|12| Penyesalan dan Permintaan Maaf

524 31 0
                                    

"tetaplah menjadi orang baik, sekalipun kamu tidak pernah diperlakukan dengan baik."

∆∆∆∆

"Dari mana aja sih, Ra?!" Kesal Dwi saat menjumpai temannya itu tengah mengatur nafas di ujung anak tangga lantai dua. "Gue cariin juga dari tadi." Sewotnya mendelik sebal.

"Bentar. Huuuuuh," Nafasnya menghembus panjang. Tubuhnya kembali menegak sambil menyodorkan tiga kotak susu yang sejak tadi dipegangnya.

"Apa?" Dwi mengernyit tak mengerti.

"Tadi gue abis beli susu dari kantin atas."

"Di bawah kosong?"

"Nggak gue cek sih, seka--"

"Sekalian mampir ke kelasnya kak Gara?! Gue nggak habis pikir ,deh, sama Lo." Potong Dwi sambil memberikan kembali tiga kotak susu itu kepada Ranya.

"Lo nggak takut apa sama ancaman mereka?!" Teriak Dwi tanpa tahu malu.

"Ancaman apa? Lo kenapa sih, Wi?" Heran Ranya.

"Lo dipanggil ke ruang BK." Ucap Dwi sebelum berlalu dengan emosi campur aduk.

Hari ini dia benar-benar marah dengan Ranya. Bukan hanya karena temannya itu menghilang begitu saja tanpa pamit, atau karena tidak menceritakan apapun soal apa yang dialaminya kemarin. Tapi lebih kepada sikap nekad Ranya yang masih terang-terangan menemui Gara. Dwi khawatir sesuatu yang lebih buruk akan terjadi kepada Ranya. Lebih dari sekedar pelabrakan yang terjadi kemarin.

Dwi menghentakkan kakinya penuh emosi tepat di depan pintu kelasnya.

"Pms lo, Wi? Nggak enak banget muka lo dipandang." Ucap Sidan yang baru saja sampai di kelas.

"Masih pagi juga." Timpal Mark menggeleng takdim.

"Nggak boleh gitu lo semua." Nichol menepuk pundak kedua sohibnya. "Pms tuh sakit tahu ..."  Lanjutnya. "Wi, mau gue beliin kiranti nggak?"  Tawar Nichol dengan sopan. Tapi bukannya mendapat balasan baik, Dwi malah memelototinya sambil mendelik sebelum memutar arah dan bergegas cepat-cepat.

"Gue salah dimana, ya?" Tanya Nichol entah kepada siapa.

Mark hanya menggeleng sambil menepuk pundak temannya itu.

"Lo yang salah." Ujar Sidan menoleh ke arah Nichol.

"Salah dimananya bego?"

"Pokoknya lo yang salah. Cewek mah nggak pernah salah kata si Mama juga." Jawab Sidan sambil berjalan ke arah mejanya.

∆∆∆∆

Sejak kedatangan Ranya beberapa menit lalu, empat orang tersangka yang duduk bersisian dengannya hanya menunduk dengan tangan yang saling bertaut meremas cemas. Padahal Ranya sama sekali tidak memelototi atau menjambaki empat teman seangkatannya itu. Mendadak ruangan yang agak luas itu terasa lebih menghimpit, oksigen yang mereka hirup pun terasa semakin menipis.

"Hiks, hiks," Terdengar isakan lirih yang begitu memilukan telinga.

Ranya menoleh ke sampingnya dimana Putri duduk menunduk dengan pundak bergetar. Kemudian dia menatap gurunya yang tengah sibuk memeriksa sesuatu.

"Ekhem." Bu Lala berdehem singkat dengan nada tak bersahabat membuat pundak Putri semakin bergetar.

Ranya mengulurkan tangannya untuk menepuk-nepuk pelan tangan Putri yang tampak memutih. "Udah, nggak papa," bisiknya menenangkan.

Putri yang mendapat ucapan penenang dari korbannya langsung saja menumpahkan semua air mata yang sejak tadi sudah membendung. Ucapan Ranya berhasil mengiris hatinya. Dia benar-benar sangat menyesal dengan ulahnya. Sangat lebih menyesal saat harus membenci orang yang memiliki hati yang lapang. Orang mana yang akan menenangkan orang yang sudah menyiksanya?

RanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang