Happy reading!Nisa memandang cahaya lampu yang tersebar indah di seluruh kota. Gemerlap malam di kota New York menjadi pemandangan baru untuknya. Kaca besar yang terpasang sebagai dinding penthouse di kamarnya mengarah langsung ke pusat kota memudahkan Nisa untuk menikmati aktivitas malam yang terjadi di salah satu kota besar negara Amerika Serikat tersebut.
Ia hanya sendiri. Duduk beralaskan kain lembut disisi kaca besar di depan ranjang dengan ditemani segelas cokelat hangat buatannya.
Nisa merasa tenang dengan suasana seperti ini. Kamar yang temaram disertai keheningan di sekitarnya. Membuat wanita berambut cokelat sepunggung itu dapat terhanyut dalam dunianya sendiri.
"Bukankah ini sudah terlalu larut untuk Bumil terjaga?"
Nisa tersentak dan menggerakkan kepalanya ke arah belakang tubuh dimana Revan berdiri dengan setelan jasnya yang hanya menyisakan kemeja dengan dua kancing teratasnya yang terbuka. Sementara jas hitamnya tergenggam di salah satu tangannya.
He's so hot, damn!
Revan melemparkan jas yang ada di tangannya ke atas sofa yang tak jauh dari pintu kamar. Langkahnya berlanjut menuju istrinya yang masih duduk di sisi jendela kaca.
"Kenapa belum tidur, hm?"
Revan bertanya sembari ikut duduk di sebelah Nisa dengan menyandarkan tubuhnya ke kaca. Terlihat jelas jika wajah pria yang notabene hampir berusia seperempat abad itu nampak lelah.
"Belum ngantuk."
"Sudah malam, By.." Ujar Revan lagi dengan nada pelan dan tatapan lembutnya yang tak berubah untuk Nisa.
Nisa mencebikkan bibirnya. "Orang belum ngantuk kok."
"By.."
"Ish! Nisa belum ngantuk, Kak Revan?!" Nisa tambah mengerucutkan bibirnya kesal. Orang belum ngantuk kok disuruh tidur.
"Tidur."
"Kak Revan aja gih sana yang tidur!" Balas Nisa kesal. Ia membuang pandangannya ke arah jalanan kota New York yang masih nampak ramai meski waktu sudah mendekati dini hari.
Merasa diabaikan, Revan meringsek maju mendekati Nisa. Sepintas ia nampak mengagumi paras cantik istrinya sebelum akhirnya meraih tengkuk Nisa dan mendaratkan belah bibirnya pada permukaan yang sama milik istrinya.
Nisa sempat melebarkan matanya karena kaget dengan serangan mendadak dari Revan. Berbulan-bulan sudah sejak mereka menikah tetapi Nisa masih saja kaget kalau-kalau Revan secara tiba-tiba menciumnya seperti ini.
Revan menggerakkan bibirnya untuk menghisap bibir bawah Nisa. Melumat lembut permukaan kenyal itu dan sesekali menjilatnya dengan lidah panasnya. Hal itu dilakukan secara bergantian dengan perlakuan yang sama untuk belah bibir atasnya.
Semua dilakukan Revan dengan lembut. Mereka cukup terlarut dalam ciuman tersebut. Nisa yang memejamkan matanya tersentak dan langsung menarik wajahnya menjauh begitu Revan mulai menggigit bibirnya pertanda jika suaminya itu sudah mulai terlarut dalam nafsunya.
"By.." Suara serak Revan ditambah dengan tatapannya yang berubah seiring libidonya yang mulai meningkat.
"Enggak, Kak. Tidak boleh lebih dari ini."
Raut wajah Revan berubah memelas. Bibir bawahnya di majukan dan tatapannya yang persis seperti anak kucing yang minta dipungut.
Nisa menghela napas dalam. "No, ingat kata dokter."
"Satu ciuman lagi, please.."
"Enggak. Kalau satu ciuman lagi yang ada kakak main sabun."
Nisa tahu jika Revan tak akan mudah melawan libidonya sendiri. Pria itu jika sudah terpancing maka akan sulit menghentikannya. Dan jika Nisa mengizinkan Revan untuk mendapatkan ciuman kembali, maka dapat dipastikan jika akan ada sesuatu yang tegak tapi bukan keadilan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Husband
RomanceHidup sang adik berada di tangannya. Tawaran itu menjadi satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Nisa dari belenggu rasa ketakutannya. Tapi apakah ia bisa menerima jika tawaran itu mempertaruhkan takdir Sang Pencipta? Karena nyatanya, sebuah pernikah...