Bagian #13/24 - Kata-kata Tabu

2.4K 196 8
                                    

Dion

"Hei," aku mendengar suara itu samar-samar. Suara Bianca yang beradu dengan suara musik dari earphone yang terpasang di telingaku.

Aku menatap Bianca sejenak tapi tak berkata apapun. Aku hanya tersenyum. Aku mengeluarkan secarik kertas dan menulis di atasnya.

Jangan ganggu, aku lagi denger musik favoritku.

Bianca duduk di sampingku setelah membaca pesan singkat dariku. Ia tampak menulis sesuatu juga.

Gak bisa banget diganggu ya? Aku ingin cerita.

Setelah aku membaca pesan balasan darinya, aku langsung melepaskan earphone yang terpasang di telingaku dan langsung menatapnya. "Aku harap ini penting, kalau gak, kamu hutang semangkuk mie ayam buat makan siang nanti," ucapku sambil tersenyum.

"Nyebelin kamu Dion, temen sendiri ingin cerita aja pasang harga segala," ucapnya kesal.

Aku tergelak, "Gitu aja marah, aku bercanda Bi."

"Mau cerita apa?"

"Gak jadi," jawab Bianca singkat. Ia tampak mengerucutkan bibirnya.

Aku menyentuh pipinya dengan ujung jari telunjukku. "Cie, ngambek," ucapku lalu kembali tertawa.

Bianca menepis tanganku yang sejak tadi menyentuh-nyentuh pipinya.

"Udah ah, nyesel aku datengin kamu," Bianca berkata sambil tetap cemberut.

Aku berhenti tertawa. Kali ini aku hanya tersenyum tipis. Aku memegang kepala Bianca dan mulai mengacak-acak rambutnya.

"Jangan marah gitu, aku bercanda Bi."

Bianca kembali menepis tanganku. Ia masih terdiam. Aku masih melihat wajah kesalnya terpasang. Aku hanya tersenyum dan kembali memasang earphone di telingaku.

Bianca semakin menatapku kesal. Ia mendaratkan tinju kerasnya di bahu kiriku. "Seriusan lah Dion, kamu nyebelin."

Sambil kembali melepas earphone, aku berkata, "Ya kamu mau cerita aja susah." Aku tersenyum geli.

"Gak tahu ah, bener-bener ngeselin kamu tuh Yon."

Kali ini aku menahan tawaku. Aku takut ia benar-benar marah. "Ayo cerita," ucapku lembut sambil meraih tangannya dan menggenggamnya erat.

Sesaat, Bianca menoleh ke arahku. Masih dengan wajah kesalnya ia mulai berbicara ketus, "Aku udah mutusin mau lanjutin kuliah di teknik mesin."

Aku mengangkat sebelah alisku, "Terus?"

"Ayah aku gak setuju, katanya aku gak cocok kuliah di situ," ucapnya sedikit kecewa.

Aku diam sejenak. Mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menanggapi ucapan Bianca.

"Mau tahu pendapat aku?"

Bianca menoleh ke arahku dan mengangguk perlahan.

"Aku kurang setuju sama ayah kamu yang bilang kamu gak cocok kuliah di teknik mesin. Kelakuan sama tampilan kamu tuh udah cocok banget jadi cewek bengkel," ucapku sambil terkekeh.

Bianca mengerutkan dahi. Ia mencubit lengan kiriku tanpa belas kasihan. Akan tetapi aku masih tetap terbahak.

"Aku udah serius tahu, buat dengerin kamu," ucap Bianca protes.

"Maaf, maaf," aku berhenti tertawa. "Ya udah, kamu jelasin aja ke ayah kamu, kenapa kamu ingin kuliah di teknik mesin?"

"Nah itu Yon, aku gak tahu harus jelasin apa?"

"Lah, emangnya kenapa kamu ingin banget kuliah di teknik mesin?" aku bertanya heran.

Bianca tampak berpikir sejenak. "Entahlah," ucapnya ringan. "Aku cuma tertarik aja."

"Ya jelas lah ayah kamu gak akan setuju. Pikiran kamu masih belum jelas gitu," ucapku.

Bianca menghela napas dalam. Ia tampak begitu kecewa. Sepertinya dia benar-benar terobsesi untuk kuliah di teknik mesin, walaupun tidak jelas juga apa tujuannya.

"Ya udahlah," Bianca menatap langit dengan wajah sedikit pasrah.

"Eh kamu sendiri mau lanjut kuliah kemana?" Bianca menoleh ke arahku.

Aku kembali berpikir. "Jurusan Matematika, mungkin," jawabku datar.

"Serius?" Bianca tampak terkejut. "Gak mungkin, muka kamu bukan muka tipe pemikir, kamu gak cocok banget Yon kuliah di Matematika," Bianca tertawa lepas. Aku membiarkannya menertawaiku seperti itu.

Setelah tawanya reda, ia kembali berkata, "Eh ngomong-ngomong, selamat ya akhirnya jadian juga kalian."

"Jadian dari hongkong," ucapku sinis. "Aku sama Anna gak jadian," tambahku.

Bola mata Bianca terbelalak. "Terus waktu malem itu?"

"Malem apa? Aku cuma nemenin Anna, dia gak nyaman sama suasana pesta Erlang," jawabku datar.

"Serius?" Bianca masih tampak tidak percaya. "Tapi waktu malem itu aku lihat kamu gandengan sama dia kok."

"Terus kenapa? Emang kalau mau gandengan harus jadian dulu? Aku gandeng dia soalnya aku ngerasa selalu berhasil bikin Anna tenang pas dia lagi kacau dengan cukup ngegenggam tangannya. Lagi pula kita juga pernah gandengan kan?"

"Mana ada, kita gak pernah gandengan. Lagi pula buat apa juga," Bianca mengalihkan pandangannya sambil tersenyum simpul.

Aku menatapnya sejenak. "Ya udah, lain kali kalau ingin digandeng ngomong aja ya Bi," aku tersenyum kecil.

Lagi-lagi, satu tinju kecil dari Bianca mendarat di bahu kiriku. Entah kenapa, aku sudah mulai terbiasa dengan tinju ataupun cubitan khas Bianca.

"Oh iya, aku boleh jujur?" aku memulai kembali perbincangan setelah kami saling diam untuk sesaat.

Bianca menoleh ke arahku dan menatapku heran. Ia lalu mengangguk kecil.

"Sebenarnya aku itu..." tiba-tiba saja ada keraguan untuk berbicara dengan Bianca. Bianca masih menatapku heran.

"Kamu kenapa?" tanyanya setelah kalimatku cukup lama terhenti.

"Enggak, gak apa-apa," ucapku sambil tersenyum miris. Entah kenapa, bicara dengan Bianca mendadak menjadi begitu berat.

"Dion," suara Bianca melengking. Ia tampak kesal. "Aku paling gak suka sama cowok yang ngomongnya setengah-setengah," tambahnya.

"Gini Bi, sebenernya aku..." ucapku ragu. "Aku juga gak begitu setuju kamu kuliah di teknik mesin," tambahku dengan mantap.

"Kenapa?" Bianca kembali menatapku heran.

"Soalnya di teknik mesin itu mayoritas cowok."

"Terus?"

Kami terdiam sejenak. "Nanti kamu tambah kecentilan kalau kuliah di sarang penyamun kaya gitu," aku tersenyum geli.

Bianca kembali mengerucutkan bibirnya dan mengerutkan dahinya. Ia bersiap untuk mencubit lengan kiriku lagi. Aku segera bergeser dan menarik lengan kiriku jauh-jauh darinya. Lalu aku menyodorkan bahu kananku padanya.

"Kalau mau cubit di sini aja. Tangan kiri aku udah mati rasa kamu siksa terus," ucapku.

Kali ini Bianca lah yang tersenyum geli. Ia mencubit sekuat tenaga tanpa mempedulikan wajahku yang meringis kesakitan.

Kami tertawa bersama.

***

"Sometimes, love word is too taboo to talk about"

***

A Lesson For UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang