Bagian #3/24 - Pasangan Aneh

3.9K 288 5
                                    

Bianca

"Bi," Dion memanggilku setengah berteriak. Aku menoleh kearahnya yang sedang sibuk membaca novel.

"Kamu gak takut?" tanya Dion.

"Takut?" aku dibuat bingung oleh pertanyaannya.

"Dari tadi kamu ngikutin aku terus, gak takut dilihat pacar aku? Dia galak loh," ucapnya.

"Pacar?" aku tak tahan untuk tidak tertawa. Tawaku meledak begitu saja.

"Kamu emang pembohong yang luar biasa," ucapku sinis.

Dion menutup buku yang ia pegang dan menatapku dengan dibumbui senyum yang tak kalah sinis.

"Ya sudah," ucapnya ringan. "Jangan salahin aku kalau nanti ada yang ngamuk-ngamuk ke kamu ya," tambahnya.

Aku tak menganggapnya serius. Aku yakin ia pasti berbohong juga soal pacar yang terus ia sebut-sebut.

***

Sepulang sekolah, aku mencoba terus mengikuti langkah Dion. Aku penasaran dengan laki-laki unik yang satu ini. Aku tahu, dia sadar bahwa aku mengikutinya. Melihat wajahnya yang berlagak dingin dan tak acuh itu sungguh menghibur.

Di gerbang sekolah, ia berdiri. Ia seakan menunggu seseorang.

"Nunggu siapa?" tanyaku.

"Pacarku," jawabnya datar.

Aku tak menanggapinya. Aku hanya terdiam dan memasang wajah percaya.

"Saranku sih lebih baik kamu jangan ada di sini kalau gak mau kena amukan pacarku."

Aku hanya mengangguk tapi tak bergerak meninggalkannya. Dipikir-pikir aku sudah menjadi seperti seorang penguntit untuknya. Aku juga heran mengapa aku seperti ini. Mungkin ada baiknya aku mendengarkannya saat ini.

Tanpa bicara apapun aku langsung berbalik dan pergi menjauh darinya. Aku tidak benar-benar meninggalkannya. Aku bersembunyi di tempat dimana aku masih bisa melihat dan mendengar suaranya tapi ia tak bisa melihatku. Aku masih penasaran tentang kebenaran mengenai pacar yang terus ia sebut-sebut.

Tak lama setelah aku bersembunyi, aku memperhatikan gerak-gerik aneh dari Dion yang terus melihat ke segala arah. Ia tampak seperti memastikan bahwa aku telah pergi. Aku ingin tertawa melihatnya.

Sesaat setelah aku berhasil meredam rasa geli di dada, barulah aku melihat wajah Dion berubah lebih cerah. Ada senyum tipis di bibirnya. Tipis, tapi terlihat tulus.

Seorang perempuan berparas manis datang menghampirinya dan melambaikan tangan dari dekat. Mereka saling sapa dengan isyarat.

Dion sibuk mengacak-acak isi tasnya. Ia tampak seperti mencari sesuatu. Akan tetapi tak butuh waktu lama untuk tahu apa yang dia cari. Ia mengeluarkan novel yang sejak pagi tadi selalu ia bawa kemana-mana.

Dion memberikan novel itu pada perempuan manis di hadapannya. Perempuan itu tak menyembunyikan kebahagiaannya sedikitpun. Terlihat jelas dari wajahnya yang begitu ekspresif saat menerima buku itu.

Aku tak melihat ada percakapan sedikitpun diantara mereka. Pertemuan mereka itu begitu singkat. Bahkan setelah buku itu berpindah tangan, mereka langsung berpisah. Tak ada kata selamat tinggal. Hanya lambayan tangan.

Pasangan yang aneh. Apa benar dia pacar Dion?

***

Keesokan harinya, aku datang lebih pagi dari Dion. Aku duduk di samping tempat duduk Dion. Sejak kemarin bangku ini memang tak ada yang mengisi. Seolah tak ada yang mau duduk di samping Dion, seakan ada aura yang membuat orang-orang tidak duduk di situ.

Lain halnya denganku. Sejak hari pertama di kelas ini aku sudah berkenalan dengan hampir setengah penghuni kelas. Aku tak kesulitan mendapat teman baru.

Dion memasuki kelas sambil memegang tali tasnya. Ia menghentikan langkahnya sejenak saat melihatku duduk tepat di samping tempat duduknya. Ia tampak sedikit terkejut.

Aku melambaikan tangan. Alis mataku naik turun. Aku terkekeh saat melihat ekspresi terkejutnya.

Dion kembali meneruskan langkahnya dan duduk di tempat duduknya. Di sampingku.

"Kamu gak keberatan kan aku duduk di sini?" tanyaku padanya.

"Terserah kamu aja," jawabnya datar.

Sepanjang jam pelajaran, aku terus memperhatikannya. Ia tampak tak memiliki semangat belajar di sekolah ini. Sesekali aku melihatnya berusaha keras memperhatikan pelajaran, tapi lebih banyak berakhir dengan kening menempel di meja. Seperti biasa, ia tertidur hingga jam istirahat.

Di sekolah ini aku benar-benar sudah seperti penguntit. Rasa penasaranku pada anak laki-laki itu tak ada habisnya. Di jam istirahat seperti ini aku selalu diam di kelas bersamanya. Berminggu-minggu aku terus seperti ini. Hingga ada satu hari dimana ia keluar kelas di jam istirahat.

Aku mengikuti langkahnya. Tidak biasa, Dion berjalan menuju kantin di jam istirahat. Cukup aneh.

Dari kejauhan aku melihat perempuan itu. Perempuan yang dulu ditemui Dion di gerbang sekolah. Aku melihat Dion duduk di hadapan perempuan itu. Ia menyentuh tangan perempuan itu dengan ujung jarinya.

Ketika matanya saling bertemu, wajah perempuan itu berubah seketika. Wajahnya menjadi begitu bahagia.

Aku duduk di bangku yang cukup jauh dari tempat mereka duduk. Lagi-lagi aku melihat pemandangan aneh. Tak tampak ada obrolan apapun diantara mereka. Aku semakin penasaran. Apa benar mereka berpacaran?

Aku memberanikan diri untuk menghampiri mereka berdua.

"Hey, boleh aku gabung di sini?" tanyaku pada gadis yang sekarang sedang tertunduk membaca sebuah buku.

"Gak," Dion yang menjawab dengan datar. Perempuan itu seperti tak mendengarkanku berbicara.

"Aku gak tanya kamu Yon," ucapku sinis.

"Hey, boleh aku ikut duduk di sini?" aku kembali mencoba bertanya kembali. Aku mulai jengkel. Ia seperti sengaja tidak menggubris.

"Hey," nada suaraku semakin tinggi. Ia masih tak menjawab.

Aku menyentuh bahunya dengan ujung jariku. Barulah ia menoleh.

"Boleh aku duduk di sini?" aku kembali bertanya dengan memaksakan senyumku agar terlihat ramah.

Perempuan itu malah mengerutkan dahinya. Ia tampak seperti tidak mengerti kata-kataku. Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.

Dion tersenyum, lalu ia mengeluarkan pena dan secarik kertas. Ia menulis seuatu dan menyerahkannya pada perempuan itu.

Dia ingin duduk bareng kita. Begitulah tulisannya.

Setelah membaca tulisan tersebut, perempuan itu bergeser dan memberiku isyarat untuk duduk di sampingnya. Ia tersenyum manis padaku. Aku masih merasa ada yang aneh dengan perempuan itu.

Setelah aku duduk di sampingnya, perempuan itu merebut pena dari tangan Dion dan membalikkan secarik kertas yang dipegangnya. Ia menulis sesuatu dan menyerahkan kertas itu padaku.

Maaf aku gak denger kamu ngomong.

Aku membaca tulisan tersebut. Kali ini aku yang mengerutkan dahi.

Perempuan itu merebut kertas itu dari tanganku dan kembali menulis sesuatu.

Aku Anna.

Aku membaca kembali tulisannya. Sesaat setelah itu ia mengulurkan tangannya.

"Bianca," aku menjabat tangannya sambil mempertahankan senyumku dan mencoba melonggarkan kerutan di keningku.

"Dia gak bisa denger Bi," ucap Dion. Aku menoleh ke arah Dion.

"Dia tuna rungu."

***

"People who understand the reality will always be more receptive"

***

A Lesson For UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang