|35| Tepat di Hari Ujian Terakhir

336 30 3
                                    

Sehabis shalat subuh di Masjid Agung yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah sakit, Ranya tak langsung beranjak.

Masih memakai mukena, dia terdiam. Bukan, sebenarnya dia tengah berdialog dengan dirinya sendiri. Bertanya, kemana saja dia selama ini, sehingga jarang mengunjungi rumah Tuhannya dan bersimpuh di depan-Nya. Ranya bahkan lupa, kapan terakhir kali dia berdoa kepada Tuhannya, seolah dia tidak membutuhkan pertolongan-Nya.

Tetesan hangat itu meluncur mulus dari ujung matanya. Ranya menunduk seiring dengan dirinya yang merasa sudah kelewatan.

Bagaimana bisa dia sudah sejauh ini dengan Tuhannya?

Membiarkan tetesan itu terus mengalir, Ranya tak berniat menghapusnya. Biarkan saja. Dia sedang ingin menangis di depan Tuhannya. Menangisi betapa tidak tahu dirinya dia selama ini. Sudah diberi nikmat yang amat banyak, tapi lupa bersyukur dan bersujud kepada Tuhannya.

Apakah ini semua sebuah teguran dari Tuhan?

Menguji dirinya beserta keluarganya lewat Bunda yang mengalami kecelakaan.

Apakah Tuhan sekarang sedang merindukannya, karena selama ini dia tak kunjung mengingat dan merindu kepada-Nya?

Sungguh, Ranya merasa malu kepada dirinya sendiri, yang selama ini terlalu bersikap santai hingga membuatnya lalai.

Apakah Tuhan masih mau membantunya?

∆∆∆∆

"Udah mandi?"

Cowok itu mengangguk. "Ini gue udah pakai baju seragam. Masa nggak mandi?" Tidak ada nada sewot yang biasanya cowok itu layangkan. Atau nada menjengkelkan yang membuat Ranya mendelik.

Ranya hanya mengangguk sebagai respon. Sebenarnya dia ingin kembali bertanya, namun memilih urung. Rasanya masih terasa sungkan untuk bertanya kemana Ayah pergi.

"Ayah pergi ke rumah Oma. Disuruh Oma ngambil makan buat sarapan. Palingan bentar lagi juga sampai." Ujar Satya tiba-tiba seolah tahu dengan gerutu hati Ranya. Padahal sebenarnya, Satya hanya berniat memberi tahu saja. Karena rasanya itu penting.

Ranya yang terdiam sejenak langsung melangkahkan kaki untuk masuk ke ruangan Bunda. "Oh, gitu."

Mengembangkan senyumnya untuk menghibur diri. Ranya kemudian menghampiri ranjang. Mengelusi lengan Bunda perlahan. Seolah takut membuat Bunda merasa sakit jika dia terlalu kuat mengelusnya.

Sudah satu Minggu Bunda terbaring seperti itu ,membuatnya khawatir tanpa memberikan tanda-tanda bahwa beliau akan membuka mata.

Menghela nafas. Ranya merindu dengan sosok Bunda yang selalu menyediakan sarapan, membantunya mencari sepatu yang selalu Ranya simpan sembarangan, mencari ponselnya karena selalu lupa menyimpan, dan banyak hal lagi. Ranya tak bisa menyebutnya satu-persatu.

"Oh, iya. Nanti pulang mau gue jemput apa gimana?" Tanya Satya yang kini berdiri di samping Ranya.

"Nggak usah. Kan temen-temen gue pada mau ke sini, jadi nanti pulangnya bareng mereka."

Satya mengangguk. "Hmm."

Kemudian tak ada lagi perbincangan yang terjadi diantara mereka berdua. Memilih diam, sama-sama berkelana dalam pikiran masing-masing.

"Ah, Ayah kira kalian udah berangkat."

Sontak saja, keduanya sedikit terkejut. Lantas sama-sama menoleh ke arah pintu dimana Ayah berdiri.

Beliau mengatur nafasnya yang memburu karena berjalan cepat dari parkiran. "Ini, makan dulu." Beliau menyodorkan tempat makan susun itu kepada Ranya yang langsung menerimanya sambil mengangguk.

RanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang