Mobil Chandra berjalan pelan, memasuki kawasan komplek perumahan yang sudah dua tahun dia lewati. Lelah, cukup jelas tergambar di wajah Chandra. Mobilnya sudah terparkir rapi bersebelahan dengan mobil Wenda di garasi rumahnya.
Chandra meraih tas ranselnya yang tersandar di jok samping kirinya. Bersiap turun masuk ke rumah. Langkahnya kian dipercepat, sudah tidak sabar bertemu istrinya. Chandra meraih handel pintu, mendorong pintu ke dalam.
"Say-astagfirullah."
Chandra terperanjat, saat netranya menangkap Wenda yang sudah berdiri di depan pintu. Matanya memperhatikan Wenda dari kepala hingga ke bawah. Wenda dengan senyum bahagia menyambut kedatangan Chandra. Bukan senyum itu yang membuat Chandra bergeming menatap Wenda heran, melainkan penampilan Wenda.
Wenda masih mengenakan piama yang sama, Chandra lihat pagi tadi sebelum dia berangkat kerja. Tangan Wenda terulur mengadah ke depan. Chandra menyambut tangan itu, tangan yang entah sudah ribuan kali dia genggam, ribuan kali pula dia kecup.
"Ish! Siapa yang mau salim, sih," sungut Wenda saat Chandra menyambut uluran tangan itu, kemudian mengarahkan punggung tangannya sendiri ke hidung Wenda.
Chandra terkekeh. "Aku pikir mau salim. Biar berasa kayak pasangan soleh dan solehah gitu. Suami pulang kerja cium tangannya."
Chandra meraih kepala Wenda, mencium dahi dan pipi Wenda. "Kenapa belum mandi?"
Wenda tidak menjawab pertanyaan Chandra, justru melemparkan pertanyaan lain, seperti Wenda yang biasanya. Chandra terus berjalan menuju kamar mereka, melewati Wenda.
"Chan, lasagna-nya mana?"
Chandra berbalik menghadap Wenda yang masih tertinggal di belakangnya. "Lasagna raja di laut? Kan bersemayam di bukit batu," canda Chandra yang sukses membuat Wenda merengut.
"Itu laksmana! Ish, pasti lupa beliin. Tahu akh. Nyebelin."
Wenda menghentakkan kakinya di lantai, berjalan mendahului Chandra masuk ke kamar mereka. Chandra hanya bisa mengernyitkan dahi tidak mengerti dengan keadaan. Langkahnya dibawa menghampiri Wenda yang sudah berbaring tengkurap di tempat tidur.
"Kamu kenapa?" tanya Chandra lembut, berusaha memecahkan misteri yang membelitnya.
"Lasagna aku mana?" Pertanyaan itu lagi yang meluncur dari mulut Wenda. Wenda menjawab tanpa berniat mengubah posisinya.
"Lasagna apa, Sayang? Kan kamu tadi siang bilangnya nggak mau makan itu. Makanya aku beliin yang lain, lagian udah habis juga kan kamu makan?"
Wenda berbalik, mengubah posisinya menjadi telentang. "Itu kan tadi siang. Tadi aku chat kamu. Minta beliin itu."
"Chat?" Chandra bergegas meraih tas yang tadi dia letakkan begitu saja di lantai, tangannya merogoh tas mencari ponselnya.
Chandra menyengir saat memeriksa ponselnya, ada pesan dari Wenda yang belum dia baca. "Maaf, Sayang. Aku nggak tahu kalo kamu chat minta beliin ini," jelas Chandra tanpa ada yang ditutupi.
"Bohong! Bilang aja sengaja," tuduh Wenda dengan wajah merengut.
"Ya udah kita pesan delivery aja gimana?"
"Aku mau lasagna yang di pertigaan jalan mau ke butik, kan kamu lewati kalo pulang kerja. Makanya aku chat tadi." Wenda masih saja membahas kesalahan yang tidak sengaja Chandra lakukan.
"Iya, tapi di sana nggak bisa delivery, Sayang. Beli tempat lain aja, gimana?"
Wenda berbalik, memunggungi Chandra. "Nggak mau! Aku mau yang dijual di sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Kami: Tokophobia
RomantikSudah memasuki tahun ke dua Wenda dan Chandra mengarungi bahtera pernikahan di usia muda. Namun, fobia yang diderita Wenda membuat rumah tangga mereka memiliki cerita tersendiri. "Kalian pernah dengar istilah tokophobia?" "Tokophobia tempat belanja...