|25| Dunia Ranya

322 29 1
                                    

"Bunda nggak papa," ucap Oma yang duduk di samping ranjang Bunda. "Dia cuman kelelahan aja ngurusin Oma." Lanjut beliau yang tengah menggenggam lengan Bunda yang diberi infus.

"Bunda telat makan ya, Oma?" Tanya Ranya khawatir menatap Bunda yang tengah tertidur pulas. "Apa Bunda kurang tidur?" Ranya mengulurkan tangannya untuk mengelus wajah wanita tersayangnya. Kemudian mengelus bagian bawah mata Bunda. Terdapat kantung mata di sana, dan terlihat sedikit sembab seperti bekas tangisan dahsyat yang terjadi kemarin atau beberapa jam sebelumnya?

"Ayah nggak bisa dihubungi." Ucap Satya setelah menelpon beberapa kali nomor Ayah namun tetap tak ada jawaban. Dan Ranya tampak tak peduli dengan apa yang Satya katakan. Tangannya dengan telaten merapikan rambut Bunda yang kusut.

Tak terasa, matanya basah seiring dengan dia menatap wajah Bunda. Tetesan demi tetesan jatuh membasahi pipinya. Dia benar-benar tak bisa melihat Bunda terbaring lemas seperti ini. Melihat Bunda menghela nafas lelah saja sudah membuat bibirnya mengerucut sedih.

Oma tersenyum hangat saat Ranya terisak sambil menatapnya. "Kamu nggak perlu khawatir, sebentar lagi Bunda juga sehat."

"Kalau Bunda nggak bangun lagi gimana Oma? Kalau Bunda pergi nanti aku sama siapa? Nanti aku dipeluk siapa? Nanti siapa yang bakal belain aku kalau berantem sama Satya?"

Ranya mengecup punggung tangan Bunda beberapa kali sambil terisak. Pikirannya kacau. Hatinya runtuh. Pundaknya terasa berat sekali. Beban tubuhnya sudah tidak bisa dia topang lagi. Ranya terduduk di lantai sambil memeluk tubuhnya ringkih.

Satya yang berdiri di belakangnya menatap iba. Matanya berkaca menatap punggung Ranya yang bergetar. Untuk pertama kalinya lagi setelah sekian lama dia melihat tingkah baik-baik Ranya, gadis itu memperlihatkan tangisnya. Apakah sesakit itu bagi Ranya melihat Bunda terbaring lemas? Apakah se-menyedihkan itu bagi Ranya saat mengetahui Bunda masuk rumah sakit?

Oma menyiku tangan Satya pelan membuat cowok itu menoleh. "Bawa Ranya keluar dulu." Ucapnya.

Satya kembali menatap punggung Ranya namun kakinya membeku, sulit sekali untuk melangkah mendekat dan membawanya pergi. Alih-alih menuruti perintah Oma, Satya malah terdiam dengan menatap kasihan kepada Ranya.

∆∆∆∆

"Mbak, lo nggak mau pulang dulu? Biar gue aja yang nemenin Bunda." Ujar Satya sambil menenteng keresek di sebelah tangannya.

Ranya hanya menggeleng tanpa memalingkan tatapannya dari Bunda. Tangannya menggenggam erat ketua lengan Bunda yang kini sudah siuman dan tengah duduk menyandarkan tubuhnya.

"Ini gue beliin lo nasi buat makan. Gue udah makan di luar." Ucap Satya yang mendapat jawaban anggukan Ranya tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya.

Oma sudah pulang sejak beberapa jam yang lalu. Dengan susah payah dan sedikit memaksa, Ranya akhirnya bisa membuat wanita paruh baya yang selalu mengaku sakit kaki itu mengikuti ucapannya untuk pulang dan beristirahat di rumah saja. Awalnya Oma terus menolak, beliau mengatakan ingin menemani menantunya. Tapi setelah Ranya terus berusaha hingga menelpon orang rumah untuk menjemput Oma, akhirnya beliau menurut.

"Kamu pulang dulu mendingan, Ra. Mandi dulu. Ganti baju." Ucap Bunda dengan suara lemah.

"Bunda jangan banyak ngomong dulu." Ranya mengelusi tangan Bunda pelan-pelan tanpa mengalihkan tatapannya. "Aku nggak mau pulang, aku mau sama Bunda aja di sini." Lanjutnya. Matanya tak pernah berhenti menatap wajah Bunda sejak wanita itu bangun dari pingsannya. Seolah jika menatap ke arah lain walau hanya sedetik saja wanita dihadapannya akan hilang. Untuk saat ini, Ranya tidak ingin kehilangan momen apapun yang berkaitan dengan Bunda walau hanya satu gerakan saja.

RanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang