• 33 | Extra Part •

295 16 1
                                    

"Kehidupan sempurna tidak sepenuhnya dipenuhi dengan kebahagiaan. Terkadang manusia belum mengerti, jika luka adalah hal penyempurna hidup. Tanpanya, semua akan terasa hampa."

***

Wajah Edwin terlihat kacau. Pikirannya tiada henti memikirkan sang adik yang tengah berjuang melawan maut. Kaki yang terus melangkah maju dan mundur di depan ruang operasi yang masih tertutup rapat.

Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, rasa ketakutan akan kehilangan mulai menghampiri, mengelilinginya tanpa celah sedikit pun.

Pikirannya teralihkan di saat Ashley datang dengan raut wajah yang sama dengan lelaki itu. Ashley memegang kedua pundak Edwin, terpancar dari tatapannya meminta sebuah penjelasan.

"Apa yang sudah terjadi di sana? Kenapa bisa menjadi seperti ini? Apakah Celine baik-baik saja? Di mana dia?"

Pertanyaan demi pertanyaan Ashley lontarkan dengan kecemasan. Membuat Edwin kebingungan, pertanyaan mana yang harus ia jawab terlebih dahulu.

"Tenangkan dirimu dulu, Bu. Baru aku bisa menjawab pertanyaan Ibu satu persatu," lirih Edwin.

"Duduk di sini." Edwin menuntun sang ibu untuk mendudukkan tubuhnya di salah satu kursi yang tersedia.

Tangan Edwin tergerak untuk menghapus air mata bermahkota yang telah dikeluarkan sang ibu. Ia tersenyum tipis menatap air wajah khawatir yang ditunjukkan Ashley.

"Sudah berakhir, Bu. Sebentar lagi, kita akan memulai fase baru, kehidupan yang lebih bahagia dari pada ini. Semua rencana yang kita buat-"

Ucapan Edwin terhenti setelah menatap kedua manik berwarna biru gelap milik Ashley yang tampak kesal mendengar semua ocehannya yang sama sekali tidak menjawab semua pertanyaannya.

"Entahlah, aku juga belum tau bagaimana keadaannya. Sejak tadi, para dokter sialan itu tidak kunjung keluar dan memberikan kabar," jelas Edwin dengan sedikit kesal.

Ashley membuang wajahnya ke sembarang arah. Menitikkan kembali air mata yang sempat tertunda karena menunggu penjelasan dari Edwin yang berujung mengecewakan.

"Ini semua salah Ibu," celetuk Ashley memecah keheningan.

Dahi Edwin mengerut tidak mengerti. Ditatapnya mata sang ibu dengan penuh tanda tanya. "Maksud Ibu apa? Ibu salah apa?" tanyanya.

"Seharusnya Ibu membawa Celine untuk tinggal bersama, tidak membiarkan raga dan batinnya tersiksa karena tinggal bersama ayahnya yang begitu membencinya." Ashley menjeda ucapannya sejenak, mengusap air mata yang terus mengalir membasahi pipinya.

"Seharusnya Ibu tidak memintamu untuk berpura-pura menjadi orang lain dan tidak mengenal Celine. Seharusnya Ibu memberi tau sejak awal jika-"

Ucapan Ashley terhenti di saat Edwin memegang kedua pundaknya, menatapnya dengan menggelengkan kepalanya pelan.

"Ibu tidak salah apa-apa, Ibu hanya melakukan hal yang menurut Ibu benar dan terbaik untuk semua pada saat itu," ucap Edwin meyakinkan.

Ashley sedikit tersenyum setelah mendengar ucapan anak laki-lakinya itu. Edwin langsung memeluk sang ibu dengan erat dan penuh kasih sayang. Keduanya diselimuti keheningan dengan pikiran yang kacau.

Keheningan di antara mereka pecah karena suara decitan pintu dari ruang operasi yang terbuka dan menampakkan seorang dokter yang tengah melepas masker medisnya.

Setelah menyadarinya, Edwin dan Ashley langsung berdiri dan menghampiri dokter tersebut.

"Bagaimana, dok?"

***

Musim gugur yang baru dimulai di bulan September, membuat suhu udara menjadi lebih dingin. Daun-daun mulai berguguran, berubah warna dan jatuh terbuang.

Suasana pemakaman yang telah diselimuti keheningan. Satu persatu orang yang ikut berkabung pergi meninggalkan pemakaman. Hanya tersisa Edwin yang berdiri sedikit lebih jauh dari laki-laki yang sedari tadi menatap batu nisan yang baru saja dipasang.

Embusan napas panjang dikeluarkan, sebelum akhirnya Edwin menghampiri laki-laki itu.

Tangannya tergerak untuk menepuk pundak laki-laki yang tengah menitikkan air matanya. "Ini sudah takdir-Nya, ikhlaskan saja," ucapnya

Laki-laki itu melepas kacamata hitam yang sedari tadi bertengger di hidungnya. Dapat Edwin lihat, mata laki-laki itu basah akan air yang memenuhi kedua matanya.

Ia merangkul pundak laki-laki itu, mencoba memberikan ketenangan. Tanpa disadari, air matanya juga ikut keluar.

"Niall, dia pasti tidak ingin melihat kita menangis seperti ini. Dia akan berkata jika kita adalah laki-laki yang cengeng," ucap Edwin sedikit bergetar, diakhiri kekehan yang menyakitkan.

Niall tertawa hambar, meninju lengan Edwin pelan. Tangannya menghapus sisa air mata dan bersikap lebih tegar. Melepas semua rasa kehilangan, berpikir jika semua ini adalah jalan terbaik yang Tuhan berikan.

"Dia sudah banyak menderita di dunia, semoga dia bahagia di surga-Nya."

***

halo, apa kabar? semoga baik-baik saja, ya.
gimana extra partnya? kalian masih penasaran?
mau extra part (2)?

Celine (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang