·
·Setelah sedikit berbincang dengan Kaila dengan suasana canggung, akhirnya keduanya berniat pulang kembali.
Tapi Bagas penasaran, kabar adiknya bagaimana.
Ia tak mungkin melepaskan begitu saja tanggung jawabnya terhadap sang adik.Meski sudah tak marah, Bagas masih tetap kukuh dengan sifat dinginnya pada Keenan.
Awalnya ia ingin ke bagian resepsionis untuk menanyakan kamar atas nama si Aksa. Tapi ia ingat, Keenan berjalan kearah kiri, melewati dirinya.
Sementara ruang rawat seharusnya lewat kearah kanan, melewati Kaila.
Ah, tapi bisa saja, 'kan? Keenan memutar arah saat dibelakangnya?
Bagas kembali berjalan.
Tapi ia lagi-lagi berhenti.
Apa benar Keenan ke ruang rawatnya tadi?
Karena batinnya bilang ia harus berbalik pergi ke taman lagi, jadi Bagas ikuti saja.
Benar. Setelah mengedarkan pandangannya guna mencari sosok Keenan, matanya menangkap seseorang yang sedang duduk dibangku taman tersebut.
Sendirian. Dengan baju rumah sakit yang masih menempel ditubuhnya.
Bagas yakin, itu Keenan.
Dengan langkah kecil seperti mengendap-endap, Bagas menghampiri si bungsu.
"—Keenan capek Bun, Yah... Sakit. Rasanya sakit banget... Keenan bener-bener lelah..." Samar Bagas mendengar apa yang sedang adiknya bicarakan itu.
"Keenan sama kak Bagas kemaren udah baikan. Tapi dengan bodohnya Keenan buat kesalahan. Bun, mau tuker nyawa aja gak sama Keenan..? Biar Keenan yang nemenin ayah disana, bunda disini aja sama kak Bagas..." Bagas membeku sebentar. Mengingat lagi saat-saat kesalahpahaman bodoh itu terjadi.
"Keenan capek, Keenan kangen sama kalian, Keenan... Keenan sayang kak Bagas..—" Perlahan maniknya memanas. Dengan bibir yang bergetar kuat menahan isakan keluar.
"Kakak juga sayang sama kamu." Sahut Bagas cepat.
Kini giliran Keenan yang membeku.
Bagas berjalan ke samping Keenan, lalu duduk disebelahnya.
"Keenan...? Dek..?" Suara Bagas bergetar hebat.
Sementara Keenan melihat itu hanya tersenyum.
Bagas dengan cepat merengkuh tubuh kurus adiknya.
Tapi Keenan malah memberontak tak mau.Bagas menatap iris sang adik yang terlihat lesu. Banyak gurat lelah juga terlukis jelas di wajahnya. "Keenan gak pantes untuk kakak peluk, setelah apa yang Keenan lakuin ke kakak..." Ucapnya sendu.
"Gak dek, kakak minta maaf... Maafin kakak, yang gak pernah becus ngurusin kamu..."
"Seharusnya Keenan yang minta maaf kak... Kakak mau Keenan menjauh, 'kan? Bakal Keenan turunin. Kakak mau Keenan gak terlihat lagi, 'kan? Bakal Keenan turutin. Maaf selama ini Keenan gak pernah bikin kakak bahagia..." Potong Keenan cepat.
Bagas tak berkata, ia hanya bisa merengkuh kembali tubuh Keenan, walaupun yang dipeluk meronta, meminta untuk melepaskan.
"Maafin kakak dek... Pliss.. Maaf... Maaf..." Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibir si sulung. Lidahnya terasa kelu, tak bisa mengucapkan kata lain selain 'maaf'. Dan rasanya, itu juga kata yang cocok untuk semua yang telah dirinya lakukan.
"Kak..." Panggil Keenan. Bagas melepas pelukannya perlahan, lalu menatap wajah sang adik yang semakin lama semakin pucat. Pipi yang dulunya tembam, sekarang menjadi tirus.
Dada Bagas kembali menyesak. Manik coklatnya kembali berembun dengan cepat.
Bagas tersenyum, walaupun terlihat jelas matanya berkaca-kaca sekarang.
"Keenan boleh minta tolong..?" Tanya Keenan. Bagas mengangguk mantap, tanpa mengeluarkan satu katapun. Ia takut, bukannya kalimat yang keluar, tapi malah isakan kuat yang tak bisa ia hentikan.
"Keenan mau ziarah ke makam Ayah sama Bunda. Bareng kakak, hehe." Lanjutnya. Bagas tersenyum lembut, lalu ia elus surai hitam adiknya yang tak selebat dahulu.
"Iya... Ayok, mau sekarang..?" Yang ditanya mengangguk, lalu Keenan dengan wajah sumringah nya beranjak dari bangku, kemudian menarik tangan sang kakak untuk cepat-cepat masuk ke mobilnya.
Bagas tersenyum, walau sebenarnya hatinya merasa luar biasa sakit. Bagai ditusuk beribu benda tak kasat mata didalam sana.
"Eh, bentar dulu..." Bagas berhenti, membuat Keenan yang mendengar perkataan Bagas juga berhenti didepan sana.
Si sulung mulai melepas hoodie nya. Lalu memakaikan perlahan ke tubuh Keenan yang hanya terbalut piyama biru laut khas rumah sakit.
"Lho? Kakak nya..?—"
"—Gak papa. Kakak gak dingin kok. Lagipula pake baju sweater, nih.." Bagas merentangkan tangannya, memamerkan baju sweater cukup tebal yang ia pakai. Keenan hanya membalas dengan senyuman. Lalu berjalan lagi dengan sedikit berloncat, layaknya anak kecil yang akan dibelikan arum manis atau permen lollipop.
·
Setelah 20 menit perjalanan, si sulung dan bungsu Ravindra sampai di pemakaman sang ayah dan bunda.
Keenan menghela nafas panjang. Mempersiapkan dirinya, juga menghirup oksigen karna dadanya mulai terasa sedikit sesak.
"Yuk!" Ajak Bagas, yang malah dibalas gelengan serta bibir yang maju oleh si Aksa.
"Lah..? Kenapa dek..?" Bagas tak bohong, ia benar-benar bingung dengan situasi ini.
"Kakak tunggu disini duluuu... Keenan mau ngobrol sama bunda sama ayahnya sendiri dulu... Nanti kakak boleh gabung setelah Keenan ceritain sesuatu ke ayah sama bunda.." jawab Keenan. Bagas mengangguk ragu, walaupun ia penasaran apa yang akan adiknya ceritakan pada kedua orang tuanya tersebut.
"Okey! Tunggu ya kak! Hehe! Mohon bersabar~" Keenan berjalan mendekati makam kedua orangtuanya.
Tatapnya berubah sendu saat ia berdiri didepan makam dengan nama sang ayah di sebelah kanannya. Dan nama sang bunda, di sisi kirinya.
"Assalamualaikum Ayah...—"
"—Assalamualaikum, Bunda..."
"Keenan dateng..."
—————————————————————
No no nooo, Aksa bakal lebih dari 20 part..aduh aduhh😌😭
Gak sih, gak akan lebih dari 20 part...
Mungkin 4 part lagi end (belum termasuk epilog)Ahahahayy, doain semoga Sasa bisa cepet-cepet nge end in Aksa~
KAMU SEDANG MEMBACA
Life ; AKSA
Aléatoire[ TAMAT ] Ketika takdir hidup membawamu naik ke atas awan, lalu menjatuhkannya dengan keras ke tanah. Cerita tentang sang Aksa. Dengan seribu rasa sakit, juga sejuta penderitaan. ⚠Some chapters may contain violence scenes or harsh words. ©marchsky 2...