entah sejak kapan dirinya sering bermonolog seperti tadi. Mungkin terhitung 2 atau 3 tahun. Jawaban pastinya Keenan tak yakin, karna sudah sedikit lupa.
Keenan pergi dari hadapan cermin tadi.
Ia akan turun kebawah untuk mengambil selembar roti.
Hari ini weekend, tak ada sekolah yang membuat otak bertambah pening.
·
Saat baru sampai dimeja makan, Keenan melihat Bagas yang tengah tersedak makanan.
Relfek Keenan lari mendekat, lalu menyodorkan gelas berisi air penuh pada sang kakak.
Bagas membelalakkan matanya, lalu dengan cepat gelas kaca yang Keenan sodorkan ia tepis dengan keras.
PRANGG~!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Life ; AKSA
Random[ TAMAT ] Ketika takdir hidup membawamu naik ke atas awan, lalu menjatuhkannya dengan keras ke tanah. Cerita tentang sang Aksa. Dengan seribu rasa sakit, juga sejuta penderitaan. ⚠Some chapters may contain violence scenes or harsh words. ©marchsky 2...