Happy reading!
"Sudah, By.. Jangan menangis lagi.."
Revan sibuk mengusap air mata yang masih saja menetes deras dari pelupuk mata Nisa. Sementara Varo, ia tengah memeluk sang Mama sambil mengusap-usap punggung Nisa. Kata neneknya dulu, orang akan berhenti menangis jika punggungnya diusap-usap lembut.
"Orang tuaku, Kak.. Mereka masih hidup.." Nisa berkata disela tangisannya.
Ini semua masih terasa mengejutkan bagi Nisa. Orang tuanya yang sejak tujuh tahun silam dikabarkan meninggal dan disaat ia bahkan tak bisa melihat jasad Ayah dan Ibunya untuk yang terakhir kali. Disaat ia harus terpuruk dengan rasa kehilangan. Berusaha bangkit di tengah kesedihan yang melandanya. Berjuang keras untuk menghidupi adiknya di usia yang masih belia. Semua kesedihan itu, semua kerja keras itu, kini terasa terbayarkan dengan keajaiban Tuhan yang diberikan padanya.
Tapi kenapa baru sekarang? Tak tahukah jika Nisa bahkan harus menahan rindu yang begitu berat untuk kedua orang yang sangat disayanginya itu?
"Nisa ingin bertemu mereka, Kak.. Nisa ingin bertemu orang tua Nisa.."
"Iya.. Kakak akan bawa kamu bertemu mereka. Tapi berhenti dulu nangisnya.. Nanti kepalamu pusing jika terlalu lama menangis.." Revan berkata dengan nada khawatir. Ia masih menghapus lelehan air mata yang berderai dari netra hazel milik istrinya. Ia juga membuang cairan bening yang menyumbat hidung Nisa dengan tisu di tangannya. Ia khawatir Nisa kesulitan bernapas mengingat banyaknya lelehan air mata yang keluar dari pelupuk matanya.
"Sudah ya, By.. Wajahmu sudah merah begini."
"Iya, Ma. Jangan nangis terus.. Varo jadi pengen ikut nangis ngeliat Mama nangis begini.."
Kedua orang laki-laki yang berbeda usia itu masih berusaha membujuk satu-satunya wanita disana. Mereka terlihat begitu khawatir. Sampai akhirnya Nisa berhenti menangis dan hanya menyisakan isakan tertinggal saja.
"Janji buat ketemu sama orang tua Nisa kan, Kak?"
"Iya.. Kakak janji, By." Jawab Revan pasti.
"Terima kasih, Kak."
Revan hanya tersenyum sebagai balasan. Kemudian ia bangkit dari posisinya dan bergerak menuju pintu lain di ruangannya dan mengambil sebotol air mineral dan memberikannya pada Nisa.
"Minum dulu."
Nisa menerima uluran botol dari Revan. Lantas ia menegaknya dan menyisakan setengah dari isi botol minum itu.
"Sudah merasa baikan sekarang?"
Nisa mengangguk seraya tersenyum lebar hingga kedua mata sembabnya menyipit lucu. "Sudah. Terima kasih ya, Kak."
Revan mengusak gemas pucuk kepala Nisa. Lalu duduk di sebelah Nisa seraya menangkup pipi Nisa dengan kedua telapak tangannya. Kedua ibu jarinya mengusap pelan kantung mata Nisa yang nampak sembab.
"Berjanjilah untuk tidak menangis lagi, By. Air matamu terlalu berharga untuk dikeluarkan."
Nisa hanya mengangguk. Kemudian kepalanya ia bawa untuk bersandar di dada suaminya. Revan pun langsung mendekap tubuh Nisa dan mengusap pelan rambut Varo yang terdiam menatap kedua orangtuanya. Namun tak lama ia ikut bersandar di tubuh Nisa seraya kembali memeluk mamanya.
°•°---->_<----°•°
Revan mengendarai mobilnya dengan tenang. Waktu tengah menunjukkan pukul delapan malam. Lalu lintas masih nampak ramai dengan bunyi-bunyi klakson dari para pengendara. Disebelahnya sudah duduk Nisa yang sejak tadi hanya terdiam dan sibuk memandangi pemandangan kota dari balik kaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Husband
RomanceHidup sang adik berada di tangannya. Tawaran itu menjadi satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Nisa dari belenggu rasa ketakutannya. Tapi apakah ia bisa menerima jika tawaran itu mempertaruhkan takdir Sang Pencipta? Karena nyatanya, sebuah pernikah...