Happy Reading!Semilir angin menemani langkah seorang gadis berambut coklat sepunggung dengan mata yang menatap tajam pada jalanan yang terlihat lenggang. Beberapa helai rambutnya berterbangan karena tertiup oleh angin. Sesekali tangannya mengeratkan jaket yang ia kenakan. Menghalau rasa dingin yang menerpa tubuhnya.
Nisa, nama gadis itu. Ia berencana pergi ke rumah sakit untuk menemui adiknya. Waktu memang menunjukkan bahwa ini masih terlalu pagi untuk berkunjung ke rumah sakit. Tapi apa mau di kata, Nisa harus masuk kerja. Jadi, ia harus menemui adiknya pagi-pagi sekali agar ia tak terlambat masuk kerja.
Nisa mempercepat langkahnya setelah tiba di pelantara rumah sakit. Tanpa dikomando pun kakinya pasti akan melangkah menuju ke ruang perawatan adiknya. Ia sudah hafal seluk beluk rumah sakit ini. Karena, ya, ia sudah sering kemari untuk mengantar adiknya berobat.
Nisa membuka pintu ruang perawatan adiknya, kemudian melangkah dengan pelan kearah sang adik. Ditatapnya dengan sendu gadis kecil dengan tubuh ringkih terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit. Berbagai alat di pasang di tubuhnya. Membuat setetes air mata keluar dari manik matanya dan disusul dengan bulir-bulir yang lain. Tak tega melihat sang adik harus menderita karena sebuah penyakit yang telah muncul saat ia kecil.
Nisa berusaha menahan air matanya yang tampak tak ingin berhenti mengalir. Menghembuskan napas dalam- dalam dan menghapus bekas air mata yang sudah terlanjur keluar dengan kedua telapak mungil miliknya. Meyakinkan hati dan pikirannya yang sedang kacau untuk kembali tenang.
"Alea," panggil Nisa dengan suara parau. Tangannya mengusap rambut hitam milik adiknya. Sedangkan tangan yang lain menggenggam tangan Alea guna memberikan kekuatan untuk adiknya.
"Maafkan kakak, Alea. Kakak memang tidak berguna." Nisa menatap lekat-lekat adiknya yang masih memejamkan mata. Seolah-olah mata itu tak ingin kembali terbuka.
Kemudian tangannya terangkat untuk mengusap kepala sang adik. Pelan. Tapi penuh dengan perasaan.
"Alea," panggil Nisa kembali. Tangannya tak berhenti mengusap kepala adiknya. "Alea harus bertahan," ujar Nisa kembali. Nisa berusaha menahan kedua matanya agar tidak kembali mengeluarkan bulir-bulir kristal yang telah menggunung di pelupuk matanya.
Nisa melirik jam dinding yang terletak tepat di atas pintu masuk yang menunjukkan pukul 06.08. Nisa harus bergegas pergi ke kantor jika ia tak ingin terlambat. Lagipula jarak dari rumah sakit ke kantor tempatnya bekerja cukup jauh.
Setelah berpamitan pada Alea dan mengecup kepala adiknya, Nisa melangkah keluar rumah sakit dan masuk ke dalam sebuah taksi yang kebetulan sedang berhenti di depan rumah sakit.
Nisa memang bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang transportasi. Kedudukan Nisa dalam perusahaan pun tidak terlalu tinggi. Hanya karyawan biasa. Tapi Nisa bersyukur setidaknya ada gaji yang bisa ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersama Alea. Dan tak lupa perusahaan ini merupakan perusahaan besar. Jadi, gaji karyawan biasa di sini lumayan besar dari perusahaan lain.
Perusahaan ini juga menyediakan asuransi kesehatan yang bisa digunakan seluruh karyawan yang bekerja disini. Asuransi inilah yang dipakai Nisa untuk mengobati adiknya.
-
-
-
-
-
-Setelah hampir satu jam menempuh perjalanan, akhirnya Nisa tiba di depan perusahaan tempatnya bekerja. Nisa turun dari taksi setelah membayar nomimal yang tertera pada supir taksi. Bersamaan turunnya Nisa dari taksi sebuah mobil berhenti tepat di belakangnya. Tak berselang lama seorang pria keluar dari mobil itu. Pria itu mengenakan jas bewarna hitam yang Nisa yakini pasti sangat mahal. Kemudian, pria itu menoleh kearahnya. Menatapnya dari balik kacamata hitam yang ia gunakan. Dengan wajah datar pria itu masih menatap Nisa. Sampai beberapa detik, pria itu memutuskan kontak mata di antara mereka dan melangkah masuk ke dalam gedung pencakar langit yang ada di hadapan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Husband
RomanceHidup sang adik berada di tangannya. Tawaran itu menjadi satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Nisa dari belenggu rasa ketakutannya. Tapi apakah ia bisa menerima jika tawaran itu mempertaruhkan takdir Sang Pencipta? Karena nyatanya, sebuah pernikah...