|11| Syukurlah ...

397 31 2
                                    

Tak ada yang berubah, tak ada sesuatu yang aneh. Ranya kembali ke sekolah dengan keadaan seperti biasanya tanpa ada raut murung sedikit pun diwajahnya. Dia beberapa kali melambaikan tangan layaknya seorang putri yang tengah menyapa rakyat jelata saat berpapasan dengan orang-orang yang memandanginya dengan ekspresi yang tak ia mengerti.

"Ra! Ra!" Teriak seseorang di belakangnya.

Segera Ranya memutar tubuh dan menemuka Dwi tengah berlari ke arahnya. "Hai Wi." Sapa Ranya menepuk jidat cewek itu hingga terkejut.

Selang beberapa detik Dwi kembali memasang wajah khawatirnya. "Lo nggak kenapa-kenapa Ra?" Tanyanya mengguncang tubuh Ranya.

Ranya kemudian merangkul pundak Dwi dengan susah payah sambil mengajaknya berjalan. "Emangnya gue kenapa ya, Wi?" Tanyanya dengan kaki berjinjit untuk menyamakan tinggi badannya dengan Dwi.

"Gue telponin kok nggak Lo angkat, sih?" Nadanya memaksa meminta penjelasan dengan segurat kecemasan yang terpancar dari matanya.

"Ha-ha," tawanya sumbang sambil mencari alasan. "Gue kemaren lupa naro hape, Wi. Dicari-cari baru ketemu tadi coba, di kolong ranjang." Lanjutnya sambil menurunkan tangannya dari pundak Dwi. Kakinya sudah terasa pegal karena berjalan berjinjit.

"Btw, Lo udah tahu belum?" Tanya Dwi sambil berjalan mundur menaiki anak tangga.

"Soal?"

"Soal si Putri dkk," jawab Dwi memegangi tangan Ranya yang hampir salah menginjak anak tangga.

"Putri siapa?"

"Pura-pura bodoh!" Cibir Dwi sambil menuntun Ranya untuk berjalan menyelesaikan anak tangga. "Hampir semua anak udah tahu Lho kejadian kemarin."

"Emang kemarin ada kejadian apa? Kok gue nggak tahu?" Tanya Ranya dengan nada lempengnya.

"Tau deh! Sebel gue ngomong sama Lo!" Dwi menghempaskan tangannya, kemudian berjalan mendahului Ranya dengan langkah menghentak lantai.

Bukannya ikut berbelok, Ranya malah melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga untuk ke lantai tiga. Ada satu kelas yang ingin dia kunjungi. Dia berjalan pelan-pelan saat melewati kelas pertama, setaunya Ines menepati kelas itu. Untuk menghindari perdebatan, dia memutuskan untuk berlari dengan kepalanya yang masih menengok-nengok ke arah kelas Ines.

Jduk!

Dia memegangi pelipisnya saat berbenturan dengan dagu seseorang. "Sorry, sorry." Ucapnya.

Tak ada balasan. Ranya kemudian mendongak, sedikit terkejut saat menemukan Ines berdiri dihadapannya dan tengah menatapnya. "Sorry Kak Ines." Ucapnya merasa tak enak hati. "Gue cuman mau ... itu, ke ... kantin. Ya, kantin. Di bawah susu kotaknya lagi kosong." Gagapnya dengan wajah yang tetap lempeng.

"Ekhem," Ines menarik nafasnya cepat. "Kamu-"

Dengan cepat Ranya memotong ucapan Ines yang menguap ke udara. "Nggak papa kok, jidak gue kuat, Kak. Nggak percaya?" Dia kemudian memukuli jidatnya beberapa kali untuk membuktikan ucapannya. "Kuat kan?" Ines hanya tertegun dengan respon Ranya, sebenarnya dia hendak bertanya sesuatu. "Gue duluan, ya." Pamitnya sedikit merengkuh sebelum berjalan tergesa-gesa ke arah kantin.

"Eh, hai. Baru sampai?"

"Hmm,"

Seketika Ranya menghentikan langkahnya dan menyempatkan diri untuk menoleh ke belakang saat suara yang sangat familiar masuk ke telinganya.

Benar saja, Gara berdiri di sana dengan pose kalemnya, satu tangannya memegangi ransel yang tersampir di sebelah bahunya. Ranya menyudutkan alisnya untuk memastikan sesuatu, ternyata Gara sudah memiliki kumis yang baru tumbuh tipis-tipis. Uhh, Ranya benar-benar merasa semua makhluk di sekitarnya hilang entah kemana, hanya Gara yang tertangkap oleh indra penglihatnya. Alis hitam cowok itu perlahan menyatu saat balik menatapnya. Langsung saja Ranya melambai kaku dengan senyuman yang dia yakini sudah mempesona walau pada faktanya tidak. Tak lupa dia juga memberikan Gara kiss flying singkat sebelum kembali melangkah tergesah ke arah kantin saat Ines mulai menggerakkan kepalanya untuk menoleh.

"Gar. Kayaknya kita perlu bicara." Ucap Ines sambil melihat punggung Ranya yang semakin menjauh sebelum akhirnya hilang di belokan pintu kantin.

"Bukannya dari tadi kita udah bicara?"

Ines kemudian memberikan senyum manisnya. "Ada sesuatu yang harus aku pastiin, dan itu soal kamu." Ucapnya sebelum berlalu. Ada nada berat yang keluar dari mulutnya, namun Gara sama sekali tak menyadari itu.

Hanya kerutan pada pangkal hidungnya yang menjadi respon atas ucapan Ines. "Tinggal bilang apa susahnya? Ribet banget jadi cewek." Gerutunya pelan. Entah sejak kapan dia mulai pandai menggerutu seperti sekarang, dia juga tak ingat diajarkan siapa untuk bersikap seperti ini.

Matanya menatap lurus ke arah depan. Bukannya kembali melangkah, Gara malah terdiam menunggu seseorang untuk memastikan bahwa keadaan orang itu baik-baik saja. Perlahan telinganya tertarik ke belakang saat bibirnya mengulum senyum tanpa ia sadari.

'Syukurlah.' Batinnya berucap dengan helaan nafas lega saat Ranya keluar dari kantin sambil memegangi tiga kotak susu. Cewek aneh itu kemudian berlari tunggang langgang seperti orang yang tengah di kejar hantu. Gara hanya menggeleng ringan saat gadis itu melewatinya dan masih sempat-sempatnya mengedipkan sebelah mata saat Cessie mengejarnya sambil merapalkan mantra-mantra.

"Cieee senyum!" Seru Fariz mengejutkan Gara. Tapi bukan Gara namanya jika berlagak terkejut dengan teriakan sompral. Cowok itu sama sekali tak merasa terkejut, hanya senyumnya saja yang langsung memudar.

"Apa?"

"Halah! Nggak usah sok gitu! Jelas-jelas Lo seneng kan liat Ranya?" Tanya Fariz tepat sasaran.

Gara hanya diam sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya. "Sok ngehindar! Jijik Gar! Bilang aja padahal! Woy! Ahmad! Ngaku nggak Lo?!" Sedangkan Fariz masih meneriakinya dengan Perkataan yang mendadak mengganggu fikirannya.

Dia tidak mengerti ada apa sebenarnya dengan dirinya? Semalam dia hampir tidak bisa tidur karena sesuatu masih menganggu fikirannya. Namun, setelah melihat cewek aneh itu masih baik-baik saja, hatinya kembali tenang, bahkan sekarang dia sudah bisa bernafas lega.

Semalaman dia hanya memegangi ponselnya yang menyala menunjukkan chat roomnya dengan Fariz yang berakhir tiga jam yang lalu. Dia ingin meminta nomor ponsel gadis itu, tapi Fariz tak akan semudah itu memberikan nomornya. Dia pasti akan di recoki dengan pertanyaan kepo cowok itu. Dengan ragu akhirnya dia memberanikan diri untuk mengirim pesan kepada Fariz. Belum selang lima menit, karena Fariz tak kunjung membalas, akhirnya dia menghapus kembali pesannya. Dan balasan ngawur Fariz sampai tadi pagi.

Kok dihapus lagi gar?

Kenapa?

Bilang kangen ya?

Cieee cieeee

Serius Lo kangen gue? Haha

Tau kok gue emang ngangenin. Tapi masa Lo udah kangen aja. Padahal kemarin di sekolah kita udah abisin waktu lama lho mmmm

Babang Garanteng manis banget sih unch unch

Tunggu bentar lagi yang, aku berangkat! Bentar, aku pup dulu.

∆∆∆∆

Tbc!

Hai😆
Akhirnya bisa update lagi hehe
Aku ngetik kurang lebih dua jam full, dan akhirnya beres huhuT_T langsung up deh, biar kalian nggak keburu lupa sama alur cerita ini.

Suka nggak sama part ini?

Pesan dan kesan kalian?

See you next time, baby ...

Kiah
04082020

RanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang