|36| Apa-apa yang Harus Diterima

320 29 7
                                    

Ada masa dimana seseorang merasa dunianya hancur, merasa tidak ada lagi kehidupan dalam jiwanya, tidak ada lagi harapan yang harus dicapai, dan detak jantungnya seperti berhenti. Bukan karena Tuhan mengambil nyawanya, tapi karena dia merasa Tuhan membekukan jiwanya, dan mengambil alasannya untuk tetap bertahan.

Ranya sedang dalam titik tersebut. Titik terendah dalam hidupnya.

Titik dimana dia merasa semuanya sia-sia. Seperti terjatuh ke dalam jurang tak berdasar dan jiwanya tersedot ke dalam dimensi lain.

Bagaimanapun dia menolak, semuanya terlihat nyata. Tangisan itu, isak tangis itu, dan jeritan Oma sebelum beliau tidak sadarkan diri. Semuanya dia dengar dengan telinganya sendiri. Namun sekali lagi, Ranya tetap ingin beranggapan jika semuanya hanya sebuah ilusi.

Tidak ada lagi air mata yang keluar dari ujung matanya. Dia terlalu bingung untuk mengekspresikan diri di dalam nuansa kelabu itu.

Rumah Oma mulai sepi ditinggalkan para pelayat. Namun Ranya tetap bertahan di dalam kamar dan tak berniat membuka pintu. Ranya sedang tidak ingin bertemu dengan orang-orang yang merasa senasib dengannya, merasa sama-sama kehilangan orang yang sangat berarti.

Kepergian Bunda benar-benar membekas di hati Ranya dan keluarga besarnya.

Tidak ada air mata yang keluar bukan berarti Ranya sudah menerima semuanya dengan ikhlas. Belum. Ranya belum bisa mengikhlaskan kepergian Bunda secepat itu.

Sebenarnya banyak sekali kalimat yang ingin Ranya keluarkan, namun bibirnya terlalu kelu untuk berbicara. Apalagi dia sadar, bahwa rentetan kalimat yang akan keluar dari mulutnya hanya tentang bantahan dan keluh kesah dengan takdir Tuhan yang sudah digariskan.

Pada akhirnya, Ranya hanya memilih diam saja. Tatapannya bergerak tak menentu membuktikan bahwa dirinya telah kehilangan arah.

"Ra."

Lagi-lagi Dwi mengetuk pintu sambil memanggil namanya yang tak kunjung menyahut.

"Ini gimana dong, Nichol?" Cewek itu terisak kembali tak kuasa menahan air mata.

Mendapati Ranya yang lebih memilih mengasingkan diri membuatnya tak henti-henti merasa cemas. Tangannya bergetar tak karuan, bahkan keringat dingin mulai membuatnya tak nyaman. Karena Dwi tahu, bagi Ranya, Bunda adalah poros hidupnya. Lantas apa yang akan Ranya lakukan jika Bunda kini sudah tiada?

Gadis itu menggeleng menanggapi pertanyaannya sendiri.

"Ra." Dia kembali memanggil dan bertahan di sana ketika Nichol, Sidan, dan Mark pergi ke pelataran rumah.

"Ra, hiks."

"Ra, gue harus gimana?"

"Kenapa lo nggak mau ketemu sama gue?"

"Lo marah sama gue?"

Melihat Dwi yang sudah tak karuan mengetuk pintu dan berbicara dengan nada tak tenang membuat Ayah akhirnya bangkit dan menghampiri gadis itu.

Dwi menoleh, memberikan tatapan seperti orang yang sedang memohon bantuan.

Biarpun hanya lima menit, yang penting dia ingin bertemu cewek itu. Dwi ingin memeluknya, memberikan kekuatan untuk Ranya yang sedang merasa kehilangan.

"Tolong kasih Ranya waktu, Dwi." Hanya itu yang Ayah katakan. Bukan sebuah kalimat permohonan, melainkan permintaan dengan nada tenang membuat Dwi lagi-lagi terisak.

"Biarkan dulu Ranya sendiri, dia butuh waktu untuk berdamai sama dirinya sendiri."

∆∆∆∆

RanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang