|6| Perihal Surat

409 32 108
                                    

Akhir juniku terasa lebih membosankan. Bagaimana dengan junimu? Apakah semuanya berjalan sesuai dengan keinginanmu?



¤¤¤

Mata hitam itu menatap fokus pada satu objek dengan alis menukik. Beberapa kali mengerjap hingga memejam sekitar beberapa detik.

"Ah, kepanjangan," keluhnya menghela nafas.

Itu Ranya, gadis yang tengah duduk di taman belakang sekolah saat seharusnya melaksanakan hukuman mengelilingi lapangan yang diberikan Bu Sri karena datang terlambat di jam pelajarannya. Tidak. Dia juga tidak mengikuti jam pelajaran ke dua dengan alasan malas bangkit dari duduknya. Gadis itu bahkan masih membawa ransel dan sekantong keresek penuh berisi camilan dan minuman, yang bahkannya lagi sekarang kantong keresek itu sudah menjadi tempat sampah yang berisi beberapa plastik makanan, beberapa botol minuman dan beberapa kertas yang diremas.

Mulutnya masih menggigit tutup pulpen sejak dua menit terakhir, sedangkan ujung pulpen masih enggan mendarat di atas kertas kosong yang ke lima kalinya. Tangan kirinya sedang repot memeluk dua bungkus keripik yang sudah sisa setengah. Ranya benar-benar terlihat sedang mempersulit dirinya sendiri.

Kursi beton setinggi lutut itu Ranya jadikan sebagai meja dadakan untuk membantunya menulis dengan layak. Dia sedang memikirkan kata-kata yang tepat untuk isi suratnya. Tidak perlu panjang, Ranya hanya membutuhkan beberapa kata yang langsung menuju pada intinya saja.

Matanya memejam lagi, mancari sebuah ide yang tersempil di otaknya. "Ayo! Ayo! Ayo!" Ucapnya menyemangati dirinya sendiri.

Matanya kemudian terbuka lebar-lebar saat kalimat yang tepat sudah ditemukan. Kemudian, tangannya mulai menulis di atas kertas.

Malam nanti kita ketemu, kak. Lo nggak perlu jemput. Gue masih sanggup buat jalan sendiri kok. Di taman. Jam delapan. Oke?

Sepertinya ini tidak seburuk yang sebelumnya. Ranya membuang tutup pulpen itu dari mulutnya, kemudian dia melipat kertasnya menjadi dua bagian sebelum dimasukkan ke saku kemeja yang dikenakannya.

"Yang ini nggak perlu di titip ke Kak Paris." Kepalanya menggeleng beberapa kali seolah meragukan kemampuan Fariz dalam urusan menyelamatkan suratnya.

Mulutnya kembali mengunyah dengan bringas dua kantong keripik hingga habis dalam beberapa detik saja. Sungguh kemampuan yang luar biasa bukan?

"Woy!"

Ranya menoleh dengan mulut yang tengah sibuk meneguk minuman kaleng.

"Lo bukannya penuhin hukuman malah makan di sini. Jam ke-dua lo juga nggak ikut. Kurang ajar emang lo."

"Kenapa Kol?" Ranya bertanya setelah menelan minuman dan memasukkan kaleng kosong itu ke dalam plastik.

Nichol ikut duduk lesehan di atas rumput bersama Ranya yang tampak nyaman-nyaman saja.

"Nama gue keren-keren kok jadi jelek, ya, kalo lo yang nyebut."

"Nggak penting." Balas Ranya sambil meraih sebungkus pocky di dekat kakinya. "Nggak, Kol?" Dia menyodorkan pocky itu pada Nichol yang tampak mendengkus.

"Lo niat nawarin nggak sih?"

"Nggak. Iseng aja." Ranya kembali menarik tangan dan mulai memakan pocky itu cepat-cepat agar Nichol tidak memintanya.

"Sayang!" Panggilan bernada sebal terdengar di belakang mereka berdua. "Kok duduk di sini?" Tak satupun dari mereka berdua yang menengok.

"Kok nggak ngajak aku?" Tanya orang satunya lagi dengan nada merajuk.

RanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang