happy reading!
***
“Awal yang terlihat indah, mungkin akan terpisah. Membawa ke jalan yang salah, hingga ‘tak terarah.”
***
Pagi harinya, Celine langsung pulang dari apartemen milik Mrs. Eirlys menuju rumah kediaman Connor dengan sepeda yang kemarin ia gunakan untuk menghampiri Niall. Hari libur sekolah, membuat Celine mengayuh sepedanya dengan santai. Ia sudah menyiapkan mentalnya untuk menghadapi sang ayah nantinya.
Sepuluh menit berlalu, gerbang yang menjulang tinggi sudah di depan matanya. Ia mengembuskan napasnya panjang ketika melihat mobil hitam milik sang ayah terparkir di garasi, menandai bahwa Connor masih di rumah dan siap untuk memberikan luka kepada Celine.
Dengan perlahan, ia membuka pintu utama rumah. Tidak mendapati siapa pun, ia langsung menaiki anak tangga yang menjadi salah satunya jalan menuju kamarnya.
“Berhenti!”
Langkah Celine terhenti begitu saja, nyalinya menciut seketika. Dengan susah payah ia menelan salivanya, membalikkan tubuhnya ke sumber suara. Suara tegas milik Connor membuat pertahanan mental yang sebelumnya Celine bangun menjadi runtuh dalam waktu beberapa detik saja.
Connor menghampiri Celine yang masih terdiam di atas anak tangga, ia menarik tangan sang anak dengan paksa. Melepaskannya dengan kasar, hingga membuat Celine jatuh tersungkur. Celine meringis pelan, memegangi lengannya yang baru saja sembuh, kini harus terluka kembali.
“Sudah puas bersenang-senangnya?” tanya Connor dengan nada tinggi.
“A-Ayah, aku hanya–”
“Sudah salah, masih ingin membantah!” geram Connor. Selalu saja seperti itu, di saat Celine ingin menjelaskan alasannya, ia terus menyelanya tanpa ingin mengetahui kebenarannya.
Connor kembali menarik tangan Celine, memaksanya untuk berdiri dengan cara yang kasar. Celine meringis memikirkan nasib luka di lengannya yang mungkin akan terbuka kembali dan mengeluarkan cairan berwarna merah.
“Ayah … tolong maafkan aku …,” lirih Celine.
“Tidak ada kata maaf untuk anak pembawa sial seperti dirimu!”
Lagi dan lagi. Celine sudah muak dengan pernyataan yang diberikan sang ayah kepadanya. Hatinya merasa teriris secara perlahan, membuat dirinya tidak dapat berpikir dengan jernih.
Celine melepaskan cengkraman tangan Connor dengan keras, tidak peduli jika luka pada lengannya terbuka kembali. Kini, ia menatap sang ayah dengan penuh amarah. Seharusnya ia tidak melakukan hal itu, tetapi kesabarannya selama ini sudah habis. Ia sudah tidak tahan lagi diperlakukan kasar oleh ayah kandungnya sendiri.
“Kenapa Ayah selalu memanggilku dengan anak pembawa sial? Kenapa Ayah selalu menyela ucapanku di saat aku ingin menjelaskan sesuatu?” tanya Celine.
Connor diam, membiarkan Celine membuka suaranya. Ia juga tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Celine kepadanya.
“Kenapa Ayah selalu berpikiran negatif tentang semua yang kulakukan? Kemarin aku hanya keluar untuk meluangkan waktu bersama teman-temanku!” lanjut Celine geram.
“Terlalu senang, hingga lupa mengunci pintu rumah?!” balas Connor dengan membentak.
“Jika ada pencuri yang masuk malam-malam, dan mengambil seluruh aset kekayaan keluarga. Kau mau bertanggungjawab, hah?!” lanjut Connor.
Celine berdecih pelan, menatap sang ayah dengan tidak percaya. “Hanya karena takut kehilangan harta, Ayah memarahiku seperti ini?” tanyanya.
Amarah Connor memuncak, melihat anak gadisnya yang berani melawannya dengan mentah-mentah. Tangannya terangkat ke atas, berniat untuk menampar Celine dengan keras. Akan tetapi, lagi-lagi tangan itu hanya mengambang di udara. Vince kembali menahan tangan suaminya supaya tidak melukai pipi anak tirinya itu.
“Sayang, jangan lakukan itu. Sudah berulang kali aku katakana jaga emosimu, jangan memperlakukan Celine dengan kasar. Ingat, dia juga anak kandungmu,” ucap Vince dengan suara lembut, berusaha menenangkan sang suami.
Hati Connor meluluh dengan sendirinya, tangan yang sebelumnya akan ia gunakan untuk menampar Celine, turun dengan perlahan. Usapan tangan Vince di punggungnya terasa menenangkan, sorot matanya menatap sang istri penuh cinta.
“Dia harus diberi pelajaran,” ucap Connor.
“Jangan lakukan itu lagi. Aku takut, nanti kamu melakukan hal yang sama kepada calon anak kita nanti,” balas Vince dengan mengelus perutnya yang datar.
Celine terkejut mendengar pernyataan baru dari Vince, ia menatap sang ibu dari atas hingga berhenti pada perutnya. “Ibu mengandung?” tanyanya.
Vince merekahkan senyumannya, lalu mengangguk pelan. “Iya, Sayang. Nanti kamu punya adik,” ucapnya dengan mengelus pundak Celine dengan lembut.
“Mulai saat ini, kamu jangan dekati dia, supaya dia tidak membawa hal buruk bagimu dan calon anak kita,” titah Connor dengan tegas.
Dahi Vince mengerut. “Kenapa? Aku bahkan ingin selalu berada di dekat Celine, apalagi jika kau sedang bekerja,” protesnya.
“Ya, jangan dekati aku, Ibu. Aku memang pembawa sial bagi semua orang!” timpal Celine. Ia langsung berlari menuju kamarnya dengan buliran air mata yang sempat ia tahan.
“Terima kasih untuk sekian kalinya, ibu. Kau sudah menyelamatkanku dari tamparan ayah. Aku iri padamu, kenapa dengan mudahnya kau memberikan ketenangan kepada ayah, sedangkan aku hanya memberikan amarah kepadanya,” gumam Celine di tengah isakannya.
“Aku lelah ….”
***
Di tengah gelapnya malam, menyandarkan segala kerinduan pada awan hitam. Sorot mata yang begitu tajam, rahang yang terlihat mengeras. Tepukan pundak yang membuatnya sedikit terkejut, namun tidak menghentikannya untuk menatap sinar rembulan yang menghisap kegelapan.
“Ada perkembangan?”
Laki-laki itu hanya mengangkat bahunya acuh mendengar pertanyaan dari seorang wanita paruh baya yang sudah duduk di sampingnya, membuat embusan napas yang panjang terdengar di indera pendengarannya.
“Sudah lama … sekali, tetapi masalah ini belum kunjung selesai,” keluh wanita paruh baya itu.
“Masalah ini rumit, butuh waktu yang cukup panjang untuk menyelesaikannya. Ditambah dengan adanya seseorang yang merupakan lawan, berpura-pura menjadi kawan.” Laki-laki itu tersenyum kecut, membayangkan seseorang yang telah mendatangkan masalah besar.
“Seharusnya ini dapat selesai, jika kita laporkan kepada pihak berwenang, bukan?” tanya wanita paruh baya itu dengan menautkan kedua alisnya.
Laki-laki itu melirik wanita yang jauh lebih tua darinya sekilas. “Dunia ini memiliki sedikit manusia yang jujur. Kita harus membuktikan, meluruskan apa yang menjadi permasalahan, membenarkan kenyataan yang ditutupi kebohongan,” jelasnya.
“Anda sendiri pasti juga mengerti tentang hukum yang dapat hilang hanya dengan memberikan lembaran kertas hijau,” lanjutnya.
“Tetapi, kasihan dia. Dia tidak bersalah apa-apa, lantas kita menjadikannya sebagai korban ‘tak bersalah. Kita telah menyakiti jiwa dan raganya,” balas wanita itu dengan menampakkan ekspresi kebersalahannya.
“Terkadang, dalam suatu perjuangan harus dibutuhkan pengorbanan. Aku tidak akan pernah membuat dia terluka, aku akan selalu ada di sampingnya. Jika mautnya menghampiri, maka aku akan yang melindungi.”
“Aku yang akan berkorban demi perjuangan membela kebenaran. Dan aku juga yang akan menjaga dan melindunginya. Jangan khawatirkan dia, aku masih ada untuk menjadi tameng hidupnya,” jelas laki-laki itu panjang lebar.
Ia berusaha meyakinkan wanita paruh baya itu, bahwa semua akan baik-baik saja. Semua akan indah pada waktunya, dan kebohongan akan ditenggelamkan.
***
• • • TBC • • •
KAMU SEDANG MEMBACA
Celine (End)
Fiksi RemajaDunia semakin tua dan fana, merusak pemikiran suci manusia. Menenggelamkan asa, terlepas dari genggaman jiwa. Luka yang didapatkan, mengubah alur kehidupan. Cinta yang didapatkan, hanya menyisakan kenangan yang menyakitkan. Topeng palsu menghiasi se...