|28| Penyesalan Ayah

317 27 15
                                    

Bunda sudah pulang ke rumah, dijemput oleh Satya dan Ranya yang sama-sama diam tak saling berbicara. Oma bersama beberapa pihak keluarga lain juga datang untuk menjenguk, membawa banyak sekali buah dan makanan. Ayah juga pulang, dengan rasa khawatir yang tak ia perlihatkan.

Suasana rumah menjadi sedikit ramai, setidaknya itu yang mereka pikirkan. Tapi tidak bagi Satya, dan terlebih lagi untuk Ranya. Dibanding Satya yang lebih memunculkan sisi gelapnya, Ranya tetap bersikap seperti biasa. Hanya saja untuk beberapa pertanyaan yang melayang kepada dirinya, jika bukan Bunda atau Oma yang bertanya Ranya tidak akan menjawab, atau setidaknya memberikan respon. Dia sibuk memijit lengan Bunda yang tengah asyik berbincang di ruang tengah. Awalnya Ranya sudah memaksa Bunda agar tetap beristirahat di kamar saja, tapi beliau menolak, dan memilih bersantai di ruang keluarga.

Sebuah ruang yang sangat tidak berarti bagi Ranya.

Sedangkan Satya sudah pergi beberapa saat lalu dengan beralasan ada tugas di rumah teman. Padahal dia saat ini sedang menghindari kontak mata langsung dengan Ranya. Sakit rasanya melihat Ranya bernafas satu ruangan dengan dirinya.

"Ranya udah gede ya, kelas berapa sekarang?"

Tak menjawab, gadis itu hanya fokus dengan kegiatannya.

"Kelas sebelas." Bunda yang menjawab. Dia mengelusi kepala Ranya dengan sayang.

"Cantik lho sekarang Ranya. Nggak kayak dulu." Wanita itu terkekeh sambil melirik putranya yang tengah memakan donat. "Iya nggak? Ranya cantik ya sekarang."

Cowok yang usianya tak jauh dengan Ranya itu kemudian menjawab. "Iya. Cantik. Pangling tadi aku pas liat dia, Mah." Ujarnya.

"Heh, jadi maksud lo berdua, dulu gue jelek gitu? Munafik banget." Batinnya mencemooh.

"Kalau Satya kelas berapa sekarang?"

"Kan? Ujung-ujungnya bahas dia, kelihatan banget basa-basinya."

Ranya berdecak kesal namun tak terlalu kentara, dan semua orangpun tidak menyadarinya.

"Baru masuk SMA." Lagi-lagi Bunda menjawab.

"Lho? Kok tinggi banget ya, tadi sampai nggak ngenalin dia lho saking bedanya. Dulu kurus banget, tapi gantengnya emang udah dari lahir. Makin gede makin ganteng aja." Sahut wanita lain yang duduk di sana. "Kalau bukan saudara, kayaknya aku mau nikahin Satya sama putriku deh," Dia terkekeh kemudian mendapat cubitan dari putrinya yang duduk di sampingnya.

"Astagfirullah, kamu ada-ada aja." Oma geleng-geleng kepala sambil tersenyum.

"Kerjaan kamu sudah selesai, Andra?" Tanya Oma pada putranya.

Ayah menjawab dengan anggukan dan senyuman dibibirnya.

"Untungnya kamu punya anak-anak yang bisa diandalkan. Jadi, saat kemarin istrimu sakit, dia ada yang jagain." Oma mengelus punggung Ranya yang mendadak membeku. Ini memang bukan kali pertamanya keluarga itu berkumpul seperti sekarang. Ranya juga kenal dengan para jajaran Tante yang selalu bergosip itu dan semua sepupunya. Tapi dengan ucapan Oma barusan, ini seperti kali pertamanya dia berada pada lingkaran keluarga besar yang sesungguhnya.

"Ranya telaten banget ngurus Bundanya." Beliau tersenyum hangat saat Ranya menatap kearahnya. Tatapan seperti orang terkejut yang malah terlihat bodoh. Mungkin bagi orang lain, tidak ada yang istimewa dari ucapan Oma barusan, tapi tidak bagi Ranya. Ini seperti kali pertamanya bagi Ranya diterima di dunia luar. Dunia selain Bunda.

∆∆∆∆

"Ada yang mau kamu bilang sama aku, Mas?" Tanya Bunda saat merasa suasana sudah aman. Pukul sebelas malam, anak-anak pasti sudah tidur pulas, pikirnya. Dia melihat kearah Ayah yang hanya diam di depan lemari.

RanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang