Dion
Pukul tiga pagi. Mataku masih berat untuk terbuka. Aku sebenarnya tidak peduli dengan cerita-cerita mengenai perlakuan keras para senior kepada murid baru yang terlambat saat masa orientasi sekolah. Aku juga sebenarnya tidak mau memaksakan diri untuk bangun sepagi ini. Semua murid baru diminta untuk hadir di hari pertama orientasi sekolah pukul setengah lima pagi. Tidak masuk akal. Aku sebenarnya jengkel dengan aturan ospek seperti ini. Kalu bukan karena teman-temanku akan memanggilku lemah, aku tidak mau datang ke acara aneh ini.
Udara masih sangat dingin. Semakin ku kayuh sepedaku justru udara pagi ini semakin usil mengerjaiku. Sesekali tubuhku gemetar saat melalui jalan menurun. Terpaksa aku menjaga laju sepedaku agar tidak terlalu cepat.
Sesampainya di sekolah, aku memarkirkan sepedaku dan menguncinya di satu sisi pagar sekolah. Aku berjalan menuju tempat anak-anak baru berkumpul. Terlihat para senior berjajar melingkari barisan anak baru itu. Ya, aku tahu, aku terlambat.
Anak-anak yang terlambat dibariskan di barisan yang berbeda dengan barisan anak lainnya. Untuk yang terlambat seperti aku, para senior memberi sedikit pemanasan di pagi hari. Push-up sebanyak dua seri, atau bisa dibilang dua puluh kali. Tidak masalah untukku, tapi aku merasa kasihan pada anak yang bertubuh gembul yang ikut melakukan push-up tepat di sampingku. Aku yakin, untuk duduk saja ia pasti kesulitan, apalagi harus melakukan push-up seperti ini.
Seperti anak lainnya, aku hanya mengikuti apa yang diinginkan para senior. Bukan tidak berani berontak, tapi aku hanya malas mendengar suara melengking dari senior yang kebanyakan adalah perempuan.
Satu pekan diisi oleh kegiatan yang sama. Mendengar teriakan dan dihukum karena tidak mengerjakan tugas-tugas tak masuk akal yang diberi oleh senior. Sepekan pertama masa SMA memang benar-benar tidak ada yang berkesan.
***
Pekan kedua bersekolah di SMA ini, aku baru memulai kehidupan SMA yang normal. Tak ada teriakan senior dan tak ada bangun jam tiga pagi lagi. Sekolah dimulai pukul setengah tujuh pagi sehingga aku bisa berangkat dari rumah pukul enam, bukan pukul empat subuh seperti masa orientasi.
Saat aku masuk kelas untuk pertama kalinya, aku tak melihat seorangpun yang sudah datang. Kelas masih kosong. Bahkan jendela ruang kelas pun masih tertutup.
Aku membuka salah satu jendela dan duduk tepat di bangku depan jendela tersebut. Bangku di barisan paling kiri dan kedua dari belakang.
Aku melihat keluar jendela. Semakin jarum jam mendekati pukul setengah tujuh, jalan yang terlihat dari jendela itu semakin ramai oleh anak-anak berseragam putih abu. Begitu juga dengan kelas ini. Satu per satu anak yang tidak aku kenal memasuki ruangan ini.
Saat jam pelajaran dimulai, kelas mulai hening. Tak ada satupun yang bersuara selain guru yang beriri di depan kelas. Aku tak pernah bisa berdamai dengan kantuk yang selalu menyerang di saat yang tidak tepat seperti ini. Akan tetapi aku selalu berpikir logis, saat aku mengantuk obatnya hanya satu. Tidur.
Aku pun tertidur di tengah pelajaran hingga seseorang menepuk punggungku. Itu adalah guruku. Ia membangunkanku. Aku mengusap mataku dan menatap wajah guruku dengan setengah sadar. Bagus, hari pertama di kelas aku sudah terkena masalah.
"Kamu tidak tidur semalam?" tanya guruku.
Aku tak berbicara apapun. Setengah nyawaku masih melayang-layang.
"Siapa namamu? Kalau mau tidur jangan di kelas saya," ucap guruku.
"Ma...maaf bu," hanya itu yang bisa kuucapkan.
Seseorang berdiri dan berkata, "Bu, dia baru saja sembuh dari typhus. Kondisinya masih belum fit."
Guru itu melihat dengan heran pada anak yang tiba-tiba bicara itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Lesson For Us
Novela JuvenilKata maaf kadang menjadi pelajaran untuk Bianca dan Dion. Pelajaran untuk lebih tahu apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan oleh keduanya. Hidup dua orang remaja memang tidak akan begitu kompleks. Akan tetapi waktu terus berjalan. Tak ada yang...