23. Sebuah Penyadaran

858 45 3
                                    

Pagi ini yang seharusnya semangat mengawali hari justru terkalahkan oleh resah yang melanda. Sudah berkali-kali Hellen melihat ke arah pintu, berharap orang yang ia tunggu datang. Ponsel di tangannya pun sudah berkali-kali ia gunakan untuk mengirimkan pesan. Namun apa yang ia lakukan tak kunjung membuahkan hasil.

"Salwa kemana, sih?" gumam Hellen sambil menggigit kuku jempolnya.

Hellen beralih untuk menelfon Salwa. Tapi yang menjawab tak sesuai dengan keinginannya. Hanya suara Mbak Operator yang mengatakan nomor yang dituju tidak dapat dihubungi.

Gadis dengan jepitan putih itu menghela nafasnya panjang. Pikiran-pikiran tentang Salwa bermunculan di otaknya. Untuk berpikiran jernih, Hellen hanya bisa melakukannya kurang dari 50%. Pasalnya Hellen mendapatkan pesan terakhir Salwa yang mengatakan bahwa gadis itu akan pergi ke Apotik pukul 11 malam tadi. Pesan yang Hellen balas pun tak dibaca. Jadi, bagaimana Hellen bisa berpikiran jernih?

"Hey!"

Hellen terpelonjak saat sebuah suara serta tangan yang menyentuh bahunya datang tiba-tiba. Ia menoleh ke samping, mendapati Reza yang kini duduk di meja.

"Ih! Ngagetin aja!" seru Hellen.

Reza terkekeh pelan. "Maaf."

"Its okay," ucap Hellen. "Za, lo liat Salwa?" tanyanya kemudian.

"Nggak. Gue baru mau tanya sama lo. Biasanya 'kan kalian berdua," kata Reza.

Terdengar helaan nafas dari celah bibir Hellen. Kemudian gadis itu kembali berujar.

"Gue juga gak tau dia kemana. Chat terakhir semalem dia bilang mau ke Apotik. Abis itu dia gak baca balasan gue."

"Apotik?"

"Hu'um," ucap Hellen sembari mengangguk-ngangguk.

"Dia sakit?"

"Ya, mana gue tau, Reza! Haduh lo ini begimane, sih!"

Reza menganggaruk tengkuknya yang tak gatal. Bodoh! Kenapa juga dia bertanya seperti itu.

"M-mungkin dia masih di jalan, Len. Udah jangan pikirin macem-macem dulu," kata Reza menenangkan. Seperti biasa, Reza tersenyum setelah berkata. Namun Hellen tak terlalu mempedulikan itu, karena sekarang di pikirannya hanya diisi oleh Salwa.

Hellen menghela nafasnya pelan. "Hmm... iya, deh."

****

Bel istirahat pertama sudah berbunyi. Seperti anak lain, Hellen pergi ke kantin untuk mengisi perut. Namun kali ini berbeda, ia ditemani oleh Reza. Hanya berdua, karena Salwa rupanya tak datang.

Kini langkah Hellen dan Reza tengah menuruni tangga. Sesekali mereka membuka percakapan ringan untuk menghapus hening.

Sampainya mereka di kantin, keduanya memesan makanan dan minuman masing-masing.

"Lo mau beli apa?" tanya Reza.

"Gue mau beli roti sama susu aja, deh," kata Hellen seraya mengambil roti dan susu.

"Gue juga kalau gitu." Reza pun melakukan hal yang sama dengan Hellen.

Lalu mereka memperlihatkan apa yang mereka beli pada penjaga kantin. Tiba-tiba Hellen refleks menoleh pada Reza saat cowok itu mengatakan akan membayar jajanan mereka.

"Berapa semuanya?" tanya Reza.

"20 ribu."

Hellen lalu melihat Reza mengeluarkan uang dari sakunya, setelah itu memberikannya ke penjaga kantin.

Ex Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang