|23| Harus Ikhlas

299 31 4
                                    

"Emm, Nes." Gara menyembulkan wajahnya di balik pintu. "Sori, aku nggak ketuk pintu dulu." Dia menggaruk belakang kepalanya saat hendak masuk setelah menutupnya kembali.

Ines duduk di atas tempat tidur, tubuhnya dibalut piyama tidur bertangan pendek, sedangkan rambutnya diikat ke belakang. Dia kemudian mematikan televisi saat Gara berjalan ke arahnya.

"Kamu udah baik-baik aja?" Tanya Gara sambil menarik kursi ke dekat ranjang.

"Menurut kamu?"

"Tadi bibi kasih tahu, katanya kamu udah mau makan. Berarti kamu udah baik." Jawab Gara sambil mencari posisi nyaman untuk dirinya duduk.

"Kayaknya aku bakalan lebih baik kalau kamu nggak ke sini." Ujar Ines, matanya menerawang kosong.

"Sorry."

Ines tersenyum hambar. "Jangan bilang gitu." Bibirnya kembali menekuk.

Gara yang sudah salah tingkah sejak masuk semakin dibuat salah tingkah saat melihat Ines yang sepertinya hendak menangis kembali. Hatinya menyimpan umpatan dan sumpah serapah kepada Fariz yang memberinya ide konyol. Gara melakukan kunjungan ini karena usulan Fariz saat dirinya meminta pendapat tadi pagi. Dia datang ke rumah Ines juga bukan untuk memperbaiki hubungannya dengan gadis itu, dia berniat untuk memutuskan hubungannya secara baik-baik dan kembali berteman, tapi tidak seperti dulu. Dia ingin meminta kepada Ines untuk menerimanya sebagai teman. Hanya sebagai teman.

Bukan hal yang mudah juga bagi Gara jika harus menjauhi Ines. Karena bagaimanapun, Ines sudah dia kenal sejak kecil.

"Mungkin harusnya aku kasih ruang buat kamu sendiri dulu, maaf." Ucap Gara kemudian setelah memikirkan beberapa kali kata-kata itu.

Ines mengusap air matanya cepat-cepat. "Aku cengeng banget, ya." Ledeknya pada diri sendiri. "Kalau aku ngomong macem-macem sambil ngancem di depan kamu, jangan dituruti lagi, ya."

"Ah, mungkin aku pulang aja. Aku kasih kamu waktu buat benerin hati kamu dulu. Ada yang mau aku beresin."

Perasaan Ines semakin terasa tidak baik. Dia tahu alasan kedatangan Gara ke rumahnya. Dia sudah tahu. Luka kemarin saja masih menganga, sudah mau disayat kembali. Tapi, bukankah lebih baik untuk membereskan semuanya sekarang dari pada mengulur waktu? Mungkin memang lebih baik diutarakan saat Ines sudah siap saja. Tapi lihat dampaknya, apakah harus menunggu tersenyum dulu untuk kembali menangis jika kita bisa menampung tangisan secara bersamaan?

"Kamu nggak perlu mikir macem-macem. Aku cuman mau ngomong baik-baik sama kamu. Kalau kamu belum di zona baik, gimana nanti pembahasan kita bisa berjalan baik?" Gara kembali memikirkan ucapannya yang terdengar tidak nyambung dan kurang jelas. "Pokoknya ..." dia kembali terdiam. Apa yang tadi Fariz katakan? Kenapa dia mendadak lupa. Padahal dia sudah menghafalnya sejak di sekolah hingga pulang ke rumah.

"Gini nih kalo belajar sama Fariz. Beres, enggak. Bikin pusing, iya."

Gara masih diam sambil merangkai kata-kata yang cocok untuk berpamitan pulang pada Ines.

"Ah, aku kasih waktu buat kamu bener-bener baik dan sembuh. Bukan sembuh. Maksudnya baik hatinya." Gara kembali terdiam sebelum akhirnya kembali bersuara. "Hati kamu udah baik kok, Nes. Maksudnya hati baik-baik. Eh? ... Baik-baik hatinya." Gara menggigit bibir bawahnya sekilas. Kenapa rasanya sangat sulit untuk berkata dengan baik di depan Ines sekarang?

Ines kemudian tertawa. "Kenapa ngomongnya belibet? Kamu biasanya nggak kayak gini." Ujarnya. "Kenapa enggak pas kita pacaran aja kamu lucu kayak gini, Gar? Kenapa baru sekarang?" Lagi-lagi bibir Ines kembali memberenggut.

RanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang