Part 5

7.1K 307 21
                                    


Happy reading!

Nisa menangis terisak sembari memeluk kedua lututnya. Kini ia sedang duduk di teras kamar di sebuah kursi yang menghadap langsung pada laut.

Di sebelahnya, ada Revan yang sejak tadi menatapinya dengan senyum geli yang tak luput dari bibirnya.

"Kak Revan pasti bohong.. Kita tak mungkin sudah menikah.. Nisa tidak pernah merasa setuju untuk menikah dengan Kakak hari ini.." ujar Nisa di tengah linangan air mata yang membanjiri pipinya.

Revan hanya diam. Tak ingin menanggapi lebih lanjut racauan gadis yang kini telah resmi menjadi istrinya itu. Ia hanya ingin mendengar segala keluh kesah Nisa yang masih saja menangis seperti bocah kecil itu.

"Pernikahan kita tidak sah, Kak.. Aku tidak menyaksikannya waktu itu.. Meski Kakak memiliki buktinya, tapi tetap saja tidak sah.. Aku sedang dalam kondisi tak sadarkan diri saat itu.."

Ya.. Revan telah menunjukkan bukti sebuah video ijab qobulnya tadi pagi. Ia menunjukkannya saat dimana Nisa sama sekali tak percaya dengan ucapannya. Yah, meski Revan harus membayarnya dengan kehilangan ponselnya akibat Nisa yang secara refleks menjatuhkan ponsel miliknya.

"Nisa.. Dalam agama kita, ketidakhadiran wanita dalam ijab qabul tetap mensahkan sebuah pernikahan. Jadi tak ada alasan lagi jika pernikahan kita tidak sah."

"Tapikan aku tidak pernah menyetujuinya Kak.." Nisa memekik seraya mencebik kesal dengan Revan yang hanya terkekeh pelan di tempatnya. "Lagipula, kenapa juga Kakak harus membuatku tak sadarkan diri." Lanjut Nisa.

Dengan menopang kepalanya menggunakan tangan, Revan lantas menjawab. "Hanya tidak ingin jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Dengan membuatmu pingsan juga memudahkanku untuk membawamu kemari."

Dalam hati, Nisa diam-diam menyetujui alasan Revan. Jika saja ia masih dalam kondisi sadar, mungkin ia bisa melakukan hal ekstrim agar pernikahan itu batal.

"Terserah padamu mau percaya atau tidak. Toh, kita juga sudah melakukan'nya'." Balas Revan dengan senyum aneh yang membuat Nisa merinding meski terkesan menggoda itu.

Nisa terdiam. Otaknya tiba-tiba mencerna perkataan Revan. Terutama maksud dari pria itu yang menekankan kata terakhirnya. Untuk apa pula penekanan itu dilakukan? Apa ada sesuatu yang terjadi? Tapi apa? Tidak mungkin seperti apa yang dipikirkannya kan?.

"Melakukan apa maksud Kakak?"

Revan tersenyum, lagi. Kali ini smirk yang dikeluarkannya semakin lebar. Pria tampan yang kini hanya mengenakan kaos putih polos dengan celana denim short berwarna navy itu mulai bergerak mendekati Nisa.

"Oh, kamu pasti mengerti maksud Kakak." Revan mengatakan itu seraya melirik tubuh Nisa dengan salah satu alis yang ia naik turunkan.

Nisa membelalak dan refleks memeluk dirinya. Ia mengamati tubuhnya sendiri dan menggelengkan kepalanya kuat begitu bayangan tak senonoh merasuk dalam pikirannya.

"Tidak! Kakak tidak mungkin melakukan itu padaku!" Nisa menjerit dan menatap tak percaya pada Revan.

Senyum Revan semakin lebar. "Tak percaya? Coba lihat tanda apa yang ada di lehermu."

Nisa lantas langsung menyentuh area lehernya. Entah bodoh atau apa, matanya berusaha untuk melihat tanda yang dimaksud oleh sang boss.

"Tidak. Aku tetap tidak percaya." Sentak Nisa, masih kekeuh dengan ketidakpercayaannya.

"Baiklah, terserah kamu mau percaya atau tidak. Kita tinggal menunggu saja kapan kamu akan mulai mual-mual, pusing, dan merengek karena mengidam." seringai culas terpatri begitu Revan menyelesaikan kalimatnya.

My Perfect HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang