Bianca
Pagi itu, aku duduk di depan pintu rumahku untuk mengencangkan tali sepatuku. Hari ini adalah hari terakhir libur sekolah. Besok adalah hari pertama aku duduk di bangku SMA.
Jarang-jarang aku pergi keluar rumah sepagi ini di hari libur. Apalagi hanya untuk lari pagi. Entah apa yang merasukiku, semuanya terjadi begitu saja. Aku tiba-tiba semangat untuk menjalankan program hidup sehat dengan mencoba rutin berlari pagi. Dimulai dari hari ini. Bukan untuk menurunkan berat badan tentunya. Hanya untuk memperbaiki fisikku yang lemah.
Bianca Putri Bermawi, aku tidak terobsesi satu program diet apapun. Aku tak punya lemak berlebih untuk kubakar. Berat badanku saja tak sampai empat puluh delapan kilo. Aku merasa sudah cukup ideal dengan berat badan seperti itu untuk tubuhku yang mungkin tak sampai seratus lima puluh lima centimeter.
Kalau dibilang ingin mencokelatkan kulit, mungkin ya. Itu pun jika matahari pukul setengah tujuh pagi tega memanggangku. Nyatanya, mentari pagi ini sangat ramah, aku yakin kulitku akan tetap creah seperti kata orang-orang.
Lupakan semua motivasi semuku untuk memulai lari pagi secara rutin. Jika keinginanku yang tiba-tiba datang itu baik untukku, aku hanya akan melakukannya saja.
Satu per empat jam sudah aku berlari kecil. Menyusuri trotoar jalan utama di depan komplek. Melewati gang kecil yang cukup ramai oleh pedagang dan ibu-ibu yang sedang tawar-menawar untuk harga sayur. Dan kini menjejaki jalan setapak di taman yang tidak terlalu besar.
Tempat ini cukup rindang oleh pepohonan. Ada jalan setapak yang mengitari kolam yang terletak di tengah-tengah taman. Aku memperlambat tempo lariku. Aku sangat menyukai aroma rumput di taman ini. Aku mencoba menikmatinya. Hingga seseorang berlari di sampingku, menyamai langkahku, memecah diamku.
"Hey," ucap seorang lelaki yang ikut berlari di sampingku.
"Tali sepatumu lepas."
Aku memperlambat langkahku dan menatap langsung ke arah sepatuku. Benar, tali sepatuku tidak terikat.
Aku berhenti sejenak dan membungkuk untuk mengikat tali sepatuku. Laki-laki yang berlari di sampingku itu berlalu mendahuluiku. Aku bahkan belum sempat mengucap terima kasih.
Bruuukk...
Belum selesai aku mengikat tali sepatuku, aku mendengar suara seseorang membanting tubuhnya ke tanah. Aku melihat ke depan. Lelaki itu sudah tersungkur di tanah. Sejenak, aku memperhatikan lelaki yang baru saja terjatuh itu. Tali sepatunya tidak terikat. Aku heran, dia yang memperingatkanku mengenai tali sepati, tapi justru ia sendiri yang terjatuh karena tali sepatunya tidak terikat.
Aku terdiam sesaat dan langsung kuhampiri lelaki itu. Aku mengulurkan tangan, ingin tampak menawarkan bantuan untuknya. Ia tak menyambut uluran tanganku dan langsung berdiri sendiri. Ia tersenyum lebar. Aku tahu ia pasti malu.
Sebenarnya aku ingin tertawa selepas-lepasnya. Akan tetapi saat kulihat luka yang tertoreh di sikunya, aku tidak tega.
Dia sudah cukup baik dengan memperingatkanku. Mungkin jika ia tidak memperingatkanku tadi, akulah yang akan jatuh dan terluka seperti itu.
***
Kami duduk di bangku taman. Aku sempat pergi sebentar untuk membeli sebuah plester. Aku membantunya menuang air ke atas lukanya, hanya untuk membersihkan darah yang bercampur dengan tanah. Laki-laki itu tampak meringis seperti anak kecil.
"Sakit ya?" tanyaku ringan.
"Tentu saja," jawabnya tak kalah ringan.
Setelah kubersihkan lukanya, kutempelkan plester yang tadi kubeli.
"Nah, sekarang lebih baik kan?" ujarku.
Ia tersenyum.
Setelah kejadian itu kami saling diam di bangku taman. Hingga lelaki itu memulai obrolan.
"Kamu sering lari di sini?" tanya lelaki itu dengan mata yang tidak memandang ke arahku.
''Ini pertama kalinya," aku menjawabnya sambil menghirup udara yang masih saja terasa segar.
"Oh pantas saja, aku baru lihat kamu."
Aku mengangkat sebelah alisku. Ia sempat melirik wajahku untuk sesaat. Lalu ia kembali memandang ke arah lain.
"Bingung ya, kenapa aku bisa tahu?" ucapnya datar. "Tidak banyak anak seusia kamu yang mau ngehabisin waktu buat lari di tempat ini, kebanyakan lebih milih untuk jalan-jalan ke mall atau semacamnya kan?" tambahnya.
Seusiaku? Mungkin maksudnya seusia kita. Aku bergumam dalam hati. Ia bicara seolah ia lebih dewasa dariku.
"Kamu sok dewasa," ujarku sambil cekikikan. "Paling-paling kita seumuran kan? Jangan sok dewasa gitu," tambahku.
"Kamu tuh kelihatan kaya anak yang baru mau masuk SMA," ucapnya. Aku sedikit terkejut, ia bisa tahu bahwa besok adalah hari pertama aku bersekolah di SMA.
"Hebat juga, tebakan kamu tepat," aku melengkungkan senyum. "Baru masuk SMA juga?"
Ia tersenyum kecut dan berkata, "Aku sudah mau lulus, tinggal satu tahun lagi aku bisa ninggalin masa SMA."
"Oh ya? Wah jadi kita beneran gak seumuran ya?" ucapku sedikit tidak percaya.
Ia menyandarkan tubuhnya di bangku taman. Kami berbincang-bincang cukup lama. Banyak hal yang kami bicarakan. Hingga kami tak sadar matahari mulai terik.
"Dah mulai panas, aku mau pulang," ucapku.
"Oke, aku juga. Kalau kelamaan ngobrol sama kamu, pacar aku bisa marah," ucapnya datar. Sebenarnya aku tak mengerti kenapa ia harus mengatakan itu.
Aku berdiri dan mengulurkan tangan dan berkata, "Makasih ya, udah gantiin aku jatuh." Aku kembali tersenyum geli.
Ia turut berdiri dan menjabat tanganku. "Aku yang harusnya bilang makasih," ucapnya.
"Oh iya, aku Bianca," aku memperkenalkan namaku padanya sambil tetap menjabat tangannya.
"Oke," ujarnya singkat.
"Oke? Cuma itu?" tanyaku kebingungan.
"Iya, apa lagi?" ia kembali menanggapiku ringan.
"Namamu?"
"Pacar aku ngelarang aku kenalan sama sembarang orang," ucapnya.
Wajahku berubah. Aku menyesal menyebutkan namaku. Menyebalkan.
Saat Ia melihat wajahku yang mulai cemberut, ia tersenyum. Ia mengacak-acak rambutku dan berkata, "Kalau kita ketemu lagi, aku janji bakal ngenalin diri aku ke kamu."
Ia berbalik dan berlalu meninggalkanku. Setelah beberapa langkah, ia kembali berbalik dan menghadapkan tubuhnya ke arahku.
"Sampai ketemu lagi ya," ia melambaikan tangannya.
"Bianca," ia memberi jeda beberapa detik sebelum menyebutkan namaku.
Aku melihatnya kembali berjalan meninggalkanku hingga punggungnya menghilang dari taman ini. Aku berjalan ke arah yang berlawanan dengannya. Kami pun berpisah.
Untuk hari ini.
***
"Terkadang, hal istimewa diawali oleh pertemuan sederhana."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Lesson For Us
Teen FictionKata maaf kadang menjadi pelajaran untuk Bianca dan Dion. Pelajaran untuk lebih tahu apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan oleh keduanya. Hidup dua orang remaja memang tidak akan begitu kompleks. Akan tetapi waktu terus berjalan. Tak ada yang...