“Tidak ada yang perlu ditangisi, karena semua orang yang datang pasti akan pergi. Tidak tau kapan itu akan terjadi, manusia cukup sadar untuk memperbaiki diri.”
~ Theo Skouigky
***
Tidak ada suara yang terdengar, hanya keheningan yang menyelimuti dua orang yang tengah terdiam.
Celine masih tidak sadarkan diri, ia kehilangan banyak darah. Theo sudah membersihkan dan mengobati luka Celine dengan baik, ia hanya menunggu kesadaran Celine dan melihatnya baik-baik saja.
“Bagaimana bisa kau terluka seperti ini?” tanya Theo kepada Celine yang jelas-jelas tidak bisa menjawab pertanyaannya.
Helaan napas terdengar begitu berat, tangan Theo tergerak untuk menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Celine. Ia menatap wajah perempuan yang tengah terluka luar dan dalam itu cukup lama, menghafalkan setiap inci wajahnya.
“Kau hebat, memikul beban luka yang cukup banyak. Mulai saat ini, aku akan selalu hadir di sampingmu,” ucap Theo dengan yakin.
Sentuhan tangan Theo di wajahnya, membuat Celine menggeliat dan membuka matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah warna putih dari langit-langit kamarnya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk pada retinanya.
“Argh ....” Celine mengerang kesakitan dengan memengangi tangan kanannya yang sudah terbaluti perban.
“Jangan bergerak terlebih dahulu, lukamu masih basah,” titah Theo dengan lembut.
Celine baru menyadari kehadiran Theo di sampingnya. Menatap laki-laki di hadapannya lekat, begitu juga sebaliknya. Ia mendapatkan ketenangan dari sorot mata Theo yang terasa begitu menghangatkan.
“Hatiku menolak kenyataan yang kau ucapkan,” ceplos Celine. Ia tersenyum miring, mulutnya kembali terbuka dan berkata, “Entah aku yang tidak bisa menerima kenyataan atau kau yang membuat sebuah kebohongan.”
Ekspresi Theo sedikit menampakkan keterkejutan, tetapi ia dengan lihai menyembunyikannya dengan senyuman tipis. “Bagaimana aku meyakinkanmu kembali? Kau sudah melihat kartu identitasku, bukan? Kau membutuhkan bukti apa lagi?” tanyanya.
“Ada bukti yang tidak bisa dilihat dengan mata, hatiku mengatakan bahwa kau itu kakakku, Edwin! Bukan Theo!” balas Celine.
Theo tidak tahu lagi bagaimana menanggapi perempuan di hadapannya. Ia mengembuskan napasnya pelan, pikirannya berusaha mencari celah untuk menyelesaikan masalahnya.
“Dengar, Celine. Pertama, aku tidak bermaksud untuk menghancurkan harapanmu. Tetapi aku tegaskan sekali lagi, aku Theo Skoiugky, bukan Edwin Connor. Kedua, aku tau kau sedang terluka. Jadi, aku akan membantumu menyembuhkan–”
“Jadi kau mendekatiku hanya karena kasihan?” sela Celine. Pandangannya mulai mengabur karena air mata yang telah terkumpul di kedua matanya.
“Berawal dari rasa kasihan, bisa berubah menjadi rasa sayang. Tenanag, rasa itu tidak akan merugikanmu atau pun diriku sendiri,” jawab Theo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Celine (End)
Teen FictionDunia semakin tua dan fana, merusak pemikiran suci manusia. Menenggelamkan asa, terlepas dari genggaman jiwa. Luka yang didapatkan, mengubah alur kehidupan. Cinta yang didapatkan, hanya menyisakan kenangan yang menyakitkan. Topeng palsu menghiasi se...