Bagian #15/24 - Ini Waktunya...

2.6K 183 4
                                    

Bianca

Dering tanda pulang sekolah sudah berbunyi. Aku merapikan sendiri barang-barang yang berserakan di atas mejaku. Biasanya Dion membantuku. Aku selalu lambat dalam merapikan barang-barangku. Akan tetapi Dion tidak masuk sekolah hari ini. Apa yang terjadi dengannya? Apa dia sakit?

Ponselku bergetar. Pesan dari Dion.

From: Dion

Bi, masih beres-beres? Haha

Aku segera membalas pesannya.

To: Dion

Kok tahu? Haha. Kenapa kamu gak masuk?

Tak lama, Dion kembali mengirimkan pesan padaku.

From: Dion

Aku lagi gak enak badan

Oh tidak, ternyata tebakanku benar.

To: Dion

Sakit apa?

Dion tidak membalas pesanku. Setelah aku selesai berurusan dengan barang-barangku, aku bersiap untuk beranjak pulang. Aku melangkah dengan malas. Aku harus naik angkutan umum.

Langkahku terhenti saat mataku menangkap seringai di depan pintu kelasku. Anna berdiri dengan senyum manisnya yang lebar.

Awalnya aku mengira ia sedang mencari Dion. Sampai ia membawakan tasku dan menarikku meninggalkan koridor depan kelasku.

Jarang-jarang Anna mengajakku jalan tanpa janjian terlebih dahulu. Biasanya ia sulit diajak jalan tapi kini malah sebaliknya. Ia yang dengan semangat mengajakku menikmati beberapa scoop es krim di kedai favorit kami ice sweet ice.

Kenapa tiba-tiba ngajak main?

Aku bertanya padanya. Seperti biasa, lewat tulisan.

Gak apa-apa, aku cuma ingin main bareng sahabat aku. Kalau ada Dion, aku kan gak pernah punya kesempatan buat main sama kamu.

Aku tidak menanggapi pesan Anna. Aku kembali fokus pada es krim yang masih belum aku habiskan. Setelah suapan terakhir. Anna kembali memberikan secarik kertas.

Bi, udah ini aku ingin main ke rumah kamu ya?

Aku menatap tulisan Anna heran. Tidak biasanya ia berkunjung ke rumahku. Biasanya walaupun aku undang, ia sering menolak. Ia mengiyakan undanganku hanya jika akan ada ujian. Ia hanya berkunjung ke rumahku untuk belajar bersama. Alasannya sederhana. Rumahku terlalu jauh dari rumahnya.

Masuk akal, rumahku dan rumah Anna memang tidak dekat. Tidak kurang dari satu jam jika aku ingin pergi ke rumah Anna atau sebaliknya.

Aku menatap wajah Anna yang masih saja menunjukkan senyum khasnya. Aku membalas senyumnya dan mengangguk mantap.

Setelah kami beranjak dari kedai es krim, kami bergerak menuju rumahku. Kami menunggu taksi di tepi jalan. Aku memperhatikan sekitar tapi tak ada satupun taksi yang lewat di depan kami. Alih-alih membantuku untuk mencari dan memberhentikan taksi, Anna justru sibuk dengan ponselnya.

Anna tampak sibuk membalas pesan-pesan yang masuk ke ponselnya. Aku rasa pesan-pesan itu berasal dari anak-anak sekolahku yang mengidolakan Anna. Wajar saja gadis manis seperti Anna ini punya banyak penggemar.

Aku ingat saat kami masih kelas dua, walaupun kami berada di kelas berbeda, tapi tak sedikit anak laki-laki, mulai dari adik kelas sampai kakak kelas yang meminta nomor handphone Anna padaku. Tentu aku tidak pernah mau memberinya semudah itu. Bukan karena aku pelit atau iri pada Anna yang memiliki banyak penggemar, tapi aku hanya ingin melindungi sahabatku dari orang-orang usil di sekolah ini.

A Lesson For UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang