5. Perempuan Penjajah.

1K 147 89
                                    

Suara pertemuan jari di atas keyboard komputer terdengar berisik, Chandra menatap layar di hadapannya, menelisik semua yang tertampil di sana.

Setelah satu setengah tahun bekerja di perusahaan papi di bagian pabrik, akhirnya Chandra dipindahkan ke kantor. Namun, urusan gaji tetap akan disamakan dengan karyawan berijazah SMA. Yang membedakan hanya jadwal kerja-menyesuaikan jadwal kuliah Chandra.

Bapak Agung Siswanto memang tidak pernah main-main dalam mendidik anaknya urusan pekerjaan. Papi mau Chandra benar-benar belajar dari bawah, Chandra menerima dan menikmatinya.

"Chan," panggil seorang pria dengan tubuh tinggi tidak jauh berbeda dari Chandra.

Chandra mendongak menatap Arya yang sudah berdiri di dekat kubikel Chandra. "Iya, Bang?"

"Lo belum mau istirahat?" Tangannya diangkat memperlihatkan jam tangannya pada Chandra. "Udah jam 12 nih, makan siang dulu, hayuk," ajaknya.

"Iya nih lo, Chan. Kerja mulu, kaya kagak!" celetuk seorang lagi menimpali.

Arya menoyor kepala orang tersebut. "Ridho ... Ridho. Lo tuh, kerja mulu kaya kagak. Chandra kerja nggak kerja udah kaya. Lo lupa Chandra anaknya siapa?"

Ridho mengusap kepala belakangnya, cengiran canggung jelas terlihat di wajahnya. "Sori, Chan. Gue nggak maksud-"

Chandra terkekeh renyah, tangannya mengibas udara. "Nggak apa-apa, Bang. Santai aja kali. Selow," potong Chandra.

"Ya udah, hayuk. Makan dulu, dilanjut nanti. Tuh orang-orang juga udah pada istirahat."

Suara getaran dari ponsel Chandra yang dia simpan di samping keyboard mengalihkan atensi mereka bertiga. Chandra melirik sejenak, ada nama dan foto Wenda tercetak pada layar.

"Uhuk! Mesra banget, Bang. Nggak ada lawan nama kontaknya. Lo namai kontak istri lo apa, Bang?" goda Ridho yang tidak sengaja membaca caller id 'mami Chabe sayang' lengkap dengan emoticon hati berwarna merah muda.

"Malbes Polri," celetuk Arya.

Chandra tersenyum pahit digoda oleh dua rekan kerjanya. Suara getaran dari ponselnya sudah terhenti. Chandra mendongak melihat kedua rekannya bergantian.

"Iya. Iya, paham. Yuk, Dho. Kita duluan aja. Biarin Chandra nyusul." Arya merangkul Ridho menjauh dari kubikel Chandra.

Ponsel Chandra bergetar singkat, nama Wenda sebagai pengirim chat pada aplikasi hijau tersebut.

Mami Chabe sayang :
Chan?

Jari Chandra baru saja hendak membalas pesan Wenda, foto Wenda sudah muncul memenuhi layar ponsel Chandra. Digesernya tanda hijau, mengangkat telepon dari Wenda.

"Iya, Sayang," sapa Chandra.

"Chan, lapar."

Chandra mengerutkan dahinya mendengar ucapan Wenda tiba-tiba.

"Kamu ke kamar mandi sekarang, terus mandi biar laparnya hilang." Chandra mengajak istrinya bercanda.

"Chan, serius! Aku kelaparan ini, dari tadi makani keripik kentang tetap nggak kenyang."

"Ya udah sana, kamu ke dapur. Makan dulu. Udah siang juga ini."

Tidak ada suara sahutan di seberang sana, Chandra menjauhkan ponselnya dari telinga. Masih tersambung.

"Sayang? Halo?"

"Lapar, Chan. Bi Yati tadi nggak masak," keluh Wenda terdengar lagi.

Chandra menggaruk kepalanya yang sejujurnya tidak gatal. Perkara lapar aja harus laporan. Bini oh bini. Untung sayang.

Cerita Kami: TokophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang