Part 10 ; Terbongkarnya Rahasia.

3.3K 475 35
                                    

·
·
·

"Om Raihan!" Bagas berteriak saat kebetulan berpapasan dengan sahabat ayahnya itu.

"Keenan kenapa Gas?!" Tanya Raihan yang raut wajahnya langsung berubah panik.

"Bawa ke ruangan periksa, cepet!" Perintah Raihan, yang langsung membuat Bagas berlari sambil membawa tubuh ringan Keenan.

"Tunggu dulu disini ya, Gas. Om periksa bentar." Ucap Raihan seraya menutup pintu ruang periksa.

Bagas meraup wajah frustasi. Air matanya turun dengan deras, tapi tak ada isakan disana.
Bagas menangis dalam diam. Sekarang dirinya merasa bodoh. Sangat bodoh.

'Anak sialan!'

'Mati aja lo!'

'Pembunuh!'

'Karna lo, orang tua gue jadi meninggal!'

Umpatan-umpatan yang selama ini Bagas ucapkan pada si adik berputar kembali, bak kaset yang rusak.

·

Mulutnya terus bergumam kata 'maaf' berserta doa saat Raihan tak kunjung keluar dari ruangan putih tersebut hampir setengah jam lamanya.

Cklek!

Ah, syukurlah.

"Om?!" Bagas langsung menghampiri Raihan yang baru saja keluar dari ruang pemeriksaan.

"Keenan udah baik-baik aja. Udah stabil sekarang.." jawab Raihan yang seakan sudah tau pertanyaan macam apa yang akan keluar dari bibir Bagas.

"Sekarang boleh temenin dulu Keenan nya. Habis itu keruangan om, ada sesuatu yang mau om bicarain." Jelas Raihan dengan senyumnya.

Bagas yang melihat itu juga tersenyum, "iya om. Makasih ya.."

"Iya, udah sana. Liatin adek kamu dulu." Suruh Raihan yang dihadiahi anggukan oleh Bagas. Setelah itu Raihan pergi ke ruangannya, sedikit mengistirahatkan tubuh dan pikiran setelah seharian menangani banyak pasien tanpa henti.

Cklek!

Bagas mulai berjalan masuk ke ruang rawat adiknya. Tadi sudah sempat untuk dipindahkan oleh suster atas suruhan Raihan.

"D-dek..." Suaranya bergetar, berusaha untuk tak menjadi cengeng didepan adiknya.

Mata itu masih belum terbuka. Masih terpejam dengan tenang tanpa terganggu oleh apapun.

Bagas duduk disebelah bangsal Keenan. Lalu memainkan tangan yang bebas dari jarum infus.

"Ih, jari kamu lentik banget, dek." Kekeh Bagas terdengar setelahnya.

Karna Keenan belum ingin bangun dari tidur lelapnya, jadi Bagas memutuskan pergi ke ruang Raihan dulu untuk mendengar sesuatu. Yang entah itu kabar baik atau kabar buruk.

Sebenarnya ada firasat tak enak dari hati Bagas, tapi si sulung berusaha untuk menepis itu semua.

"Kakak ke ruang om Raihan dulu ya... Cepet bangunnya.." pamit Bagas sambil berbisik di telinga Keenan pada kalimat terakhirnya.

·
·

"Om?" Suara Bagas berhasil membuat Raihan terkejut.

"Eh, maaf om. Bagas gak akan tau kalau suara Bagas bakal ngagetin om gitu." Sambung Bagas.

"Gak papa. Udah duduk dulu.." Bagas tanpa ba-bi-bu langsung duduk di kursi depan Raihan.

Raihan mengambil sesuatu dari lacinya. Yang sepertinya selembar surat rumah sakit.

Lalu Raihan menyodorkan kertas tersebut kedepan Bagas. Dengan rasa herannya Bagas langsung membuka kertas itu.

Si sulung Ravindra mulai membaca, hingga dibagian paling bawah...

"J-jantung..?" Mata Bagas memanas. Sangat sesak rasanya saat tau selama ini adiknya menderita sendirian.

"Om! I-ini beneran kan?! Om Raihan gak lagi bercanda sama Bagas kan?!" Tanya Bagas frustasi. Kakak dari Keenan itu sudah benar-benar kalut.

"Maafin om. Tapi Keenan gak mau kamu tau, Gas." Penjelasan dari Raihan mengundang isakan keras dari Bagas. Ia semakin merasa gagal menjadi kakak.

Dulu, sebelum Keenan lahir, Bagas selalu berjanji pada bunda kalau ia akan menjaga adik kecilnya itu dengan sangat baik. Tak boleh membencinya, tak boleh bermain kasar padanya, tak boleh membentaknya pula.

Tapi dengan seenak jidat, Bagas melanggar janjinya sendiri.

Memukuli adiknya, membenci adiknya, membentak terus-terusan raga yang terlihat kuat diluar namun sangat rapuh didalam tersebut.
Ia bodoh. Sangat bodoh.

"Keenan itu punya penyakit jantung bawaan dari lahir. Tapi gejalanya baru muncul tujuh tahun lalu. Pas Rendy sama Hanindita ninggalin kalian."

"Dan sekarang, ginjal dia yang bermasalah. Itu karna dia minum-minum obat tanpa pengobatan yang lanjut."

"Wajar, udah tujuh tahun dia terus-terusan minum obat pereda nyeri kayak gitu. Keenan pasti selalu ngerasa sakit di perutnya. Mungkin pikir dia itu cuman maag biasa. Tapi nggak. Sakit diperutnya itu karna ginjal dia yang udah rusak cukup parah."

"B-Bagas harus gimana, om..? Selama ini Bagas belum jadi kakak yang baik buat Keenan..." lirih si sulung.

Raihan memegang bahu Bagas, "Bagas, liat om," Perintah Raihan, membuat Bagas langsung mendongak bertatap muka dengan teman dekat ayahnya yang sudah Bagas anggap ayah kedua.

"Dengerin om..—"

"—Rendy, ayah kamu, pasti sekarang bangga sama kamu. Udah mau bawa adeknya ke rumah sakit. Udah mau nemenin adeknya di gedung yang bau sama obat-obatan ini."

"Gak ada yang terlambat, Gas. Kamu bisa memperbaiki semuanya. Mulai dari awal. Om yakin, Keenan gak pernah marah dan naruh dendam sama siapapun, terutama kakaknya sendiri— kakak kandungnya."

"Sekarang, kamu cuman perlu nemenin Keenan terus. Jangan sakiti dia lagi. Om yakin juga sama kamu, kalau kamu pasti masih sayang sama Keenan, 'kan?" Bagas mengangguk cepat. Membuat senyum tulus Raihan kembali terbit.

"Yaudah, segitu dulu. Kamu bisa lanjut nemenin Keenan di ruangannya. Kalau ada apa-apa bilang sama suster yang jaga disitu.." nasihat Raihan masih dicerna dalam-dalam oleh Bagas. Ia merasa tak pantas jika begitu saja berlaku seperti biasa dan melupakan apa yang ia buat dulu. Ia, menyesal. Rasa penyesalan yang memang sangat membekas.

Bagas patuh, dengan langkah gontai ia pamit keluar ruangan Raihan. Meninggalkan ayah dua anak itu dengan tatapan lelah dan sendunya.







—————————————————————

Ya pokoknya, belum end.

Masih ada... Eum, mungkin 5/10 chapt lagi? Entahlah, gak pasti, hehe

Yang pasti book ini menuju end, ehehhehee

Okay, dahlah, mau lanjut mengumpulkan ide untuk part selanjutnya, byeee-!!! Have a nice dream/day-!!💎💙

Life ; AKSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang