Sibuk menjadi perawat dadakan, mungkin itulah judul yang tepat untuk menamai kegiatan Wenda hari ini. Perempuan itu sejak pagi tadi bolak-balik mengurusi bayi besar yang sedang terserang flu dan demam.
"Sayang, kamu di sini aja. Jangan jauh-jauh dari aku," rengeknya.
Dasar tidak sadar diri, ia lupa sudah umur berapa sekarang. Dari tadi kerjaannya cuma bertingkah manja, bahkan rengekannya melebihi Clarissa yang meminta mainan. Belum lagi hal-hal aneh lainnya yang membuat Wenda semakin geram. Suaminya itu seperti memanfaatkan keadaan.
"Sayang, meler," adunya tanpa berniat menyeka sendiri cairan yang keluar dari hidungnya.
Bergegas Wenda meninggalkan laptopnya, menarik beberapa lembar tisu dan mengelap hidung Chandra yang kemerahan. Lengan pria itu seketika memeluk pinggang Wenda erat.
"Pake lagi maskernya." Wenda membenahi masker yang Chandra kenakan agar menutupi hidung dan mulutnya dengan benar.
"Sayang, kepala aku pusing banget. Kiss dong biar nggak pusing lagi."
"Nggak ada ... nggak ada. Aku nggak mau ketularan flu, ya."
Chandra melemparkan tubuhnya ke tengah kasur. Tangannya memegang kepala seolah rasa sakit itu benar-benar tak tertahan lagi.
"Aduh ... Akh! Sakit banget, Sayang. Kepala aku kayak mau pecah. Sakit, Sayang."
"Siapa suruh kemarin hujan-hujanan. Udah dibilang pulangnya nanti aja tunggu reda. Bandel, sih. Lagian kamu tuh cuma pusing karena flu, ya. Bukan kanker otak stadium akhir, lebay banget, sih," omel Wenda panjang lebar.
"Ya, kan aku pengin cepet-cepet pulang ke rumah, Sayang. Biar cepet ketemu kamu. Ya aku pikir cuma kena hujan dari lobi ke parkiran doang, gak jadi masalah harusnya."
"Iya kata kamu nggak jadi masalah, tapi kenyataannya? Merepotkan."
Wenda kembali duduk di bagian kiri tempat tidur, memangku laptopnya. Di tengah mengurusi suami, wanita itu masih membagi waktunya untuk suami lainnya. Matanya fokus sekali menonton apa yang ada di laptopnya, sesekali tersenyum, berdecak kagum dengan yang apa ia lihat.
"Sayang," panggil Chandra mencoba mengalihkan atensi wanita itu.
Wenda menoleh, memastikan maksud panggilan pria itu. Namun, si pemanggil hanya rebahan di sampingnya dengan tangan melukis pola acak di atas seprai tempat tidur, tanpa berniat melanjutkan arti dari panggilan itu.
"Sayang."
"Apa, sih, Chan? Ya ampun ini aku nggak bisa santai dikit apa?"
"Aku sayang kamu. Love you."
Tidak menjawab Wenda mengabaikan pernyataan cinta pria itu. Merasa tak mendapat jawaban, Chandra kembali berulah. Ia bangkit dari rebahnya, duduk di samping Wenda menyandarkan kepalanya di bahu sempit wanita itu.
"Sayang, aku kangen kamu!"
"Bodo amat!" ketus Wenda.
Jika pasangan lain akan membalas dengan ungkapan yang sama saat mendapat pengakuan rasa rindu, berbeda dengan Wenda. Wanita itu tidak pernah membalas kata rindu Chandra. Ia paham betul makna lain bersembunyi di balik kalimat itu.
"Sayang, setelah dari dokter waktu itu. Kita udah setahun loh, nggak ngelakuin ibadah." Chandra menyimpan wajahnya di ceruk leher Wenda, menggoda telinga wanita itu.
Sontak Wenda menyingkirkan kepala pria itu, matanya tajam melirik Chandra. Dia harus benar-benar banyak mengucap menghadapi mesumnya Chandra. Bisa-bisanya masih kepikiran kebutuhan batin saat tubuhnya saja dalam kondisi yang kurang fit. Belum lagi ucapannya yang terkesan berlebihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Kami: Tokophobia
RomanceSudah memasuki tahun ke dua Wenda dan Chandra mengarungi bahtera pernikahan di usia muda. Namun, fobia yang diderita Wenda membuat rumah tangga mereka memiliki cerita tersendiri. "Kalian pernah dengar istilah tokophobia?" "Tokophobia tempat belanja...