|38| Dalam Pelukan Ayah

293 27 4
                                    

Ranya sudah mulai membaik, emosinya berangsur-angsur stabil. Dia bahkan sudah pandai memaki kembali, membuatnya sering mendapat hukuman dari Oma karena melanggar peraturan.

Biarpun sering dihukum, itu membuat Satya merasa senang. Bukan karena senang melihat Ranya menderita, tapi karena semakin banyak Ranya dihukum, semakin banyak dia memaki, membuktikan Bahwa Ranya sudah kembali. Ranya yang Satya rindukan kehadirannya. Bukan Ranya yang tenang, tidak ceroboh dan berkata seadanya.

Nyatanya, memang banyak sekali pantangan yang dibuat Oma untuk anak-anak yang tinggal dirumahnya, tidak hanya Ranya yang sering mendapat hukuman, jajaran saudaranya yang lain juga sering mendapat hukuman.

Sebenarnya, dari pada hanya di sebut sebagai rumah biasa, rumah Oma lebih cocok disebut kos-kosan keluarga. Sebab, tidak hanya sepupunya saja yang tinggal di sana, jajaran sanak saudara yang lain juga banyak yang tinggal di rumah Oma. Kebanyakannya adalah mereka yang duduk di bangku SMA, sedangkan sisanya masih duduk di bangku SD, SMP, dan tiga orang sudah masuk perguruan tinggi. Jika dihitung-hitung, totalnya kurang lebih ada tiga belas orang yang tinggal, ditambah dengan Oma, Ayah, beberapa orang pembantu, dua orang tukang kebun, supir, dan tiga satpam.

Bisa dibayangkan bagaimana besarnya rumah Oma itu?

Icon yang paling menarik adalah aquarium sepanjang entah berapa meter itu yang menempel pada tembok, membentang menghiasi ruang tamu, diisi dengan ikan-ikan hias berukuran mini yang jumlahnya sangat banyak. 

Nilai plus ngekos di rumah Oma selain tidak perlu bayar dan mendapat uang saku mingguan dari Oma adalah rumah besarnya itu. Memang tidak bertingkat, namun besarnya sudah seperti taman bermain. Lengkap dengan semua properti untuk bermain, berolahraga, ruang musik, perpustakaan, dan tempat nongkrong ala-ala cafe, yang tentunya sangat Instagramabel.

Siapa sih yang merasa bosan tinggal di rumah Oma? Para pembantu saja malah merasa seperti liburan dari pada bekerja. Apalagi yang cuman numpang tinggal, sudah tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata lagi bagaimana perasaannya.

Terlepas dari kebahagiaan yang mereka dapat,  banyak sekali aturan dan pantangan yang Oma buat dan harus mereka patuhi. Jika melanggar, siap-siap menjalankan hukuman, dan jika sangat fatal mereka akan diantar pulang saat itu juga. Walaupun begitu, sampai sejauh ini, belum ada diantara mereka atau bahkan yang sebelum mereka melanggar sampai fatal. Semuanya mematuhi dengan senang hati. Karena mereka sadar, pantangan yang Oma buat untuk kebaikan hidup mereka juga.

"Ah mampus, deh, lo dihukum lagi." Ejek Satya sambil jingkrak-jingkrak mendahului langkah Ranya.

Gadis itu mencabik, dia dihukum juga karena ulah Satya. Satya yang membuatnya mengucapkan kalimat pantangan karena sudah membuatnya hampir terjengkang. Dan sialnya, Oma muncul tepat saat Ranya berkata kasar.

"Kenapa sih, gue mulu yang kena? Lo juga suka maki, kok nggak pernah kena?" Baru juga sampai rumah sehabis pulang sekolah, masa harus bersih-bersih?

"Itu tandanya ... lo emang sial." Satya terbahak lantas berlari pergi.

"Sing sabar, Teh." Ucap ... siapa anak itu namanya? Ranya lupa. Yang pasti, bocah cowok itu, memiliki logat Sunda yang sangat khas.

"Iya, hmm." Dia segera pergi ke kamarnya untuk mengganti pakaian dan pergi ke perpustakaan mini untuk membersihkan tempat itu.

Tempat-tempat yang disediakan Oma untuk kebutuhan anak-anak kosnya memang harus dibersihkan oleh mereka semua. Cuman bedanya, jika biasanya mereka bekerja sama, kini Ranya bekerja sendiri. Biarlah, daripada dia memilih memasak untuk makan malam, yang pasti berujung dengan banyaknya cing-cong yang dilontarkan dua belas orang penghuni kos Oma, karena masakan Ranya yang rasanya amburdul, tidak enak di mulut apalagi diperut.

RanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang