|15| Tentang Pernyataan yang Belum Diutarakan

421 30 0
                                    

Sampai siang ini, Ranya masih juga belum berhasil menemukan sang pujaan hatinya. Kakinya melangkah perlahan ke arah kantin lantai satu, setelah barusan dia hendak pergi ke lantai tiga namun urung karena bertemu Cessie di ujung anak tangga.

Sebenarnya Gara sekolah apa tidak?

Hari ini Ranya berangkat kesiangan, dan ketika sampai ke sekolah jam pelajaran sudah hampir akan dimulai, jadi dia tidak memiliki waktu luang untuk sekedar memastikan apakah si doi hari ini masuk atau tidak. Cukup hari kemarin saja dia tidak bertemu Gara, masa hari ini tidak bertemu juga? Rindunya sudah tidak terbendung lagi.

Bukannya belok ke arah kantin, dia malah berjalan lebih jauh lagi hingga sampai di area parkiran sekolah yang dipenuhi kendaraan beroda dua. "Motor kak Gara yang kayak gimana si?" Batinnya berucap ketika dia mulai menilik satu persatu motor yang terparkir.

Jujur saja, hampir selama dua tahun Ranya mempertahankan perasaannya pada Gara. Harusnya selama itu juga dia bisa banyak tahu tentang Gara. Namun pada kenyataannya, dia tidak tahu apa-apa tentang Gara, selain alasan dibalik hubungan cowok itu dengan ines, teman masa kecilnya. Walaupun dia sering mengantar Gara sampai ke parkiran, tapi dia tidak pernah benar-benar menunggu sampai cowok itu menaiki kendaraannya. Jadi, Ranya tidak tahu modelan motor Gara itu yang seperti apa, alamat rumahnya juga dia tidak tahu. Bahkan untuk media sosial atau nomor ponselnya saja dia tidak tahu. Karena prinsip Ranya adalah: selagi masih bisa berkeliaran di hadapannya, untuk apa nomor ponselnya?

Ranya berhenti melangkah, matanya menatap tajam pada setiap motor yang tertangkap oleh indra penglihatannya. "Kak Gara itu tenang, kalem, ganteng, dan pastinya jodoh gue. Jadi, motonya ... pasti?"

Dia menghela sebal, kebodohan apa ini, sampai motor jodohnya saja dia tidak tahu.

Kak Gara masuk nggak?

Tak lama sebuah pesan balasan pun datang.

Kak Fariz
Nggak. Soalnya ines belum balik dari RS.

"Oke."  Dia mengangguk sambil menyimpan kembali ponselnya di saku roknya. Mencoba untuk memahami walau ada rasa pahit yang dia rasakan.

Kakinya kembali melangkah, dia memutuskan untuk ke kantin saja, menyusul teman-temannya yang sejak tadi sudah nongkrong di sana.

∆∆∆∆

"Lo tahu nggak, modelan tas yang dipakai bang Gara?" Tanya Mark pada teman-temannya.

"Lo mau juga?" Tepat sasaran.

Mark mengangguk saat Sidan bertanya dengan wajah tak perduli. "Ralat ya, tadinya gue yang mau beli duluan, tapi---"

"Cowok kok gitu? Najis gue sama lo." Potong Dwi dengan cibiran pedasnya.

"Diem lo nenek lampir. Gue lagi cerita." Geram Mark namun tak lagi menyambung ucapannya.

Soal Mark yang menginginkan tas yang modelannya seperti tas milik Gara, itu benar adanya. Dia ingin membeli tas yang seperti itu karena terlihat memiliki kesan yang berbeda. Mark akui, Gara itu kalem luar dalam. Mungkin itu pengaruh dari ranselnya. Soalnya dia juga ingin seperti Gara, terlihat mempesona walau tidak banyak gaya, tidak mencari sensasi tapi seluruh penghuni sekolah mengenali. Mark ingin seperti itu.

Shruuuuup

Mark menoleh saat suara seruputan terdengar di sampingnya. Ranya duduk di sana. Coba tebak, tentu saja gadis itu meminum es teh manisnya. "Kenapa harus punya gue?"

"Kirain nggak ada yang punya." Jawab Ranya di sela minumnya.

"Kenapa nggak beli sendiri?"

"Gue kelewat dehidrasi soalnya."

RanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang