Chapter 10

839 66 5
                                    




Akhirnya Jimin keluar juga dari kafe Seokjin. Tentu saja sampai Taehyung tenang dan tidak menangis lagi, walau sedikit kesulitan untuk menenangkannya Jimin senang bisa membantunya sedikit dalam membujuk. Dan Taehyung menceritakan sedikit kisahnya yang tidak jauh dari kesedihan, akan tetapi sebelum Taehyung melanjutkan lagi ada seseorang yang menjemputnya untuk pulang karena dia kenalan Seokjin.

Taehyung sedikit tidak suka karena orang yang seusia Seokjin datang tidak tepat, Jimin pun hanya bisa tersenyum dan memberi hormat pada orang itu. Terpaksalah Taehyung pulang dengan perasaan tidak enak pada Jimin, tapi Taehyung harus pulang kalau tidak sang kakak akan marah padanya.

Dan Jimin ia pulang dengan jalan kaki, tanpa dijemput oleh siapapun. Hanya sendirian.

Butir putih turun dari atas langit dan turun ke hidung kecil Jimin, mata Jimin seketika membola menyentuh butir putih yang sudah menjadi air. Jimin menghapus dengan tangannya, lalu ia mendongak menatap kelamnya malam butir-butir putih itu semakin banyak turun ke bumi. Tangan Jimin ia angkat dan mendapatkan butir putih yang lumayan besar, jatuh di telapak tangannya.

"Dingin, hihihihi." Jimin tertawa kecil merasakan betapa dinginnya salju itu, ia menyembunyikan tangannya memasukkan tangannya pada kantong coat-nya.

Jimin kembali berjalan dengan santai tanpa beban. Kadang Jimin ingin seperti ini, hidup tanpa beban yang harus dirinya tanggung. Akan tetapi memang itulah hidup berjalan, hidup harus menanggung semua resiko dan juga beban dunia yang kadang di luar kemampuan. Jimin membuang napasnya dan asap mengepul saat dirinya bernapas, ia tidak perlu jauh memikirkan hal itu yang saat ini yang Jimin tahu adalah.

Hidup butuh makan dan juga bernapas.

Jimin tidak ingin memikirkan hal-hal yang berat. Dia ingin menjadi bocah normal yang hanya tahu, bahwa pelangi itu muncul karena bidadari turun sebab ingin mandi. Bukan memikirkan, tentang fosil-fosil tubuh hewan purba terdahulu di temukan di mana? Bagi bocah normal itu tidak ada yang terbesit di pikiran mereka. Akan tetapi Jimin pernah, dan ia tidak tahu mengapa itu bisa ada di dalam otaknya?

Rumah yang tidak terlalu besar dan juga mewah sudah terlihat di mata Jimin, karena pencahayaan bulan yang meneranginya. Begitu terpantul saat warna rumahnya di beri cahaya oleh bulan, sesuatu seperti melihat surga di bumi karena rumahnya begitu bercahaya. Jimin tersenyum kecil dan terkekeh sedih untuknya, di luar nampak indah saat kaki menginjak rumah hawa itu akan berbeda.

"Tidak baik kalau dipikirkan. Aku ingin aku lupa ingatan," tutur Jimin yang tanpa dia sadari.

Gerbang besi berwarna hitam Jimin dorong begitu pelan, ada suara deritan yang membuatnya harus melihat pintu utama. Bisa saja orang tuanya keluar dan langsung menyeretnya masuk, lalu di lempar pada kamar mandi dan diguyur oleh air. Jimin pun menghela napas lega saat tidak ada tanda-tanda, yang sudah ia takutkan. Jimin pun kembali berjalan untuk segera masuk dan ia tidak tahu harus memberikan alasan apa, saat keluarganya bertanya.

Jimin baru memikirkan hal itu saat sudah berada di halaman rumah, saat berjalan menuju pulang pikirannya entah ke mana dan saat ini ia benar-benar tidak tahu.

"Jimin?" Suara itu Jimin kenal, sangat kenal. Dan suara itu pemanggil namanya?

Jimin tidak tahu ini sudah pukul berapa, Jimin sama sekali tidak pernah mengunakan jam tangan atau digital yang menghiasi tangannya. Jimin hanya bisa memejamkan matanya membayangkan semuanya, Jimin sudah mempersiapkan diri untuk hal yang tidak Jimin duga.

Sebelum mendapatkan amarah dari sang pemanggil, Jimin berputar arah menghadap pada seorang itu. Jimin terkejut dengan apa yang ia lihat, kakaknya berdiri mematung di hadapannya wajahnya tidak berubah. Datar dan juga dingin. Hawanya tidak pernah bersahabat itu yang Jimin rasakan.

Don't Go (Yoonmin story) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang