"Papi!"
Chandra tersentak, bergegas bangkit dari rebahnya setelah mendengar jeritan Wenda dari ruang tengah. Baru saja mengistirahatkan tubuhnya sehabis perjalanan dari Bali, bahkan koper mereka saja baru ia simpan di dalam kamar. Wanita itu sudah gaduh entah karena apa.
"Kenapa, Mi?"
"Papi ... Chabe kenapa begini." Wenda menunjuk makhluk merah itu di dalam akuarium.
Ikan kecil itu sudah dengan posisi tak biasanya. Tubuhnya terbalik hampir mengapung tak lagi lincah bergerak ke sana kemari berenang.
"Pi, Chabe meninggal?"
"Iya, Sayang. Kayaknya baru, sih, ini matinya."
"Meninggal! Kasar banget ngatain mati."
Chandra mengernyitkan dahi, tidak berlebihan jika Chandra memilih kata demikian. Bagaimana pun sayangnya Wenda pada makhluk bernama Chabe itu, tetap saja itu adalah hewan.
Wajah Wenda sendu menyaksikan anak ikannya sudah benar-benar mengapung di permukaan akuarium. Tangannya menempel pada kaca, bergerak seolah sedang membelai makhluk yang sudah tak bernyawa itu.
Sesaat kemudian mata Wenda membulat, ia menoleh pada Chandra yang berdiri di belakangnya.
"Pi, lihat nggak tadi? Dia gerak tadi, aku lihat Chabe hidup lagi, Pi. Kita bawa ke vet aja, yuk."
Tak kalah lebar mata Chandra terbuka, ia terkejut dengan kalimat terakhir yang Wenda ucapkan.
"Bawa ke vet gimana, Sayang. Itu ikan bukan kucing. Gerak tadi karena kena sirkulator pemompa udaranya. Lagian itu udah mati, Mi."
"Meninggal!" Bibir Wenda turun, mimik wajahnya seperti anak kecil yang ingin menangis. "Tapi dia anak aku, Pi."
Ah, tidak. Bukan seperti ingin menangis, sekarang wanita itu benar-benar menangis kehilangan. Tidak berlebihan bukan, jika Wenda merasa sedih kehilangan peliharaan yang bahkan sudah dianggap seperti a anaknya sendiri. Menemani hari-hari Wenda yang mungkin terasa sepi.
Chandra memeluk sang istri, mengusap punggungnya agar sedikit tenang. "Udah ... udah, nanti kita ganti ikan yang baru lagi aja, ya?"
Wenda menggeleng di dalam dekapan Chandra. Meskipun sedang tersedu ia masih tetap menyahut, "Nggak mau. Chabe nggak akan terganti."
"Iya, udah. Akuarium buat Chanda aja. Kan masih masih ada satu anak kamu."
"Bukan! Chanda anak kamu, bukan anak aku."
"Anak aku nggak di akuarium, tapi di perut kamu ... nanti. Sekarang masih usaha bikin adonannya biar jadi. Mau nambah adonannya lagi nggak?" bisik Chandra menggoda Wenda. Ia tidak serius, hanya bercanda.
"Papi! Nggak mau mesum-mesum," rengek Wenda semakin menjadi.
Chandra tergelak, menguraikan pelukannya pada sang istri. Ia mengangkat Chabe dari permukaan air dan dipindahkan ke atas lapisan tisu di atas meja. Wenda duduk, tangan kanannya menopang kepala, menelisik makhluk yang sudah banyak membuat kenangan bersamanya.
"Papi, Chabe dikubur aja, ya. Di belakang rumah di bawah lampu taman." Wenda mendongak, menatap penuh harap agar mendapat izin dari sang suami.
"Iya, kita kubur. Yuk, kubur sekarang."
Ada-adanya bangkai ikan dikubur. Mending kalau ikan besar, ini ikan segede jempol kaki.
Mau tak mau Chandra mengikuti permintaan konyol sang istri daripada wanita itu tambah merengek melebih anak kecil. Chandra membawa Chabe berserta tisu-tisu yang tadinya dijadikan alas. Menggali tanah di bawah lampu taman sesuai titah Wenda. Chabe telah terkubur damai di kedalaman tanah lima senti meter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Kami: Tokophobia
RomanceSudah memasuki tahun ke dua Wenda dan Chandra mengarungi bahtera pernikahan di usia muda. Namun, fobia yang diderita Wenda membuat rumah tangga mereka memiliki cerita tersendiri. "Kalian pernah dengar istilah tokophobia?" "Tokophobia tempat belanja...