Bagian #17/24 - Breakthrough

2.7K 186 19
                                    

Bianca

Aku berjalan menyusuri koridor sekolah yang sepi seperti biasanya, di pukul setengah enam pagi. Aku melangkahkan kaki sambil tersenyum sendiri. Aku tidak takut dibilang stress karena aku yakin tidak akan ada yang melihat apalagi memperhatikanku di waktu seperti ini. Bahkan jika aku teriak-teriak sendiri pun tidak akan ada yang mengetahuinya.

Dari kejauhan aku dapat melihat pintu kelasku yang terletak di lantai dua gedung sekolah. Ada seseorang yang sedang menyandarkan dirinya di pagar pembatas depan kelas. Aku menyipitkan mata dan menebak-nebak siapa itu. Sepertinya aku tahu siapa dia.

"Dion."

Dion melihat ke arahku sambil tetap menyandarkan punggungnya saat kupanggil namanya.

"Udah sembuh?"

"Udah," jawabnya singkat sambil tersenyum.

"Sakit apa?" aku kembali bertanya dengan nada curiga. Dion tampak memutar kedua bola matanya. "Kalau sakit harusnya kamu ke dokter Yon, bukannya malah ke rumahku," tambahku sambil tersenyum geli.

Dion tampak tercekat mendengar kalimatku. "Maksudnya?" ia tampak bingung. Ya, dia pasti terkejut karena aku tahu semuanya. Aku terbahak.

"Mama cerita, katanya kamu dateng ke rumah dan ngebantuin Erlang buat ngomong sama mama dan papa," kataku. Aku masih belum bisa meredakan tawaku.

Dion tampak semakin terkejut. Ia lalu memalingkan wajahnya. Ia pasti merasa malu.

Aku berjalan mendekatinya dan berdiri tepat di sampingnya. Aku menatap taman di bawah yang masih sepi.

"Kalau kamu bisa bantu Erlang sampai segitunya, harusnya kamu juga bisa lakuin itu Yon," ucapku perlahan.

"Maksudnya?" ucap Dion sambil melihat kembali ke arahku.

"Anna," jawabku singkat. "Saharusnya kamu udah bisa dapetin Anna dari kapan hari, kamunya aja yang kurang berani."

"Jujur ya, kalau aku sih bener-bener kesentuh sama sikap Erlang kemarin. Aku yakin kalau kamu lakuin itu ke Anna bukan ngebantu Erlang ngelakuin itu ke aku, Anna pasti luluh seluluh-luluhnya sama kamu Yon," tambahku.

Dion tampak termenung. "Mungkin aku udah gak suka sama Anna, Bi," ia menanggapiku dengan ringan.

Aku sedikit terusik saat mendengar pernyataan itu. Aku menghadapkan tubuhku pada Dion dan berkata, "Aku gak salah denger?"

Dion tersenyum simpul dan berkata, "Udah gak usah dibahas."

Aku menarik napas dalam dan melepaskannya. Kali ini aku menyandarkan tubuhku di pagar pembatas. Kami saling diam untuk sejenak.

"Jadi kamu sama Erlang gimana?" Dion memecah kebisuan.

"Gak gimana-gimana," jawabku ringan.

"Udah jadian?" ia kembali bertanya.

Aku menggeleng perlahan.

Yang dilakukan Erlang kemarin betul-betul manis. Aku tak menyangka ia sampai bisa berbuat seperti itu. Aku tahu ia menyukaiku sejak lama, tapi kemarin adalah satu pembuktian yang cukup berhasil meyakinkanku.

Erlang berhasil membuat lidahku kelu. Saking kelunya, aku tak bisa memberi jawaban. Aku hanya diam setelah ia menyatakan perasaannya. Meskipun begitu, Erlang tampak tidak kecewa.

"Erlang ngasih ini," jawabku sambil mengangkat sebuah gantungan kunci berbentuk lumba-lumba. Erlang bilang benda ini sangat berharga untuknya. Ia memintaku untuk mengembalikannya saat aku sudah punya jawaban. Hari ini juga aku sudah tahu jawabannya.

A Lesson For UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang