Prolog

11.6K 425 19
                                    

Aku mendengar suara langkah kaki dari balik pintu. Kurasa ada orang yang akan datang. Tak butuh waktu lama hingga kunyatakan dugaanku benar. Pintu kayu di sudut ruangan mulai terbuka.

Aku melihat sosoknya melangkah masuk ke ruangan ini. Aku ingat betul, dia adalah Dion. Tubuhnya tak begitu tinggi, hanya tiga per empat dari tinggi pintu yang baru saja ia lewati. Rambut pendeknya berantakan menutupi kulit dahinya yang berwarna senada dengan kulit wajah dan lengannya. Cokelat cerah.

Matanya berkaca-kaca. Ia menghampiriku yang terus terdiam tanpa menghadapkan wajahku padanya. Aku melihatnya duduk dan aku terus saja tak berkata-kata. Aku hanya terdiam.

“Bi,” ucapnya dengan suara agak bergetar.

“Bianca,” ia kembali menyebut namaku. Aku tak menjawab sapaannya.

“Bianca, tolong maafin aku,” ia kembali berkata lirih. “Aku benar-benar minta maaf,” tambahnya.

Ia terus menatapku lekat. Melihatnya menatapku seperti itu membuatku ingin melompat dan langsung mendekapnya erat.

“Kamu gak bisa maafin aku ya?” ia kembali bertanya tanpa aku menanggapi satu pun kata-katanya yang sedari tadi terucap.

Aku tidak marah kepadanya. Aku tidak mungkin bisa marah padanya. Aku menyayanginya. Aku benar-benar menyayanginya. Ia memang bukan pribadi yang sempurna. Ia sering membuatku jengkel, tapi tak jarang ia membuatku tersenyum bahkan tertawa lepas karena kelakuan kekanakannya.

Jika dipikir-pikir, sebenarnya aku pun bukan orang yang memiliki emosi stabil. Mood-ku mudah berubah-ubah. Dia selalu bisa menghadapi segala ledakan emosiku. Ia selalu sabar menghadapiku.

“Oke, Bi,” ucapnya sambil melepas napas dalam. “Kamu selalu tahu cara ngehukum aku.”

Silent Treatment selalu berhasil ngebuat aku kacau, kamu sukses Bi, aku kacau sekarang, aku nyerah,” kali ini satu bulir mengalir di pipinya. Aku ingin sekali mengusap dan menghapus jejak basah air mata di pipinya, tapi aku tak juga melakukannya.

Kali ini ia berdiri. Ia menghampiriku lebih dekat dan menggenggam tanganku erat. Lalu ia melekatkan pipinya di punggung tangan yang ia genggam.

Ia terpejam. Aku bisa merasakan pipinya yang lembab. Itu adalah bekas dari air mata yang tadi meleleh. Ingin sekali kugerakan lenganku yang satunya untuk mengusap rambutnya.

Ini semua bukan salahnya. Wajar jika ia sekacau ini saat aku terdiam seperti sekarang. Selama enam tahun kami berhubungan, aku tak pernah sediam ini padanya. Oke,ini sudah keterlaluan.

Sekuat tenaga ku hadapkan wajahku padanya, tapi tak bisa. Ku gerakkan jemariku, tak bisa. Aku berusaha sekedar mengeja namanya, tapi tak bisa juga. Tuhan, ini terlalu menyiksa. Bukan hanya menyiksanya, tapi aku juga sangat tersiksa.

Aku bisa saja kuat, tapi memori itu terus menari-nari di kepalaku. Aku tak tahan lagi.

 ***

“Memory of the past always weakens our hate, whatever happens to us, nowadays.”

A Lesson For UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang