Suara pertemuan jemari dan keyboard di laptop Chandra terdengar ribut, seolah tidak mau kalah dari suara televisi yang menyala di hadapannya. Chandra duduk di tepi sofa, matanya terus fokus pada layar laptop, menyelesaikan pekerjaan kantor yang dibawanya ke rumah. Meski jam dinding sudah menunjukkan di angka 10.45 Wib.
Led TV berukuran 42 inc itu menampilkan adegan drama Korea, yang tentu tidak akan Chandra mengerti, karena tidak mengikutinya sejak awal. Sudah tahu bukan ini tontonan siapa?
"Chan," panggil seseorang yang sejak tadi dipunggunginya.
"Yes, Honey," sahut Chandra tanpa mengalihkan atensinya.
"Besok kita ke pasar Ramadhan, ya? Hunting takjil," ujar Wenda setelahnya.
Chandra sedikit memutar tubuhnya, menoleh ke Wenda yang berbaring miring di belakang Chandra, kepalanya berbantal lengan sofa. Beruntung sofa yang mereka tempati cukup luas.
Telunjuk Chandra terulur menjawil hidung Wenda, kekehan renyah keluar dari bibir Chandra. "Puasa aja belum. Sahur dulu, Sayang."
Wenda bangkit dengan posisi setengah duduk, tangannya terulur memeluk pinggang Chandra dari belakang. "Kamu ngerjain apa? Masih belum selesai?" tanya Wenda menempelkan pipinya pada punggung kokoh Chandra.
"Belum, Sayang. Beberapa hari ini kerjaan aku numpuk karena papi sering ajak keluar mau ninjau lokasi proyek baru," jelas Chandra yang hanya disahuti dengan gerakan mengangguk di balik punggung Chandra.
Chandra meraih remote televisi, drama yang Wenda tonton sudah selesai sejak sepuluh menit lalu. Layar itu sekarang menampilkan beberapa iklan minuman dan produk khas Ramadhan. Chandra menekan tombol merah pada remote, membuat layar televisi mejadi hitam dan hening.
"Jangan dimatiin, aku masih mau nonton, Chan." Wenda merengek meski posisinya tidak berubah.
"Kamu belum mau bobok? Udah jam sebelas loh, Sayang."
Wenda bergerak, menelusup merebahkan kepalanya di paha kanan Chandra. "Kamu aja belum tidur. Aku belum ngantuk."
Chandra terkekeh, ingin sekali merekam ekspresi Wenda lalu memperlihatkan padanya, kentara sekali sedang menahan kantuk. Sudut matanya pun sudah mengeluarkan butiran bening. Namun, masih berkilah.
"Kamu kalau ngantuk, duluan aja ke kamar, nanti aku nyusul kalau udah selesai ini."
Wenda menendang udara, kakinya yang bersandar di punggung sofa bergerak acak, memberontak. "Nggak mau, Chan. Masih mau nemenin kamu di sini," rengeknya.
Telapak tangan Chandra mengusap belah pipi Wenda. "Iya. Iya. Udah kalau nggak mau. Nggak usah ngerengek gitu, ah. Benerin posisi tidurnya, aku susah ini ngetiknya."
Wenda bangkit dari posisinya, tidak mengindahkan ucapan Chandra, dia justru mendudukkan tubuhnya di pangkuan Chandra. Wenda mengalungkan lengannya di tengkuk Chandra, kakinya melingkar di pinggang, dan membenamkan wajahnya di bahu Chandra. Persis seperti anak panda pada pawangnya.
"Sayang, aku mau ngerjain ini dulu. Kamu kok jadi manja gini. Butuh sesuatu?"
Wenda melonggarkan pelukannya, menatap Chandra lamat. Wajah Chandra bingung, dahinya membuat beberapa lipatan.
"Kenapa?" tanya Chandra hanya dengan gerakan bibir tanpa suara. Wenda pun sama, menyahuti hanya dengan gelengan kepala.
"Ya udah kalo nggak ada apa-apa. Malu dilihat Chabe tuh," tunjuk Chandra pada rumah Chabe.
Wenda menoleh mengalihkan atensinya di ujung sana, matanya memperhatikan ikan kecil itu berenang lincah.
"Mami aku udah gede masih minta pangku." Chandra menirukan suara anak kecil, seolah itu adalah suara dari makhluk air itu. "Tuh, kamu diledekin Chabe, Sayang. Turun ayo. Malu sama Chabe."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Kami: Tokophobia
RomanceSudah memasuki tahun ke dua Wenda dan Chandra mengarungi bahtera pernikahan di usia muda. Namun, fobia yang diderita Wenda membuat rumah tangga mereka memiliki cerita tersendiri. "Kalian pernah dengar istilah tokophobia?" "Tokophobia tempat belanja...