Tidur Chandra terganggu, tubuhnya bergerak gusar di atas tempat tidur, ada tangan lembab menyentuh pipinya, sesaat kemudian tangan dan kakinya ditarik kasar.
Penglihatannya gelap, ia tidak tahu berada di mana. Keningnya berkerut, peluh membasahi kepalanya, mimpinya kali ini seolah nyata. Ia dapat merasakan setiap sentuhan dari kulit dingin, ia pun dapat mendengar suara Wenda memanggil namanya, lirih. Namun, indera penglihatannya tidak bisa menangkap sosok yang memanggilnya.
Tangan Chandra menggapai udara. "Sayang, kamu di mana? Aku nggak bisa lihat kamu."
"Chandra, tolong aku, cepat," cicit Wenda terdengar semakin nyata, Sontak Chandra bangun.
Chandra terduduk, tangannya memegang dada sebelah kiri. Matanya menangkap Wenda berdiri di depan lemari pakaian, tangannya berkacak pinggang, dan bibirnya tertekuk menahan kesal.
Tangan Chandra terentang, meminta pelukan hangat dari istrinya. "Sayang, aku mimpi buruk," adunya pada Wenda. "Aku mimpi kamu manggil minta tolong, tapi aku nggak bisa lihat kamu. Semua gelap."
"Kamu tuh nggak mimpi! Aku dari tadi bangunin kamu, nggak bangun-bangun!" sentak Wenda meluapkan kesalnya.
Chandra menggaruk kepalanya, kepalanya diputar ke arah nakas. Meneliti angka pada benda penunjuk waktu. "Sayang, kamu kenapa? Sakit? Ini masih setengah 6."
Wenda mendekat, duduk di tepi tempat tidur. "Baruan bangun, Chan. Antar aku ke pasar. Mau belanja keperluan dapur udah habis semua. Bi Yati nggak sempet belanja kemarin."
"Ke pasar? Mau ngapain?"
"Mandi bola! Jangan lupa bawa handuk!" sentak Wenda kembali kesal dengan pertanyaan retoris Chandra.
Chandra terkekeh, meraih tubuh Wenda untuk didekap. "Maksudnya ngapain ke pasar, kan bisa ke supermarket, Sayang."
"Maunya ke pasar. Ya, udah kalo nggak mau anterin. Aku pergi sendiri." Wenda mendorong tubuh Chandra, beranjak meraih dompetnya di atas meja rias.
Chandra bergegas bangkit, menarik lengan Wenda. "Iya. Iya. Aku anterin, jangan ngambek. Aku cuci muka dulu, ya." Pria itu meninggalkan satu ke kecupan di pipi istrinya sebelum hilang di balik pintu kamar mandi.
***
"Sayang, bantuin tarik, ini tangan aku nggak bisa masuk. Kok, hoodie aku jadi kecil gini, sih," keluh Chandra sembari sibuk mengenakan sweater yang ia ambil secara acak.
Wenda mengurungkan niatnya membuka pintu mobil, padahal beberapa detik yang lalu senyumnya terkembang, saat mobil Chandra sudah berada di parkiran pasar tradisional di bilangan Jatinegara.
Wenda berdecak saat memutar tubuhnya. "Ini hoodie punya aku, mana muat di kamu."
Chandra melepaskan hoodie tersebut, memperhatikan lagi. Benar, baju dengan kupluk di bagian kepalanya itu adalah milik Wenda. Sekian dari baju couple yang mereka punya. Pria itu menyengir, menyadari bahwasanya dia sudah salah ambil. Dilemparnya baju itu ke jok belakang tidak jadi mengenakannya.
Wenda sudah turun lebih dulu, Chandra membuntuti ke mana langkah lincah Wanita itu bergerak. Sesekali ia tampak takjub, wanita yang dulu sangat dimanja oleh orang tua dan ke tiga abangnya, kini harus belanja di tengah hiruk pikuknya pasar tradisional seperti ibu rumah tangga lainnya.
Semua belanjaan Wenda sudah Chandra pindahkan ke mobil, wanita itu masih saja berjalan menyusuri lorong los-los tempat di mana para pedagang menjajakan aneka sayuran segar dan bumbu dapur lainnya. Chandra tidak mengerti apa lagi yang akan dibeli Wenda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Kami: Tokophobia
RomanceSudah memasuki tahun ke dua Wenda dan Chandra mengarungi bahtera pernikahan di usia muda. Namun, fobia yang diderita Wenda membuat rumah tangga mereka memiliki cerita tersendiri. "Kalian pernah dengar istilah tokophobia?" "Tokophobia tempat belanja...