2. Aldi Gila!

395 45 2
                                    

"loh non kenapa non?"tanya Bik asih kepada Zora yang berlari ke kamarnya sambil menangis sesenggukan. Zora tidak menghiraukan pertanyaan itu. Ia langsung menutup pintu kamarnya dan menguncinya dari dalam. Malam ini, ia hanya ingin sendiri. Ia tidak ingin di ganggu. Ia sedang ingin mengobati hatinya. Hati yang seharusnya sudah kebal untuk disakiti. Namun nyatanya, hati Zora masih belum kuat untuk itu.

"Kenapa gue harus ada kalo saudara gue aja nggak mau gue hidup. Kenapa gue harus lahir kalo kehidupan gue cuma bikin saudara gue sedih. Kenapa gue harus berpijak di bumi kalo saudara gue aja nggak bisa Nerima keberadaan gue di sini."tubuh Zora merosot ke lantai. Punggungnya bersandar ke pintu. Harusnya ia tak selemah ini. Namun hatinya tak bisa diajak kompromi untuk yang satu itu.

"Kenapa cuma gue yang  harus ngrasain ini?"tanya Zora entah kepada siapa. Perlahan dia berdiri, lalu berjalan menuju nakas dan mengambil hanphonya. Dia membuka galeri dan menampilkan wajah Marvel yang ada di hanphonya.

"Gue capek. Tapi apa gue diberi kesempatan untuk ngomong itu? Apa gue nggak boleh minta satu hal aja. Satu hal untuk ngebiarin hati gue sembuh beberapa hari. Biarin hati gue diobati dulu sebelum dilukai lagi.
Lama-lama gue nyerah kalo terus-terusan begini. Apa nggak ada yang peduli sama gue? Apa papa tau sama apa yang gue rasain selama ini? Enggak. Dia sama sekali nggak tau meskipun dia papa gue. Kak Devan? Dia tau, tapi dia lebih milih untuk diem. Ketika gue butuh penghibur? Kenapa yang Dateng malah orang lain? Kenapa enggak keluarga gue sendiri?"Zora bermonolog sendiri. Dan setidaknya hatinya sedikit lega meski pertanyaannya satupun tak pernah terjawab.

"Kalo boleh minta, gue pasti lebih milih Lo sebagai kakak gue. Karna selama ini Lo yang selalu ngerti gue bang. Melebihi keluarga gue sendiri."kata Zora sambil terus memandang wajah Marvel.

"Kadang realita emang gak sejalan sama ekspetasi. Jadi jangan menghayal jauh-jauh, takutnya kita jatuh karna khayalan itu gak akan mampu kita gapai. Terlalu jauh dan terlalu tinggi dari kenyataanya. Kalo bahas tentang jujur emang sulit. Tapi lebih baik jujur dari pada bohong. Buat apa sih bohong selagi kita masih bisa jujur."Zora masih mengingat perkataan Marvel waktu itu.

"Tapi kalo kejujuran kita nyakitin orang?"

"Ya gak papa. Yang penting kejujuran itu keluar dari mulut kita sendiri. Karna kalo kejujuran itu keluar dari orang lain. Rasanya akan jauh lebih menyakitkan."

Zora mengusap air matanya. Ia menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskanya perlahan. Zora mencoba tersenyum meski sulit. Ia tidak boleh menangis lagi, sudah cukup untuk malam ini. Ia tidak boleh menangis lama-lama, karna Zora sendiri sangat benci air mata.

"Dan sekarang gue mau jujur kalo gue gak sekuat itu."ucap Zora lirih sambil mendudukkan dirinya di atas spring bad empuk miliknya.

***

"Mau minum gak Ra? Nih gue punya Mizone."tanya Nasya kepada Zora yang sedang melamun menatap meja kantin didepannya.

"Ra."panggil Nasya sekali lagi. Zora tersentak, akhirnya ia tersadar dari lamunannya.

"Eh iya, apa? Lo nanya apa tadi?"tanya Zora.

"Ah udahlah, yuk Ra ke kelas. Gue rasa pikiran Lo lagi nggak disini."kata Nasya yang sudah berdiri dari duduknya.

"Tapi kan makanan Lo belum abis?"tanya Zora saat dirinya melihat mangkuk yang berisi bakso milik Nasya masih tersisa separuh.

"Gak papa, lagian makan sendiri gak enak. Lo sih diajakin makan gak mau."

"Ya maap. Yaudah deh ke kelas aja."putus Zora kemudian.

Keduanya pun akhirnya keluar dari kantin bersama. Mereka berniat langsung masuk ke kelas. Kebetulan kelas mereka berada di lantai tiga, jadi mereka harus menaiki dua tangga untuk sampai di koridor kelas XII.

SEMESTA milik ZORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang