Epilog

4.6K 246 116
                                    

"Bi."

"Bianca."

"Bianca, tolong maafin aku."

"Kamu gak bisa maafin aku ya?"

"Oke Bi, Silent Treatment selalu berhasil ngebuat aku kacau, kamu sukses Bi, aku kacau sekarang, aku nyerah."

Dion melekatkan pipinya di punggung telapak tanganku. Lembap. Bekas air matanya yang meleleh. Ingin kugerakkan tanganku dan mengusap rambutnya seperti yang biasa ia lakukan. Tapi aku tak bisa.

Tubuhku terasa begitu berat. Aku hanya bisa mendengar isakannya.

***

Kedua mataku terbuka. Bahkan di dalam mimpi pun aku tak bisa meraihnya.

Aku menatap wajah Dion yang tertidur pulas. "Kenapa kamu minta maaf Yon?" aku berbicara sendiri. Mempertanyakan mimpi yang baru saja kualami.

Akhir-akhir ini mimpi itu selalu datang. Aku tidak tahu kenapa. Ia selalu meminta maaf dalam mimpiku. Jika ada yang seharusnya merasa bersalah, itu adalah aku.

***

Saat itu sekujur tubuhku gemetar. Televisi menyiarkan bahwa kereta yang hampir saja aku naiki mengalami kecelakaan.

Aku bergegas mencari ponselku. Kudapati ada panggilan tak terjawab dari Dion. Aku segera menelepon balik, tapi tak ada jawaban. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengirim pesan singkat.

To: Dion

Aku terlambat bangun, aku gak apa-apa. Kamu jangan khawatir.

Entah kenapa tubuhku gemetar cukup hebat. Bulu kudukku berdiri. Aku membayangkan jika seandainya aku tidak terlambat bangun. Mungkin aku sudah menjadi salah satu korban dari kecelakaan itu.

Tak lama, ada panggilan masuk ke ponselku. Nomor Dion. Aku segera menjawab panggilan itu dan yang aku dengar bukan suara Dion. Suara isakkan seorang perempuan yang kukenali. Ini suara ibu Dion. Tubuhku semakin membeku. Tulang punggungku seolah meleleh hingga aku terduduk tak berdaya.

Saat itu lah aku mendapat kabar bahwa Dion mengalami kecelakaan saat mencoba menyusulku ke stasiun.

Baru kali ini aku merasa begitu bersalah. Ditambah lagi Dion yang selalu hadir meminta maaf dalam mimpiku.

***

Kata dokter, Dion mengalami koma. Tapi bagiku, Dion hanya tertidur pulas. Ia menunggu waktu untuk terbangun. Kalau tidak pagi ini mungkin besok pagi. Kalau tidak besok pagi mungkin besoknya lagi.

Aku akan sebisa mungkin terus menemaninya, agar saat ia terbangun, ia akan melihatku tersenyum padanya. Aku ingin menyapanya lagi.

"Hei tukang tidur."

***

"A remembrance should not be a regret, it should be a lesson for us."

***

Sequel: https://www.wattpad.com/story/78748981-another-lesson-for-us

A Lesson For UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang