Dion
"Dia tuna rungu."
Aku melihat Bianca sedikit canggung. Ia tampak seperti tidak percaya saat aku mengatakan itu. Dia sedikit gelagapan. Akan tetapi tak butuh waktu lama hingga ia dapat berdamai dengan kecanggungannya.
Bianca dengan mudah dapat mengobrol dengan Anna lewat tulisan. Tak ada lagi kesan canggung. Semakin hari mereka semakin dekat. Bahkan sisa waktu tahun pertama di sekolah ini kami lebih sering menghabiskannya bertiga.
Suatu sore kami duduk bersama di tepi kolam, di taman tempat aku dan Bianca pertama kali bertemu. Anna begitu asik memainkan riak air. Ia bahkan tampak seakan tak peduli dengan keadaan sekitarnya. Aku memandanginnya sambil tersenyum. Senyum yang tanpa kusadari tampak begitu aneh di mata Bianca.
"Kamu beneran suka sama dia ya?"
Bianca sudah mengetahui satu lagi kebohonganku sejak lama. Aku tidak punya pacar seperti yang aku selalu sebut-sebut dulu. Aku bilang padanya aku berbohong seperti itu hanya agar dia tak suka padaku. Saat aku mengatakannya ia malah tertawa lepas. Tawanya selalu tampak seperti tawa merendahkanku. Dan aku suka dengan tawanya itu.
"Dion," suara Bianca memecah lamunanku. "Kamu suka sama Anna kan?"
Aku gelagapan. Aku hanya mencoba mengelak. Tapi semakin aku mengelak semakin lebar pula senyum mengejek itu.
"Jangan senyum-senyum gitu Bi, kamu kelihatan jauh lebih aneh kalau senyum kaya gitu," ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan.
Senyum itu seketika lenyap.
"Payah," ucapnya datar. "Ngaku aja susah," tambahnya.
Aku terdiam.
***
Keesokan harinya, di dalam kelas, aku menunggu kedatangan Bianca. Aku terus memperhatikan pintu kelas yang terbuka. Berharap kepala Bianca menyembul di situ. Akan tetapi saat ia datang aku malah melengos dan menatap keluar jendela.
Bianca sudah duduk di sampingku. Aku tak lagi menatap keluar jendela. Aku melihat Bianca mengeluarkan sebuah buku. Sebuah novel remaja. Tawaku hampir saja meledak.
Bianca sekilas melihat kearahku. Ia sadar bahwa aku sedang menahan tawa.
"Kamu kenapa?" tanyanya.
"Kamu gak lagi suka sama aku kan?" aku balik bertanya sambil sedikit cengengesan.
"Idih, mana ada," ucapnya singkat.
"Kok tiba-tiba banget kamu baca kaya gituan Bi?" kali ini aku yang bertanya.
"Ini novel tentang perempuan tuna rungu Yon, di sini bahkan digambarin ilustrasi gerak tangan untuk bahasa isyarat sederhana," ia mengatakan hal yang cukup membuatku terdiam.
"Aku ingin belajar sedikit bahasa isyarat supaya bisa lebih enak ngobrol sama Anna," tambahnya.
Aku tak lagi menggodanya. Aku kali ini sibuk mencuri pandang agar dapat mengintip sedikit isi buku itu. Sialnya tak butuh waktu lama untuk Bianca menyadari itu.
"Kalau ingin baca juga bilang aja Yon," Bianca menyerahkan buku itu padaku.
Aku menerimanya dengan sedikit ragu. Aku membuka halaman pertama. Isi buku itu tidak berbeda jauh dengan novel pada umumnya. Hanya saja pada buku ini, di setiap akhir bab-nya terdapat ilustrasi bahasa isyarat sederhana, seperti apa kabar, selamat tinggal, terima kasih, dan sebagainya.
"Kalau kamu bisa bahasa isyarat, kalimat pertama apa yang mau kamu bilang ke Anna?" Bianca bertanya padaku sambil mendekatkan wajahnya padaku.
Aku melihat wajahnya. Ia tampak konyol dengan raut penasarannya itu. Aku ingin sekali mencubit pipinya saat ini. Ia menggemaskan.
"Aku bakal bilang dia cantik, manis, lucu, dan lembut. Aku juga bakalan minta tolong sama dia buat ajarin kamu supaya bisa jadi kaya dia," ucapku sambil memutar bola mataku.
Bianca menjauhkan mukanya dan mengerucutkan bibirnya. "Jadi maksud kamu, aku gak cantik? Aku gak manis? Dan aku gak bisa lembut? Gitu?" ia berkata sambil mencubit lengan kananku dengan keras. Aku meringis kesakitan.
Bianca benar-benar tidak bisa disebut perempuan yang lembut.
"Gak usah aku jawab juga, kamu udah bisa pikir sendiri kan," ucapku sambil mengusap-usap bekas cubitan Bianca.
Bianca kembali mencubitku dibagian lain dari lengan kananku.Aku kembali meringis.
"Mau ngomong apa lagi?" Bianca bertanya dengan nada marah sambil mengepalkan tangannya.
"Aku bercanda Bi, kamu tuh gak bisa ya lembut dikit aja ke aku," kataku. Kali ini aku yang mencubit hidungnya tanpa tenaga. Tangan Bianca melepaskan cubitanku.
Aku kembali fokus pada buku yang tadi Bianca beri.
"Kamu belum jawab serius pertanyaanku," ucap Bianca.
Aku terus membaca dan membalik halaman demi halaman buku itu. Lalu aku berkata, "Aku ingin bilang aku suka sama... uhuk-uhuk," entah kenapa aku terbatuk-batuk sebelum kalimatku selesai. Aku salah mengambil napas sehingga aku tersedak.
Bianca terbahak. Ia sangat puas menertawakanku. Hingga kulihat matanya berair setelah tawanya reda.
"Udah aku duga, kamu beneran suka kan sama Anna," ucapnya sambil mengusap air mata bekas tawanya.
***
Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Aku berjalan menuju tempat sepedaku diparkirkan. Lagi-lagi aku melihat Bianca mengikutiku dari belakang.
"Gak bosen Bi, ngikutin aku terus?" tanyaku tanpa berbalik. Aku hanya menghentikan langkahku.
Bianca bergerak tepat ke sampingku. Lalu ia menatapku sambil menunjukkan cengiran lebarnya.
"Hari ini kita gak ada janji ketemuan sama Anna kan?"
Aku menggeleng perlahan.
"Oke, kalau gitu antar aku," ucapnya sambil menarik tanganku.
Bianca menarikku hingga ke tempat kuparkirkan sepedaku. Aku melepas rantai yang terikat di pagar sekolah. Aku menjinjingnya hingga keluar gerbang sekolah.
"Kita mau ke mana?" tanyaku sambil mengambil posisi siap mengayuh.
"Toko buku," Bianca duduk di jok belakang sepedaku.
"Ngapain?"
"Udah gak usah banyak tanya," jawabnya.
Aku mengayuh sepedaku perlahan. Meninggalkan sekolahku.
***
Bianca
Aku tak tega melihat Dion yang terus mengayuh sepedanya. Sudah lebih dari sepuluh menit kami diperjalanan. Dion sudah mulai terlihat berkeringat. Aku tak mencium aroma tak sedap. Aku hanya mencium aroma cokelat dari parfum yang Dion gunakan.
Lagi pula, Dion itu terlalu unik. Disaat anak-anak kelas satu saja sudah menggunakan sepeda motor ke sekolah, ia masih mengayuh sepeda ini. Padahal rumahnya tidak jauh dari rumahku, dan rumahku tidak dekat dengan sekolah kami.
"Aku berat ya?" aku bertanya basa-basi pada Dion.
"Kalau aku jawab jujur, kamu bakal cubit aku gak?" ia malah bertanya balik.
Alih-alih menanggapinya, aku malah mecubit pinggangnya tanpa ragu. Aku sudah tahu apa yang akan dia katakan.
Dion meringis. Cubitanku ternyata membuat ia tidak bisa mengendalikan sepedanya dengan benar. Hingga sepeda yang kami naiki oleng.
Sontak aku berteriak dan melepas cubitanku. Tanpa kusadari, aku malah melingkarkan tanganku di pinggangnya. Aku memeluknya erat hingga laju sepeda Dion kembali stabil.
Aku melepas pelukanku. Saat itulah aku baru sadar. Yang aku lakukan benar-benar memalukan. Aku yakin mukaku saat ini berwarna merah padam. Kami melanjutkan perjalanan dalam diam.
***
"The best gift that will be remembered is a sweet moment."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
A Lesson For Us
Teen FictionKata maaf kadang menjadi pelajaran untuk Bianca dan Dion. Pelajaran untuk lebih tahu apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan oleh keduanya. Hidup dua orang remaja memang tidak akan begitu kompleks. Akan tetapi waktu terus berjalan. Tak ada yang...